Selanjutnya pada tahun 2004, Bapedal DKI juga telah melakukan penelitian yang menunjukkan terjadinya pencemaran cukup parah di perairan Teluk Jakarta, yang diakibatkan pencemaran dari daratan, maupun aktivitas pantai dan laut. Kualitas terburuk terdapat di perairan dekat pantai berjarak 5 km (Zona D) dari pantai, sementara pada jarak 15-20 km (Zona A) masih lebih baik zona D, tetapi karena berbatasan dengan daratan Bekasi dan Banten, kondisinya juga tercemar.
Kejadian kematian ikan massal di perairan Jakarta tentunya tidak terlepas dari peningkatan limbah pencemar di Teluk Jakarta ini. Telah terjadi keracunan klorofil dan penipisan oksigen di dalam air laut. Akibatnya ikan-ikan dan biota laut tidak mencukupi mendapatkan asupan oksigen. Peningkatan suhu air juga menimbulkan kerusakan pada biota laut tersebut. Perairan laut tropis yang lebih hangat,salinitas air laut tinggi, radiasi matahari yang rendah karena tingkat kekeruhan yang tinggi, nutrient anorganik yang rendah, sedimentasi tinggi karena material yang terbawa 13 sungai dan gerakan air yang melambat dikarenakan sedimentasi ini, merupakan kondisi fisiologis yang tidak mendukung pertumbuhan ekologi laut yang sehat.
Secara umum kondisi kandungan oksigen dan oksigen terlarut di muara-muara sungai Jakarta di sepanjang Teluk Jakarta berada di bawah baku mutu dan tidak layak untuk mendukung kehidupan laut dan biota laut lainnya, maka tidak mengherankan di kawasan pantai kurang dari 5 kilometer dari pantai sering terjadi kematian ikan massal.
Setidaknya telah dicatat beberapa peristiwa kematian ikan massal di laut Utara Jakarta. Pada tahun 2004, dicatatkan ada dua peristiwa kematian ikan massal. Pada 7 April 2004, air laut berwarna kemerahan dan kematian ikan meliputi Pantai Ancol, Pulau Nirwana, Pulau Bidadari, Pulau Damar, hingga Pulau Onrus. Pada 30 November 2004, air laut cenderung tenang dan air berwarna kecoklatan dengan tingkat kekeruhan cukup tinggi. Kematian ikan berada di wilayah Muara Marina hingga Hotel Horison.
Dicatat juga, pada tahun 2005 terjadi tiga kejadian kematian ikan. Tanggal 13 April 2005 air laut sangat keruh dan kematian ikan terjadi di pantai Hotel Horison, Pantai Festival, Pantai Marina, dan Pantai Karnaval. Kejadian kedua pada 15 Juni 2005, air laut keruh dan terjadi hujan lebat, kejadian kematian pada Pantai Marina, Pantai Festival, Hotel Mercure, Bandar Jakarta hingga pantai Karnaval. Kejadian ketiga, pada 5 Agustus 2005, kondisi air laut coklat kemerahan, dimana laut di tengah berwarna berwarna merah dan di pantai berwarna coklat. Kematian ikan massal terjadi di Pulau Zukung Sekati, Pulau Panggang, Pulau Pramuka, dan Pulau Karya.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh BPPT pada 2007, Suhendar I. Sachoemar dan Heru Dwi Wahyono yang diberi judul "Kondisi Pencemaran Lingkungan Perairan di Teluk Jakarta". Perairan Jakarta, disebutkan sebagai perairan semi tertutup, telah menerima beban berat bahan pencemar berupa limbah domestik, organik, industri, logam berat, maupun tumpahan minyak, yang dikhawatirkan menurunkan kualitas daya dukung perairan Teluk Jakarta. Jalur pelayaran pelabuhan Tanjung Priok, yang dilewati kapal-kapal besar, juga berakibat pada rusaknya biota laut, karena tingkat kebisingan yang tinggi. Penurunan kualitas perairan Teluk Jakarta ini bahkan telah sampai ke Kepulaun Seribu yang berjarak 50 kilometer dari Jakarta.
Hingga saat ini, bisa dibayangkan dengan pertumbuhan industri di Utara Jakarta, pertambahan permukiman dan limbah yang terus menerus dialirkan lewat sungai—sungai Jakarta, pencemaran parah pasti terjadi akibat masuknya bahan pencemar berupa logam berat, yang pada gilirannya menimbulkan kerusakan yang dahsyat pada ekologi laut dan penghuninya.
Dengan demikian dari penelitian-penelitian disebutkan di atas, dapat dilihat bahwa kerusakan laut dan lingkungan ekologi pantai Utara Jakarta sudah terjadi sebelum reklamasi yang dilakukan pemerintah DKI saat ini. Reklamasi, yang sedang diberhentikan sementara itu, dianggap sebagai biang kerusakan biota laut, menjadi tidak relevan. Kondisi perairan Utara Jakarta sudah lama sekali terkontaminasi logam berat dari sumber rumah tangga di Jakarta yang dilewatkan melalui sungai, industri, komersial, kegiatan pantai dan laut. Aktivitas pelabuhan dan jalur-jalur laut juga mengakibatkan gangguan yang relatif signifikan bagi pertumbuhan biota laut yang sehat.
Pembentukan ‘framing’ juga kesannya mengada-ada, karena reklamasi baru dilakukan, sementera kerusakan biota laut di pantai Utara Jakarta sudah terjadi sejak tahun 1960-an.
Reklamasi sekarang ini sama sekali tidak berkontribusi pada hilangnya ikan yang berujung pada hilangnya pendapatan nelayan. Justru reklamasi dilakukan untuk memperbaiki perairan, tentunya dengan tujuan dan fungsi yang berbeda demi perkembangan Jakarta ke depan sebagai kota Metropolitan. Kehidupan nelayan mungkin tidak lagi cocok di pantai Utara Jakarta yang sudah lama tercemar berat.
Seharusnya para pihak, mengajukan fakta yang lebih akurat untuk memastikan bahwa pendapat yang disampaikan terkait kerusakan karena reklamasi sekarang ini dan pembentukan ‘framing’ yang menutupi kegiatan reklamasi sebagai perusak biota laut dan ekologinya, bisa dipertanggung-jawabkan.
Jika permintaannya adalah mengembalikan ke lingkungan semula seperti sebelum 1960-an atau bahkan mungkin tahun1940-an, dimana perairan Teluk Jakarta mungkin masih gemah ripah loh jinawi, silahkan berfikir sendiri tindakan apa saja yang harus dilakukan.