[caption caption="Pengemis Yang Pemalas Foto: metrotvnews.com"][/caption]Seseorang meminta sesuatu kepada orang lain adalah hal yang manusiawi. Pada dasarnya manusia sebagai mahluk sosial tentunya memerlukaan bantuan dari pihak lain, maka dia pasti meminta. Jika kemudian terjadi pertukaran karena permintaan tersebut, bisa dilakukan dengan pembayaran berupa uang atau juga jasa secara wajar dan jumlah yang disepakati, itu juga wajar saja. Masih dalam tatanan yang normal.
Pengemis dengan mental pengemisnya tentunya terbentuk dari beberapa alasan. Pengemis bisa jadi karena memang tidak memiliki kemampuan untuk bekerja karena kecacatan. Akan tetapi, saat ini, apa pun kecacatannya, sebagian besar tetap dapat bekerja. Pemerintah menyediakan fasilitas untuk membantu kelompok ini. Tetapi, ada juga orang yang memiliki kecacatan panca indera tetap berusaha, seperti berjualan kerupuk keliling, mengerjakan kerajinan membuat alat rumah tangga seperti sapu untuk dijual dan memijat. Jadi untuk kelompok ini pun, sedikit sekali alasan untuk mengemis.
Ada juga pengemis dikarenakan malas bekerja. Dari sananya sudah tidak memiliki semangat untuk bekerja. Meskipun untuk ini, beberapa keahlian diperlukan, setidaknya keahlian untuk bermain drama. Seperti banyak ditemukan di lampu—lampu merah, pengemis yang bertingkah cacat dan memiliki penyakit kusta. Dulu, di Bandung ini sangat banyak di sekitar Jalan Wastu Kencana. Pengemis jenis ini sebenarnya cerdas, karena memiliki strategi dan upaya-upaya untuk meyakinkan orang-orang yang dimintai.
Banyak juga pengemis yang masih bugar dan sehat dalam pengertian memiliki kelengkapan tubuh yang sempurna yang bisa digunakan untuk bekerja. Akan tetapi, karena mentalitas pengemis yang menggampangkan dan tidak bertanggung-jawab, maka dia menjadi pengemis.
Mentalitas pengemis ini ternyata tidak terjadi hanya pada masarakat dengan latar pendidikan rendah. Masyarakat dengan pendidikan tinggi juga memiliki mentalitas seperti ini. Tindakan-tindakannya ditentukan pada seberapa banyak dia mendapatkan dari orang-orang disekelilingnya.
Mentalitas pengemis ini dicirikan oleh perilaku tidak bertanggung-jawab akan peran diri dan situasi diri sendiri. Kemudian tanggung-jawab ini dialihkan kepada orang lain. Kalimat di bawah ini saya kutip dari satu artikel yang ditulis oleh jurnalis Sam Kebongo, dari The NewsTimes, sebuah harian berbahas Inggris di Rwanda. Bukan sumbernya yang mau saya tonjolkan, akan tetapi makna dari tulisannya. Sekalian belajar bahasa Inggris.
Kebongo mengatakan, “Beggar mentality is characterised by a diminished sense of responsibility of one’s role in a situation or even one’s own circumstances. Lebih lanjut dia sampaikan, “Unfortunately, this lack of balanced thinking is not only seen among beggars on the streets. It affects some of us to varying degrees.
Pada intinya ini sekali lagi soal tanggung-jawab sesuai dengan peran dan situasinya. Mentalitas pengemis ini dicirikan oleh rasa tanggung-jawab yang berkurang atau hilang. Secara umum disampaikan bahwa mentalitas pengemis ini tidak hanya terjadi pada pengemis-pengemis yang berada di jalan—jalan raya. Mentalitas seperti ini juga ada pada semua tingkatan masyarakat dengan tingkatan yang berbeda.
Seorang pekerja yang bekerja malas-malasan akan tetapi menginginkan gaji yang tinggi, bisa dikategorikan manusia dengan mental pengemis. Seorang pengusaha atau pedagang dengan layanan yang buruk tetapi tetap menginginkan pendapatan yang tinggi, dipastikan mengidap mentalitas pengemis ini. Pada intinya dapat dikatakan bahwa orang-orang yang tidak bekerja keras, akan tetapi berharap mendapatkan hasil yang maksimal, mereka adalah orang-orang yang terkena dan memiliki mentalitas pengemis.
Mentalitas seperti ini terjadi dan ada di semua ruang lingkup; baik bisnis, pendidikan, pemerintahan, masyarakat dan juga di arena politik.
Bahkan dalam dunia politik Indonesia, yang terkenal dengan pola client-patron, dimana ada penjaga dan yang dijaga, ada yang dilindungi dan melindungi, mentalitas ini subur terjadi. Mereka akan menggunakan trik-trik yang tidak bertanggung-jawab untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Kemudian jika terjadi akibat negatif dari perbuatannya, akan dicarikan kambing hitam yang bisa dikorbankan. Tentunya ini adalah tindakan yang tidak bertanggung-jawab. Ini merupakan mentalitas yang jelas-jelas sangat merusak.
Saat ini, dalam kerangka pilkada DKI Jakarta, jika sedikit bisa bercerita, ada juga calon-calon gubernur yang memiliki mentalitas pengemis ini. Calon-calon ini mencoba meminta-minta dukungan kepada partai-partai lain. Dukungan dimintakan kepada beberapa partai yang jelas-jelas lebih tertarik untuk mencalonkan calon dari partainya sendiri. Dalam perjalanan karirnya, beliau sebenarnya memiliki partai yang seharusnya dielus-elus, dirawat-rawat dan dibesarkan sehingga bisa menjadi kendaraanya untuk memuaskan ambisi politiknya.
Akan tetapi, dengan tidak bertanggung-jawabnya, calon tersebut memilih membiarkan partainya tunggang-langgang dan jumpalitan seperti anak ayam ditinggalkan induknya. Tentu saja hal tersebut terjadi, karena pemimpinnya tidak pernah memihak kepada partainya, mungkin untuk meliriknya pun tidak. Pemimpin partai ini lebih nyaman mencari-cari dukungan kepada partai lain.
Secara akal sehat saja, bisa ditelisik. Jika seseorang calon memiliki nilai jual tinggi, karena kemampuan dan pengalaman serta populer dan terlebih—lebih memiliki elektabilitas tinggi, niscaya tanpa meminta-minta pun, partai-partai besar akan ‘melamarnya’ untuk dicalonkan.
Tindakan tidak bertanggung-jawabnya adalah dengan elektabilitas yang rendah, dan kemampuan yang belum diakui masyarakat, sosok tersebut berani menjual dirinya kepada partai-partai. Kembali secara logika, dengan rendahnya nilai jual, sangat bisa dipastikan banyak yang dijual kepada partai-partai yang dimintai dukungan. Mentalitas yang tidak bertanggung-jawab ini termasuk dalam ciri mentalitas pengemis tadi.
Menambah daftar, ada juga yang sudah berusaha keras mencalonkan diri menjadi calon gubernur, tetapi tidak satu pun partai mendukungnya. Meskipun sudah pernah ke Kalijodo untuk numpang makan siang di warteg disana dan pura-pura menggendong bayi. Kembali, dia tidak punya nilai jual yang memadai untuk dicalonkan. Bahkan, calon satu ini harus menjilat ludahnya sendiri, ketika dia mendekati partai yang ketuanya adalah termasuk golongan yang dihinanya. Dia punya statemen yang sangat terkenal, “LGBT sama dengan non-muslim dan babi”. Penulis sebenarnya agak jerih menuliskan pernyataan ini. Tetapi demi menunjukkan mentalitas pengemis yang dimilikinya, maka harus dituliskan.
Para pendukung semangatcalon ini yakni asal bukan petahana, ternyata didukung banyak partai juga. Disini dia kecele. Dia pikir partai-partai itu akan mendukungnya karena partai-partai itu mendukung semangatnya yang asal bukan petahana itu. Cara berfikir seperti ini pasti juga karena mentalitas pengemis ini, karena dengan mudahnya dia beranggapan bahwa partai-partai itu mendukungnya hanya karena satu semangat. Dia kecele. Dia salah besar.
Sangat disayangkan, mentalitas pengemis yang saat ini berkembang subur dalam dunia perpolitikan Indonesia, bahkan sepertinya menjadi suatu budaya politik. Politik pengemis yang diisi banyak pengemis politik. Maka menjadi aneh buat mereka semua ketika ada seorang calon gubernur yang berani mencalonkan diri tanpa harus meminta-minta kepada partai untuk mendukungnya.
Dengan resiko yang sangat tinggi, sang calon gubernur itu berani mengambil pilihan untuk maju lewat jalur independen. Partai raksasa itu bahkan diultimatum, diberikan deadline. Ini menambah sakit jantung partai itu semakin kumat. Dengan segala emosi yang berusaha dirependam, sang pemimpin partai memanggil petugas-petugas partainya dari segala penjuru angin untuk ditugakan mengalahkan sang calon independen tadi.
Tentunya calon—calon yang dipanggil itu tidak sembarangan. Calon-calon yang akan ditugaskan untuk mengalahkan sang calon independen adalah pejabat-pejabat yang sangat disayangi rakyat di daerahnya. Tetapi, karena memiliki mentalitas pengemis, tidak bertanggung-jawab, tanpa peduli sang calonnya disuruh meninggalkan gelanggangnya yang sedang bagus-bagusnya ditatanya.
Demikianlah, penyakit mentalitas pengemis ini masih bersimaharaja dalam dunia politik Indonesia. Politik Pengemis melahirkan banyak sekali pengemis-pengemis politik yang memiliki mentalitas pengemis yang tidak bertanggung-jawab dan memudahkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya tanpa perlu berkeringat. Dan yang lebih parah lagi, jika karena mentalitasnya ini, kemudian dia mencuri, lalu tertangkap KPK dan senyum-senyum serta melambai-lammbaikan tangan di televisi dalam balutan rompi oranye KPK, bisa dipastikan orang tersebut adalah salah seorang pengemis politik.
Harapannya, dengan semakin terdidiknya generasi muda Indonesia yang suatu waktu menjadi pengganti para pemain di perpolitikan Indonesia saat ini, politik pengemis dan pengemis politik akan sirna. Tetapi, bisa juga terjadi jadi malah sebaliknya, makin subur. Bisa jadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H