Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan featured

Sebersit Cahaya, Palu Godam Artidjo Meremukkan Para Koruptor

2 April 2016   14:23 Diperbarui: 20 Desember 2019   09:07 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hakim Agung Artidjo Alkostar. Sumber: JIBI Photo

Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Kejahatan luar biasa ini memiliki dampak merusak luar biasa.

Dengan demikian, cara-cara luar biasa harus digunakan untuk menghukum para koruptor, pelaku pencurian uang rakyat ini. Korupsi menghambat pertumbuhan negara dan pada akhirnya akan menghancurkan, menciptakan kemelaratan di masyarakat.

Tidak kurang berbagai strategi telah dijalankan pemerintah Indonesia dalam rangka pemberantasan korupsi ini. Rencana Aksi Nasional dan Rencana Aksi Daerah diformulasikan untuk memastikan peta jalan bagi pemberantasan korupsi.

Bappenas pada 2010 bahkan menerbitkan Pedoman Umum Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi. Pada tahun 2004, Presiden Yudhoyono mengeluarkan telah Inpres No. 5 untuk memastikan terjadinya percepatan pemberantasan korupsi, setelah tentunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang pendirian KPK.

Nyatanya, semua dokumen dan peraturan ini hanya menjadi macan kertas. Korupsi tetap berjalan dan para pencari rejeki ‘curang’ ini berjaya untuk melakukan tindakan korupsi ini. Perampokan uang negara ini merata di seluruh tingkatan dan seluruh wilayah.

Perkara korupsi ada di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Perkara korupsi menjerat pejabat di tingkat nasional dan daerah. Korupsi ini telah menjadi seperti kanker ganas yang menggerogoti negara.

Bisa jadi ini karena kegiatan korupsi ini difasilitasi oleh sistem hukum dan pelaku hukum yang bermental ‘tempe’. Tidak kurang pelaku-pelaku hukum ini berjualan hukum layaknya kacang goreng.

Semua proses hukum sejak tertangkap hingga proses di pengadilan memiliki harga. Semakin masuk ke pengadilan, harganya semakin tinggi. Penundaan penerbitan salinan kasasi saja bisa menjadi uang. Harganya Rp. 400 juta.

Di tengah gersangnya harapan di sistem peradilan hukum di Indonesia, karena hukum yang bisa diperjual-belikan, ada setitik harapan yang muncul pada diri seorang Hakim di Makamah Agung. Artidjo Alkostar. Dia seorang bintang, seperti yang tercantum dinamanya. 

Hakim bertubuh kurus, berkacamata, tetap sederhana, dan sudah berumur 67 tahun adalah Hakim Agung di Makamah Agung republik ini. Perjalanan hidupnya tidak dilalui dengan kemewahan yang sering ditunjukkan oleh hakim-hakim di negeri ini. Bahkan untuk ke kantor pun hingga saat ini, Ardjito masih sering menggunakan angkutan umum, bajaj. 

Rumah dinas yang seharusnya menjadi haknya, tidak bisa ditempati karena ada hakim yang tidak mau keluar. Ini tidak membuatnya gusar. Artidjo menyewa sebuah rumah sederhana di Kramat Kwitang. Sangat sederhana untuk ukuran jabatannya yang prestisius dan bisaa ‘menjanjikan’ kenikmatan. Artidjo tetap menjadi dirinya, sederhana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun