Ingatan pendek ini berlaku juga untuk hal-hal lain. Mereka lupa dengan pekerjaan mereka untuk membuat undang-undang. Sibuknya mengurusi perpanjangan kontrak Freeport dari pada mengurus undang-undang yang penting bagi kemaslahatan bangsa dan negara. Ketika urusan itu untuk kemaslahatan kaumnya, para anggota dewan ini dengan cepat melupakan kemaslahatan para rakyat pemilihnya sebagai pemilik negara ini.
Karena seringnya menciptakan ‘peluang curang’, maka sering sekali anggota ini harus bekerja keras untuk mendapatkan ‘uang’ untuk mengamankan posisi mereka. Jika tidak terdapat setoran yang pas, ancaman pergantian antar waktu mungkin menjadi momok. Mereka tidak peduli dengan cara apa pun untuk mendapatkan ‘rasa aman’ untuk tetap menjadi anggota dewan. Cenderung mereka melakukan tindakan-tindakan kompak berupa korupsi bareng-bareng. Tentunya masih ingat bagaimana mereka kompak untuk mengubah Undang-Undang KPK.Â
Salah satunya adalah dengan menaikkan nilai korupsi yang boleh ditangani KPK, dari Rp. 1 milyar menjadi Rp. 50 milyar, walaupun selanjutnya diturunkan menjadi Rp. 25 milyar. Maksudnya gampang ditebak. Kalau mereka butuh 100 milyar, maka cukup mengutus dua anggota untuk korupsi Rp 50 milyar kurang 1 rupiah, sehingga KPK tidak akan menyidik kasusnya. Ini hanya sebentuk kecurigaan sebenarnya.Â
Tindakan-tindakan DPR sepertinya sama dengan DPRD di daerah lainnya. Bisa juga DPRD yang menginspirasi DPR.Saling menginspirasi. Mungkin ini bisa terjadi karena mereka memiliki sifat meniru. Sifat meniru ini diterjemahkan dalam tindakan-tindakan yang seragam. Melakukan korupsi dan menyerang orang-orang yang mencoba menggangu kenikmatan yang mereka rasakan saat ini.Â
Bahkan Gubernur Jawa Barat sangat tunduk kepada anggota DPRD, rela melewatkan Rp. 50 milyar demi kebahagian yang terpancar di anggota dewan yang dihadiahi Fortuner kelas tertinggi. Katanya dananya dari dana desa. Pastinya ini ditiru dari anggota DPR yang memaksa Presiden untuk bertemu dan bertatap muka untuk perkara yang seharusnya ditangani di tingkat menteri. Mereka memaksa berkonsultasi dengan Presiden langsung untuk membahas Undang-Undang Tax Amnesty. Mungkin mereka mau negosiasi mengamankan sesuatu.
Selanjutnya sifattrial and error sering mereka terapkan untuk mendapatkan keuntungan dan kenikmatan duniawi. Mencoba berbagai upaya dan cara dan bermain-main dengan uang rakyat. Kalau gagal coba lagi dan begitu seterusnya. Jika tidak berhasil dengan proyek satu, mereka mencari proyek lainnya, semua proyek dicoba-coba untuk digarap. Mulai program UPS hingga program pengurangan 10% kewajiban di proyek reklamasi. Mulai proyek gedung olah raga yang menjadi sarang ular hingga proyek jalan di Maluku.Â
Upaya-upaya ini tentunya untuk mendapatkan berbagai benda-benda mewah mulai dari jam tangan, liburan gratis ke Amerika bersama keluarga, dan beberapa mobil Alphard yang mewah. Para istri mereka juga dikirim ke Jepang untuk menikmati bunga sakura dan memamerkan kegenitan dengan lenggak-lenggok indah menggunakan uang rakyat. Bahkan untuk makan pun, mereka meminta jatah lebih tinggi, dengan harapan bisa menikmati lezatnya daging lobster dari Laut Utara yang sangat nikmat.
Hal yang paling menonjol adalah kesukaan dan kebutuhan tidur para anggota DPR ini. Sialnya, waktu tidurnya tidak dilakukan pada malam hari sebagaimana seharusnya manusia normal tidur. Para anggota dewan ini banyak yang melakukkannya saat-saat sidang paripurna. Ruangan yang dingin, baju yang hangat, kursi yang empuk, mimpi tentang selingkuhan yang cantik, kadang-kadang gambar-gambar indah digadget, dan kantuk yang diakibatkan begadang malam sebelumnya untuk lobby-lobby, membuat anggota dewan ini dapat menikmati waktu tidur di sidang paripurna dan sidang-sidang lainnya tanpa merasa bersalah. Mungkin karena hasilnya sudah jelas, ada rupiah-rupiah yang sudah mengalir dan perjuangan mereka sudah tuntas, mengalirkan uang rakyat sampai jauh, tidur pun semakin nikmat.
Memang wajar saja Gus Dur mengatakan bahwa anggota DPR ini bertingkah seperti taman kanak-kanak. Kelakuan-kelakuan dan akrobat-akrobat yang ditunjukkan setali tiga uang dengan sifat anak-anak tersebut. Hingga saat ini, tingkah dan tindak-tindak tanduk DPR masih sama saja. Masih bertingkah layaknya taman kanak-kanak, seperti yang dituduhkan Gus Dur belasan tahun yang lalu. Tidak berubah dan stabil.
Akan tetapi, dalam satu kesempatan, Gus Dur pernah menyampaikan penyesalannya karena menyamakan DPR dengan Taman Kanak-Kanak. Ketika ditanya kenapa, Gus Dur kemudian menjawab "Karena saya berdosa telah meremehkan anak-anak yang masih suci, cerdas, kreatif itu. Mereka saya samakan dengan anggota DPR yang kotor dan kreatif mencari celah untuk mencari uang". Penyesalan yang wajar sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H