Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teringat Gayus Tambunan di KPP Pratama Pulo Gadung

31 Maret 2016   23:59 Diperbarui: 1 April 2016   00:23 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diyakini, Gayus hanyalah puncak gunung es dari perampokan uang rakyat ini, perampokan pajak rakyat yang dihasilkan dari bekerja keras. Pada tingkatan yang lebih bawah, terutama yang berada pada garis depan yang berurusan dengan para wajib pajak perusahaan, praktek-praktek ini pastinya ada. Hasil bisik-bisik dengan teman-teman yang keluar dari kantor pajak, tentunya ini tidak bisa dikonfirmasi, praktek ini adalah sebuah budaya. Bahkan ada kejadian, bagi mereka yang masih baru masuk, uang tiba-tiba muncul di rekeningnya, tanpa sepengetahuannya. Uang bagi-bagi. Sekali lagi, ini tidak terkonfirmasi. Hanya bisik-bisik tetangga. Hanya kemungkinan-kemungkinan. Hanya cerita-cerita.

Hal ini bisa kita pastikan jika melihat pada kecepatan ‘para oknum perampok’ pajak ini dalam mengumpulkan harta. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, rumah baru dan deposito serta alat-alat canggih yang tidak bisa dibeli kaum awam, jamak menjadi milik mereka. Bahkan, para istri petugas pajak ini katanya memiliki candaan yang unik. Harga barang mahal yang mereka inginkan dihargai dengan ‘amplop’. Katanya, kalau mau beli jam seharga, katakanlah puluhan juta rupiah, para istri ini mengatakan ‘cukup 2 amplop’. Penulis jadi iri. Benarkah berita ini?

Upaya menghilangkan niat buruk petugas pajak ini, telah dilakukan pemerintah. Pemerintah melakukan kebijakan remunerasi. Di antara pegawai pemerintah, pegawai pajak memiliki gaji paling tinggi. Remunerasi yang diberikan Sri Mulyani ini ternyata tidak berdampak banyak bagi para pencoleng uang rakyat ini. Seperti menaburkan garam ke lautan, katanya. Karena tentunya hasil ‘mengail’ mereka jauh lebih besar dari kenaikan pendapatan yang diberikan.

Dalam antrian, sempat berfikir, melihat kepada perjuangan para wajib pajak untuk mencari uang dan membayarkan kewajibannya kepada negara, masih kah praktek-praktek seperti Gayus ini akan terjadi? Para wajib pajak ini melakukan kewajibannya dan patuh kepada hukum. Mereka melakukan kewajibannya bukan karena tag line basi yang selalu dikumandangkan Ditjen Pajak: Orang Bijak Taat Pajak. Itu sudah basi. Tidak nendang dan tidak nyambung, itu kata anak-anak muda sekarang. Para wajib pajak ini melakukan kewajibannya karena patuh dengan pemerintah.

Para wajib pajak di KPP Pratama Pulo Gadung, yang menyerahkan SPT-nya, tanpa melihat jumlah pajak yang dibayarkan, tentunya memiliki harapan terhadap uang pajak yang dibayarkan. Mereka ingin agar pajak yang dibayarkan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Pada dasarnya memang pajak adalah basis pemerintah untuk melakukan pembangunan. Tanpa pajak, pemerintah tidak bisa melakukan pembangunan dan membayar para pegawainya untuk menjalankan fungsi publiknya.

Upaya pemerintah dilakukan sedemikian rupa untuk menggenjot pendapatan dari pajak ini. Selama ini target-target pajak masih meleset. Pergantian Dirjen Pajak diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara dari pajak. Dilihat dari rasio potensi pajak Indonesia, ternyata pajak yang dipungut sekarang itu hanya berkisar dari 12-14% total potensi wajib pajak. Masih banyak yang belum membayar pajak. Apalagi pejabat-pejabat yang LHKPN-nya belum diserahkan. Mereka disangsikan telah melakukan pembayaran pajak dengan benar.

Pemerintah sedang berupaya untuk mengintensifkan pendapatan pajak ini dengan menambah jumlah wajib pajak, menghilangkan kebocoran, hingga berencana mengadakan suatu badan yang memiliki otoritas pemungutan pajak, seluruh jenis pajak. Hal ini masih ditentang banyak sektor, karena sektor-sektor yang memiliki potensi pajak akan ‘kering’. Polisi, misalkan, masih menangani pajak kendaraan bermotor. Seharusnya polisi hanya melakukan penegakan hukum terkait lalulitas ini. Kehutanan masih ada dana reboisasi ataupun dana recovery untuk petambang yang mendapatkan pinjam pakai wilayah hutan. Upaya-upaya perbaikan yang dilakukan pemerintah haruslah didukung.

Akan tetapi, di dalam antrian tadi, sempat ragu untuk melaporkan dan membayarkan pajak, melihat senyum Gayus di layar telepon pintar itu. Tapi, demi sebuah kewajiban kepada negara yang harus ditunaikan, demi pelayanan publik yang lebih baik, maka urusan SPT ini harus dituntaskan. Harapnnya, gayus-gayus lain tidak muncul merampok hasil keringat rakyat kecil yang berjuang untuk melakukan kewajibannya bagi negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun