Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menakar Ahok: Ahok Mencuci Partai Politik [Bagian 3]

30 Maret 2016   13:32 Diperbarui: 30 Maret 2016   13:42 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto: korannonstop.com"][/caption]

Sebenarnya, tidak ada yang istimewa dengan pekerjaan yang dilakukan Ahok. Ahok hanya ingin melakukan sumpah yang diucapkan ketika dilantik menjadi gubernur Jakarta. Hanya itu, melayani masyarakat Jakarta dengan pelayanan publik yang berkualitas. Sangat biasa, bukan?

Masalahnya justru disitu. Dibutuhkan sumber daya yang mumpuni untuk melakukan pekerjaan sederhana itu. Sumber daya yang sama dengan Ahok tentunya. Para pelayan publik yang benar-benar melayani. Sederhana juga, bukan? Pelayanan publik yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur, sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Ini seturut dengan nilai-nilai yang dianut Ahok dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai pelaksana pelayanan publik.
Tetapi untuk memunculkan mereka- pelayan publik berkualitas- ke permukaan, terpaksa Ahok membuat ‘pusaran’ keras di ‘kolam’ pemerintah daerah Jakarta. Tujuannya untuk memunculkan mereka yang bisa bekerja, menganut nilai-nilai pelayanan publik Ahok dan memiliki semangat yang linier dengan sang gubernur. Para pegawai pemerintah daerah yang militan untuk menjalankan pelayanan publik prima.

Dalam bahasa akademisnya Ahok melakukan reformasi administrasi. Reformasi administrasi ini memerlukan sumber daya manusia yang mumpuni. Sejalan dengan Yehezkel Dror (1970) seorang pakar Administrasi Publik, menyatakan diperlukan staf dengan kualitas tinggi untuk melaksanakan strategi reformasi administrasi yang konsisten.

Seturut dengan hal di atas, beberapa pelayanan publik yang diperbaiki, menunjukkan hasilnya. Banyaknya masyarakat puas dengan kepemimpinan Ahok dan kinerjanya, membuat Ahok tetap menatap lurus dengan cita-citanya. Semangat Ahok berkelindan dengan keinginan rakyat Jakarta untuk Jakarta yang lebih baik. Sayangnya tidak semua memberikan respons positif untuk cita-cita mulia Ahok ini. Kemungkinan terbesarnya upaya bersih-bersih yang dilakukan Ahok menutup rejeki ‘curang’ para penentangnya.

Para penentang di internal pemerintah daerah ini dan ditenggarai memiliki jaringan dengan DPRD dan berujung pada partai politik yang ‘bermain’ di Jakarta. Akhirnya banyak yang bersatu untuk melakukan upaya-upaya mengalahkan Ahok di pilkada berikutnya. Bahkan secara masif masih menyerang setiap kebijakan yang diambil Ahok. Para penentang ini tidak pernah berbicara tentang program, tetapi kejelekan Ahok. Ini tidak berimbas banyak kepada masyarakat Jakarta yang menyukai pelayanan publik Ahok sehingga tidak memberikan dampak yang serius kepada dukungan terhadap Ahok dan program-programnya. Jalan lurus dan bersih, itulah pilihan Ahok.

Selaras dengan hal di atas, karena Ahok memang ingin melaksanakan pekerjaannya dengan cara yang benar, tidak menghamba dan berupeti kepada partai, Ahok dengan gagah berani memutuskan mencalonkan untuk Pilkada DKI Jakarta lewat jalur perseorangan. Dengan dukungan yang sangat kuat dari Teman Ahok dan masyarakat pendukung yang hingga kini mencapai 800 ribuan. Lebih baik maju perseorangan daripada lewa partai yang sangat ‘bersyarat’. Syarat calon perseorangan terpenuhi. Ini menggusarkan banyak partai.

Ternyata nilai-nilai kerja Ahok ini tidak sejalan dengan sistem nilai partai. Banyak partai yang masih menjadi permasalahan, karena sistem nilai partai yang cenderung tidak menguntungkan masyarakat. Kebiasaan mengajukan calon partai yang dipilih partai, sering sekali tidak sesuai dengan pilihan rakyat, masih menjadi praktek standar partai. Ujung-ujungnya, para penguasa ini sibuk melayani ‘nafsu’ partai dan ketua partai. Di Indonesia sendiri, partai masih banyak dikendalikan para penguasa partai, oleh karena karisma maupun dana besar yang dibawa oleh ketua partai. Partai adalah mesin yang bekerja untuk kepentingan partai itu sendiri. Kepentingan rakyat hanya semanis di mulut pada masa jelang pilkada dan pemilu serta pemilu daerah. Setelah itu, rakyat ‘dibekok’.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kemitraan (2011), menyatakan hal yang masih menonjol dengan partai adalah: (i) partai politik tampil sebagai saran memobilisasi warga, tidak memperjuangkan aspirasi dan kepentingnan warga, (ii) lebih fokus pada upaya mencari dan mempertahankan kekuasaan baik di dalam internal partai maupun dalam lembaga legislatif dan eksekutif melalui pemilihan umum, (iii) porsi kegiatan, waktu dan dana, mencari dan mempertahankan kekuasaan jauh lebih besar daripada kegiatan yang berorientasi pada kebijakan pbulik, (iv) pengelolaan partai politik masih lebih banyak berdasarkan keputusan pengurus di bawah kepemimpinan yang sentralistik, oligarhik dan personalistik, (vi) sumber keuangan partai bukan dari pendukung loyalis partai tapi dari anggota partai yang ada di DPR dan eksekutif (self financing elites), para pengusaha tertentu yang ingin mendapatkan dukungan proyek (external-financing elites) dan tindakan kolutif (cartel parties).
Bisa kita lihat, nilai-nilai yang dianut Ahok berseberangan jauh dengan nilai-nilai partai-partai. Dengan nilai-nilai yang diterapkan Ahok yang berimbas pada reformasi administrasi sangat bertentangan dengan fenomena yang ada dalam kepartaian di Indonesia. Partai di Indonesia memiliki realitas dan kepentingan tersendiri.

Kenyataan di atas seturut dengan pemikiran Roderick T. Groves (1971) dalam jurnalnya yang berjudul Administrativve Reform and Political Development. Dia mengatakan, “Parties generally look to political patronage to maintain their unity and expand their appeal and this brings them into conflict with administrative reform efforts that emphasize recruitment, selection and promotion of personnel by merit. Semangat partai-partai berseberangan dengan reformasi administrasi yang dilakukan Ahok yang hendak memberikan pelayanan publik yang paling hakiki: menempatkan masyarakat pada tingkat tertinggi melalui pelayanan publik yang berkualitas.

Reformasi administratif akan sangat dihindari partai karena pola client-patronage yang ada. Partai akan berfungsi sebagai ‘penguasa’ yang melindungi mereka yang merasa terganggu dengan perubahan yang terjadi di dalam sistem pemerintahan. Ini terjadi juga di pemerintahan provinsi Jakarta.

Hal yang terjadi sekarang adalah terutama menjelang pilkadi DKI Jakarta tahun 2017, Ahok dengan pendirian yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran dalam pelayanan publik, dengan tegas dan tanpa tedeng aling-aling memilih untuk tidak mengikuti hasrat partai politik yang merasa memiliki kekuasaan untuk mengatur segala sesuatu yang terjadi di pemerintahan. Partai politik meradang ketika Ahok dengan tegas menyatakan bahwa Ahok tidak akan menggunakan kendaraan partai politik. Ahok menyadari kenyataan ini, masih relevan dengan pendapat para ahli di atas, menggunakan partai untuk menduduki jabatan DKI-1 untuk periode kedua akan mempersulit pelaksanaan nilai-nilai yang dianut dalam pelayanan publik Jakarta.

Ahok sama sekali tidak alergi dengan partai. Tetapi partai yang menggunakan kekuasaannya untuk mengatur Ahok dan mempengaruhinya dalam melaksanakan kepentingan publik, melayani rakyat Jakarta dengan efektif dan efisien, tidak akan diterima Ahok. Ahok menjauhkan dirinya menjadi pelayan partai, hamba bagi partai. Hal ini juga dilakukan Ahok dalam pencariannya untuk menemukan partai yang dapat memenuhi keinginannya untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik bagi masyarakat.

Ahok terpaksa harus pindah-pindah partai karena nilai-nilai partai dalam realitasnya tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut Ahok. Ini bukan soal tidak setia, ini soal menjaga nurani dan nilai-nilai murni yang dianut dirinya. Pernyataan ini secara tegas tentunya memunculkan reaksi partai. Muncul pernyataan mengatakan Ahok melakukan deparpolisasi yang berujung pada penghakiman pada demokrasi. Menurut para penentang ini, partai adalah pilar demokrasi. Sayangnya, hanya pernyataannya yang dianut partai, tidak prinsip-prinsipnya.

Hal yang terjadi kemudian adalah fenomena pembalikan arah. Ada partai yang mau menerima Ahok dengan segala nilai-nilai yang dianutnya. Partai-partai ini tentunya memiliki alasan untuk memberikan dukungan kepada Ahok. Ahok dapat mempertahankan nilai-nilainya dan partai-partai ini dengan rela mendukung keputusan Ahok untuk maju lewat jalur perseorangan. Mesin partai digunakan untuk memenangkan Ahok dan bersinergi dengan Teman Ahok yang telah terlebih dahulu melakukan gerakan mendukung Ahok maju lewar jalur perseorangan yang independen.

Nasdem, layak mendapatkan apresiasi. Tanpa menunggu waktu terlalu lama, Nasdem menyatakan dukungan kepada Ahok tanpa syarat. Dukungan partai tanpa mahar. Ini fenomena baru dan di luar yang dibayangkan partai-partai berkuasa. Tidak biasanya partai mengikuti keinginan calon kepala daerah yang berniat maju. Biasanya para calon ini yang akan datang ‘menghamba’ dan membayar mahar hanya untuk dicalonkan oleh satu partai politik. Fenomena ini berlawanan dengan aras yang biasa terjadi.
Selanjutnya Hanura menyusul. Hanura juga akan mendukung Teman Ahok mengumpulkan KTP untuk memastikan Ahok maju lewat jalur perseorangan. Hanura memiliki konstelasi tersendiri untuk ini. Beberapa anggotanya mengundurkan diri karena dukungan terhadap Ahok. Tetapi, Hanura jalan terus mendukung Ahok.

Partai-partai lain, tidak semua, mulai bergerak berputar. Arah kompas mereka mulai searah dengan Ahok. Calon-calon yang awalnya didukung ditinggalkan. Malu-malu, mereka mulai mengakui kebenaran yang ada dalam Ahok. Partai-partai mengubah setidaknya nilai-nilai yang mereka anut. Mungkin belum tepat mengatakan mengubah nilai-nilai fundamental mereka. Pasti ada hitungan-hitungan yang mereka lakukan.

Ahok tetap pada pendiriannya. Ahok maju dengan jalur perseorangan. Partai boleh mendukung, tetapi tanpa mahar. Menyatakannya dalam tindakan dan tidak tunduk pada keinginan partai. Fenomena ini mengubah haluan beberapa partai. Ahok telah berhasil mencuci partai-partai ini. Membersihkan mereka dari anasir-anasir yang bertentangan dengan nilai-nilai pelayanan publik yang Ahok lakukan. Ahok berhasil memaksa partai keluar dari paradigma lamanya untuk dapat menerima nilai-nilai yang dianut Ahok dalam rangka melakukan pelayanan publik yang berkualitas. Sisanya, masih malu-malu, padahal mau ikutan. Jadi, ini bukan karena sesuatu yang sangat luar biasa. Tetapi, hanya karena sesuatu yang sederhana, melakukan sumpah jabatan.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun