Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Orang Bijak Tak Bayar Pajak

13 April 2016   22:07 Diperbarui: 13 April 2016   22:15 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Koruptor Perampok Uang Rakyat. Foto : photo.sindonews.com"][/caption]Bulan pembayaran pajak akan segera berlalu. Penyerahan SPT fisik sudah ditutup pada tanggal 30 Maret lalu. Untuk penyerahan SPT secara online, masih bisa bisa dilakukan dengan sistem e-filing, yang akan tutup pada akhir April ini.
Pajak, bagi Indonesia dan negara manapun, bisa dikatakan segala-galanya supaya negara ini bisa berjalan. Pajak menjadi bagian pendapatan terbesar untuk mengisi pundi-pundi negara dan membiayai negara sesuai dengan kebutuhan yang dicantumkan di anggaran dan belanja negara.

Secara definisi, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Mau tidak mau, sebagai wajib pajak, setiap orang yang harus membayar. Jika tidak membayar maka akan dikenai sanksi hukum. Sanksi kurungan badan untuk para penunggak pajak sudah mulai diterapkan. Beberapa wajib pajak yang menunggak pajak sudah dipenjara, dikenakan kurungan hingga pajak yang menjadi kewajibannya dibayar. Tetapi wajib pajak tidak bisa meminta secara langsung manfaat dari pajak yang dibayarkan tersebut. Tidak seperti membeli sekilo beras di warung pojok, membayar dan mendapatkan barang.

Imbalan yang didapatkan para pembayar pajak adalah dari pelayanan publik yang dilakukan pemerintah. Dari aset-aset publik yang dibangun pemerintah dengan uang negara. Jalan, pasar, rumah sakit, sekolah, waduk, irigasi, subsidi, dan berbagai barang publik lainnya. Begitulah pemerintah membayarkan kembali pajak yang dipungut dari masyarakat. Termasuk juga gaji aparat pemerintah yang melakukan pelayanan publik tersebut.

Kewajiban membayar pajak ini sebenarnya sangat mulia dan sangat nasionalis. Kita membayar pajak untuk kelangsungan negeri ini. Bisa dibayangkan bila kita tidak membayar pajak. Mau jadi apa negara ini kalau tidak punya uang untuk membiayai belanja negara termasuk membayar para pemungut pajak itu.

Tetapi justru disitulah masalahnya. Para pemungut pajak, para pemilik kuasa dan kekuasaan, dan mereka yang mengaku-aku mewakili rakyat kebanyakan di negeri ini, mereka merampok uang rakyat itu. Mereka sangat rakus dan munafik. Mereka yang merasa memiliki negeri ini dengan santainya mencuri uang rakyat, uang hasil keringat rakyat yang telah didapatkan dengan bekerja keras.

Masih ingat tentunya dengan Gayus Tambunan, yang merampok uang rakyat yang seharusnya untuk orang-orang miskin di negeri ini, justru dinikmatinya sendiri dengan anak-anaknya dan mungkin istri-istri gelapnya yang tidak pernah nongol itu.

Lihatah Udar Pristono, yang dipalu oleh Hakim Artidjo, mengambil uang rakyat ratusan milyar rupiah hanya untuk membiayai nafsunya dan membelikan sebuah ‘apartemen’ mungil untuk wanita gelapnya, yang kebetulan berbiaya mahal.

Lihatlah Damayanti Wisnu Putranti, yang dengan senyum manisnya, sambil ‘bernyanyi’ menyebut nama-nama yang menikmati uang haram hasil korupsinya, dengan santainya ingin menikmati uang hasil keringat rakyat dengan cara yang curang, terkait proyek pembangunan jalan Tehoru-Laimu senilai Rp 41 miliar di Maluku Utara. Lihatlah, di Maluku Utara, di provinsi yang masih kekurangan segala infrastruktur, dengan semena-menanya dirampok. Damayanti juga bercerita kalau semua rekannya di Komisi V DPR yang ‘terhormat’ itu menikmati uang rakyat yang dirampok.

Cerita miris terakhir, dalam waktu yang relatif berdekatan, jaksa-jaksa murahan penjual jabatan ditangkap KPK. Bupati Subang, Ojang Suhadi, menjadi pesakitan karena ‘menghirup’ uang rakyat secara culas.

Dari zaman dahulu selalu dikatakan kebocoran anggaran mencapai 30 persen. Tiga puluh persen dari pajak yang dibayarkan rakyat. Kebocoran dibuat oleh para koruptor. Bahkan Prabowo suka mengatakan, ‘bocor, bocor, bocor’ untuk menggambarkan betapa besarnya kerugian negara akibat ulah para ‘pembocor’ ini.

Banyak yang mengatakan bahwa kasus Gayus dan perampok-perampok uang rakyat yang ditangkap adalah sebuah gunung es dari perbuatan melanggar hukum yang dilakukan para pemungut pajak, wakil-wakil itu, jaksa dan pejabat-pejabat lainnya. Mereka merampok uang rakyat dengan gampangnya tanpa rasa bersalah. Dengan mudahnya mereka mengatakan bahwa mereka akan dapat memenuhi segala kebutuhannya hanya dengan ‘bekerja’ satu atau dua kali. 

Jika Gayus adalah puncak dari gunung es dengan hasil rampokan 100 milyar, masih bisa kah dibayangkan ukuran gunung itu sebenarnya? Bisa jadi, ukuran sebenarnya bisa ribuan kali besarnya.

Siapa yang tidak marah dengan kelakuan para perampok itu. Lihatlah, bagaimana geramnya mereka yang bekerja keras dalam menghidupi keluarga dan membayarkan pajak hanya untuk dinikmati Gayus dan para wakil rakyat penipu itu dengan mudahnya. Belum lagi para pemeras-pemeras pajak yang berkeliaran. Jika ditilik sekarang pun, pasti dengan mudah menemukan bahwa permainan-permainan curang masih ada pada orang-orang yang berkaitan dengan pajak.

Pastinya wajib pajak ini tidak akan suka melihat para perampok uang rakyat ini berfoya-foya di atas keringat mereka dan kerja keras mereka. Mereka yang bekerja keras, tetapi para perampok uang rakyat ini yang menikmati. Mereka, para perampok ini, menyawer perempuan-perempuan gelapnya dengan uang hasil tetesan keringat rakyat. 

Dengan demikian, masihkan kita harus membayar pajak jika mereka dengan gampangnya merampok kita? Masihkah kita harus membayar pajak jika anggota-anggota DPR itu dengan gampangnya bermain-main dengan keringat rakyat Indonesia yang bekerja keras untuk membayarkan pajak ini?

Selama para petugas pajak masih melakukan pekerjaan mereka untuk mendapatkan kenikmatan hidup dengan cara curang, membayar pajak tidak akan menjadi satu kewajiban yang dilakukan rakyat dengan setulus hati. Sialnya, bagi perampok uang rakyat ini hukumannya pun bisa dikadalin. Hukuman untuk kejahatan luar biasa ini hanya dikenakan hukuman yang sangat biasa-biasa. Lembaga pengadilan tidak bisa menjadi harapan atas pembalasan kesakitan yang dirasakan rakyat karena jerih mereka diambil dengan percuma.

Penjara hanya tempat tinggal sementara. Mereka bisa membayar siapa pun untuk dapat menikmati kehidupan bebas, meskipun statusnya seorang tahanan. Sistem yang bobrok ini tidak akan menjamin semua pembayar pajak melakukan kewajibannya dengan tulus.

Tidak ada yang mendukung kepada masyarakat untuk membayar pajak jika kelakuan para pejabat yang digaji dari uang rakyat dan pajak rakyat melakukan perampasan uang secara membabi buta. Mereka diberikan keistimewaan dengan remunerasi yang tinggi, tetapi ternyata tidak cukup untuk membiayai nafsunya. Selama sistem perampokan ini berjalan dan sistem penghukuman begitu lemahnya, rasanya tidak membayar pajak menjadi sebuah perbuatan yang sangat bijak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun