Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Menakar Ahok: Ahok Satu-satunya yang Bisa Bangun Jakarta [Bagian 1]

8 Maret 2016   23:43 Diperbarui: 8 Maret 2016   23:55 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ahok sudah teruji dan konsisten. Sumber: rri.co.id"][/caption]Menekan tuts-tuts lagi untuk mengalirkan sedikit kegelisahan yang muncul. Tulisan ini lahir karena komentar saya pada tulisan Saudara Revaputra Sugito. Berikut komentar saya pada artikel beliau berjudul “Kompasiana Membosankan Karena Semua Artikelnya Tentang Ahok”.

Menulis Ahok adalah menulis tentang harapan. Harapan akan Jakarta yang lebih baik. Arah kesana jelas-jelas sudah terlihat. Dan sejauh ini langkah-langkah yang dilakukan Ahok sudah pada track yang benar. Menulis Ahok tidak berarti mendewakan. Menulis Ahok adalah mendukung Ahok. Kalau anda bukan pendukung Ahok, ya silahkan saja. Kalau Anda tidak suka orang lain menulis Ahok, tidak bisa langsung dikatakan tidak kreatif. Karena kompasiana adalah terbuka dan pastinya berpihak. Tetapi tidak berpihak kepada Ahok, tetapi pada nilai-nilai. Oh ya soal sumber waras, silahkan dukung junjungan anda untuk mendukung Ahok menyelesaikan kasus ini di pengadilan. Ahok sudah siap. Dari pada berkoar-koar ga jelas soal. Ah, pasti anda menuduh saya tidak kreatif atau mendewakan Ahok. Biarin ajalah. Saya dukung Ahok.

Menanggapi komentar saya di atas, Saudara Revaputra Sugito mengomentarinya sebagai berikut, “Anda terlalu naif. Selain Ahok, memang tidak ada orang lain yang bisa membangun Jakarta? Hanya Ahok satu-satunya yang bisa bangun Jakarta? Pikirkan kalimat-kalimat saya itu!”

Sayaakan membahasnya dalam tulisan ini. Untuk kepentingan tulisan ini, terpaksa komentar Saudara Revaputra Sugito saya rapihkan sedikit. Karena dalam sebuah artikel, kata-kata tidak disingkat. Selanjutnya juga, huruf awal kalimat harusnya huruf besar. Tanda baca juga harus lengkap. Setidaknya begitulah kata-kata instruktur saya dalam beberapa kursus menulis yang saya ikuti, juga guru Bahasa Indonesia saya ketika masih SMP, dulu sekali. Tetapi, tentunya intinya bukan itu. Saya ingin menanggapi komentarnya dengan sebuah artikel. Kompasiana mengijinkannya. Demikianlah tulisan ini bermula, dalam konteks, setidaknya dalam perspektif saya, sebuah perdebatan yang hangat dan memajukan argumentasi-argumentasi. Sekaligus juga belajar cara menuangkan isi kepala ke bentuk tulisan.

Hal pertama yang saya bahas adalah kalimat pertamanya, “Anda terlalu naif”. Makna naif disini coba saya jabarkan karena saya tidak terlalu bisa membaca isi kepala beliau ketika menuliskan kalimat ini. Kalau naif disini diartikan bahwa saya dengan membabi buta mendukung dan mendewakan Ahok, maka jelas sekali itu salah. Ini sebuah tuduhan bentuknya. Kalau naif disini diartikan saya memang tidak tahu apa-apa tentang Ahok, maka ini sangat-sangat subjektif dan perlu diuji. Tapi, bisa jadi, saya tahu Ahok terlalu sedikit. Untuk ini, saya perlu pencerahan lebih lanjut.

Saya melangkah ke kalimat kedua dan ketiga. Karena saya pendukung Ahok, maka saya akan katakan dengan lantang, “Ya!”. Ahoklah satu-satunya yang bisa membangun Jakarta. Ahoklah yang memiliki visi, misi, implementasi dan konsistensi tingkat tinggi yang mampu membangun Jakarta. Saya tidak melihat ada calon-calon lain yang layak memimpin Jakarta. Para penantang Ahok sampai saat ini hanya mampu berkoalisi untuk sebuah gerakan bernama “Asal Bukan Ahok”. Mendiskreditkan Ahok. Bukan cara yang menawan tentunya. Mereka tidak bercerita soal program dan hal-hal yang bisa mereka janjikan. Mungkin para penantang Ahok tidak bisa lagi ‘ngecap’ karena semua sudah dikerjakan Ahok. Tinggal waktu yang membuktikan selanjutnya.

Kalimat terakhir yang meminta atau mungkin menyuruh saya untuk memikirkan kalimat beliau, tentunya menjadi sia-sia. Ini dikarenakan saya telah dengan lantang menjawab untuk kalimat kedua dan kalimat ketiga tadi. Jadi, tidak ada gunanya lagi untuk memikirkan kalimat-kalimatnya. Akan tetapi, kalimat dengan tanda seru, seharusnya, mungkin beliau memiliki pemahaman bahwa saya tidak bisa memahami kalimatnya dengan baik dan lumayan. Tetapi, ini hanya tebakan saya. Saya tidak bisa membaca isi kepalanya dengan lengkap.

Tentunya, dalam hal menyatakan Ahok sebagai satu-satunya yang bisa membangun Jakarta, saya memiliki ukuran-ukuran sendiri. Bukan karena saya naif. Saya menakar Ahok dengan skala yang selayaknya menurut ukuran-ukuran standar. Disini, saya akan jabarkan cara saya menakarnya. Saya akan bercerita tentang tiga cerita.

Terbetiklah sebuah kisah, ini kisah pertama, seorang anak raja hidup bahagia dan sentosa, yang seluruhnya dilewati di dalam dinding istana megah. Hingga kemudian anak raja tersebut telah dewasa dan ingin mengetahui hal-hal yang terjadi di luar dinding istana. Keinginannya terkabul. Suatu ketika, sang anak raja keluar dari istana dan berjalan-jalan dengan para pengawalnya. Dia begitu heran dengan pemandangan di luar dinding istana. Banyak yang kurus kering, penyakitan, dan kelaparan. Ketika anak raja menanyakan kepada pengawalnya ada apa dengan orang-orang tersebut, para pengawal mengatakan mereka sakit dan kelaparan. Anak raja bertanya,”Apa itu lapar? Apa itu sakit?”. Sang anak raja tidak mengerti kata sakit dan lapar. Kosakatanya tidak memiliki kata-kata itu.

Kisah kedua tidak berhubungan dengan kisah pertama. Ini sebuah cerita dari seorang teman yang dulu bekerja di salah satu kementerian yang tugas dan fungsinya mengembangkan teknologi dan penerapannya. Beliau dulu menempuh pendidikan di Jepang selama 7 tahun. Di Jepang dia bersahabat dengan teman kuliahnya, seorang Jepang. Setelah selesai menempuh doktornya, dia kembali ke Indonesia. Sementara si teman Jepangnya sangat ingin menjadi PNS di Jepang. Ternyata di Jepang, menjadi PNS sangat bergengsi. 

Setelah dua kali gagal mencoba, dia berhasil di percobaan ketiga. Dia melamar untuk posisi setingkat manajer, sesuai dengan tingkat pendidikannya. Siapa nyana, selanjutnya yang terjadi adalah sang calon manajer ini ditugaskan atasannya untuk bekerja dimulai dengan membersihkan gedung kantor selama 6 bulan. Menjadi petugas kebersihan. Seorang berpendidikan doktor. Selulus dari pekerjaan cleaning service ini, beliau ditugaskan di bagian administrasi selama 2 tahun. Selanjutnya ke jenjang lebih tinggi dan baru pada tahun keempat, beliau menduduki posisi yang dilamarnya sedari awal.

Lebih lanjut, ini kisah ketiga, tentunya tidak berhubungan dengan kisah pertama dan kisah kedua. Ini tentang metode yang digunakan oleh Mbah Google untuk mencari karyawannya. Mbah Google menamakannya profiling. Profiling adalah sebuah metode yang digunakan untuk mencari gambaran seseorang melalui perilaku, tindakan, pengalaman, isi kepala, kegiatan, rencana, dan segala sesuatu yang dilakukan dan berhubungan dengan seseorang. Semua variabel tersebut dimasukkan ke dalam sebuah proses algoritma yang menentukan profile seseorang. Di Google, untuk menjadi bagian keluarga besarnya, tidak melulu soal curriculum vitae yang disiapkan sebelum melamar dan nilai tinggi di akademis. Yang penting adalah profil seseorang itu sesuai dengan profil organisasi Mbah Google. Dalam konteks Mbah Google, segala sesuatu yang anda input dalam internet, adalah jejak anda dan tidak akan hilang. Begitu katanya. Profile yang dibentuk dalam rentang waktu yang lama. Mungkin secara sederhananya, rekam jejak.

Lalu, apa hubungan tiga cerita di atas dengan menakar Ahok. Simak penjelasannya sebagai berikut. Seseorang tidak akan pernah bisa mengerjakan sesuatu kalau tidak melaksanakan dan mengalaminya secara langsung. Istilahnya, terekspose langsung. Seseorang harus benar-benar mendapatkan pengalaman dengan apa yang dikerjakannya, untuk kemudia mampu melaksanakannya dengan baik dan benar. Pemahaman akan sesuatu hal akan lebih baik jika mengalaminya dan merasakan langsung.

Sejalan dengan hal di atas, kisah di Jepang itu juga menggambarkan betapa pemahaman fungsi-fungsi dari tingkatan yang paling bawah adalah sebuah keniscayaan. Seseorang harus melewati semua tahapan dalam sebuah proses. Memahami keseluruhan proses melalui mengalami langsung akan memampukan seorang individu yang menjalaninya dalam mengerjakan tugasnya sesuai dengan mandat dan jabatan yang dipegang. Karakter dan nilai-nilai yang dimiliki akan menjadi sesuai dengan tujuan sebuah organisasinya. Demikian juga halnya dengan memimpin di DKI Jakarta
Terkait dengan dua hal di atas, maka Ahok memiliki kelengkapan untuk menjadi seorang pemimpin.

Dengan demikian, pada titik tertentu dapat dikatakan sebagai yang paling layak untuk memimpin Jakarta. Kelengkapan Ahok dapat dilihat dari kehidupan keluarganya yang miskin, kemudian berjuang untuk bangkit. Mengalami menjadi pengusaha yang diperas pejabat hingga akhirnya menutup sebuah perusahaannya yang keuntungannya sudah mencapai sekitar 150 ribu dolar Amerika per bulan. 

Ditutup, karena Ahok tidak kuat dengan kelakuan minus para pejabat yang selalu meminta jatah. Hingga kemudian dia terjun ke politik supaya bisa mempengaruhi kebijakan dalam kerangka mensejahterakan masyarakatnya. Teringat pesan Bapaknya bahwa jika ingin mensejahterakhakn lebih banyak orang, Ahok harus menjadi pejabat. Menjadi pengusaha, hanya mensejahterakan sedikit saja. Dan dia merebutnya dan dia berhasil dan sekarang memimpin Jakarta dan masih tetap berfikir, bekerja dan berusaha untuk mensejahterakan rakyat Jakarta.

Dalam kerangka paparan di atas kemudian, kisah ketiga menjadi relevan. Profil Ahok layak menjadi seorang pemimpin Jakarta, rekam jejak beliau menunjukkan ke arah itu. Semua yang dilakukan Ahok sejak di Belitung mulai menjadi pengusaha, anggota DPRD, Bupati Belitung, Anggota DPRRI, Wakil Gubernur Jakarta dan akhirnya menjadi gubernur Jakarta semuanya menunjukkan hal hal yang sangat konsisten, yakni konsisten dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Profil beliau dengan jelas menggambarkan konsistensi yang luar biasa. Tidak ada penyimpangan dari nilai-nilai awal yang diterjemahkan dalam tindakan. Keinginan untuk mensejahterakan masyarakat dengan cara yang benar dan tepat adalah hal yang dilakukan sejak dahulu. Sekarangpun semuanya itu sudah teruji.

Mengalami  mulai dari tingkat terendah dan kekonsistenan akan nilai-nilai yang dianut, membuat saya menyatakan dengan tegas bahwa Ahok sangat layak menjadi Gubernur DKI untuk periode kedua. Risiko itu pun tetap diambil untuk tetap konsisten dengan nilai-nilainya. Degas beliau menyatakan ikut pemilihan melalui jalur independen karena tidak ingin berubah dari ucapannya dan juga tidak bisa melayani keinginan partai-partai yang sangat banal.

Banyak yang menyatakan bahwa Ahok seorang kutu loncat dan seperti kacang lupa pada kulitnya. Justru karena sangat konsisten dengan nilai-nilai yang dipegangnya dan dilengkapi dengan kapasitas yang mumpuni, maka Ahok dengan gagah berani meninggalkan partai-partai yang berseberangan dengan hati nuraninya. Partai-partai yang merasa memiliki kuasa atas segala-galanya itu tidak pernah berfikir bahwa Ahok tidak akan tunduk kepada mereka.

Pilihan Ahok lewat jalur independen dikatakan adalah jalur yang penuh risiko. Itupun Ahok tempuh, karena Ahok tidak gila dengan kekuasaan. Kekuasaan yang mungkin akan mudah Ahok ambil jika memenuhi hasrat partai. Meskipun Undang-undang membuka kesempatan untuk calon lewat jalur independen, tetapi yang terjadi sekarang adalah upaya meningkatkan ‘kekhawatiran’ para pendukung Ahok dengan menyatakan jalur independen berpeluang kecil untuk menang. . Genderang perang telah ditabuh ‘partai itu” untuk menghantam si independen ini. Sang Bunda sudah sangat tersinggung, soalnya.

Dengan takaran yang saya gunakan; pengalaman, kemampuan, nilai-nilai dan pembuktian serta konsistensi setara presisi swisswatch, Ahok adalah satu-satunya yang bisa membangun Jakarta, saat ini. Kalaupun Ahok harus kalah di pilkada nanti karena memilih jalur independen, itu adalah risiko sebuah perjuangan dan harga yang harus dibayar untuk mempertahankan nilai-nilai.

Dukungan keluarga juga masuk dalam takaran ini. Dengan dampingan istri dan keluarga yang rela bila sekalipun Ahok mati dalam melaksanakan tugas, adalah jiwa kesatria yang memberikan nafas dan kekuatan bagi Ahok untuk berjuang bagi masyarakat Jakarta.

Pada akhirnya, Ahoklah satu-satunya yang bisa bangun Jakarta. Saya tidak naif untuk mengatakannya. Saya juga sudah pikirkan baik-baik kalimat-kalimat yang saya guratkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun