Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

DKI-1, si Seksi yang Mulai Digoda

1 Maret 2016   05:37 Diperbarui: 1 Maret 2016   07:27 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Robert Mac Iver mengatakan kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi perintah  atau tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yang tersedia. Kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang dapat digunakan untuk melakukan sepertinya ‘apa saja’. Pada kenyataannya para pemimpin melakukan apa yang ingin dia lakukan dengan menggunakan kekuasaannya. Kekuasaan bisa didapatkan dengan beberapa cara, seperti sarana paksaan fisik, keahlian, status sosial, harta kekayaan, popularitas, jabatan dan massa yang terorganisasi.

Sebenarnya kekuasaan itu bisa bersifat positif atau negatif. Kekuasaan positif merupakan anugerah oleh Pencipta kepada individu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dapat mempengaruhi dan mengubah pemikiran orang lain atau kelompok untuk melakukan suatu tindakan yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan sungguh-sungguh dan atau bukan karena paksaan baik secara fisik maupun mental.

Sementara itu, pemegang kekuasaan yang bersifat negatif tidak memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang baik. Mereka cenderung hanya berpikir pendek. Dalam mengambil keputusan dan mengambil tindakan pun mereka tidak pernah menggunakan pemikiran yang tajam. Perintah yang mereka berikan, bahkan mereka sendiri kadang-kadang tidak dapat menjalankannya karena keterbatasan daya pikir tadi. Kecendeungan dari kekuasaan dengan karakter negatif tersebut hanya mencari keuntungan pribadi atau golongannya.

Ada satu kecenderungan dari kekuasaan itu, yakni kekuasaan cenderung korup. Ini ungkapan yang sering kita dengar. Karena begitu nikmatnya kekuasaan itu, maka sering sekali kekuasaan menjadi sangat memabukkan. Kemabukan ini mendorong ke arah kekuasaan yang sewenang-wenang. Dengan segala kenikmatannya, kekuasaan itu menggoda dan menjadi ‘seksi’. Sehingga banyak orang yang ingin memiliki kekuasaan itu dan berusaha keras dengan segala upaya untuk mendapatkannya dan mempertahankannya. Segala upaya disini diartikan sebagai apa saja. Pada beberapa kasus banyak menggunakan cara-cara yang tidak sah.

Demikian juga halnya dengan posisi DKI-1 dengan segala kekuasaan yang melekat. Jakarta, sebagai ibukota negara tentunya memiliki keistimewaan. Salah satu keistimewaan itu adalah kekayaan Jakarta itu sendiri. Menurut Kamar Dagang dan Industri, 70% perputaran uang republik ini ada di Jakarta. Dengan jumlah APBN mencapai Rp. 2.000 trilyun, maka setidaknya perputaran uang di Jakarta sendiri mencapai Rp. 1.400 per tahun. Seperti dikatakan Ahok, mencari uang Rp. 100 milyar sehari di Jakarta itu mudah. Uang ini bisa membeli kenikmatan dan kenikmatanlah yang diburu oleh banyak manusia.

Selain itu, di Jakarta pula segala pusat kekuasaan terletak. Banyak pejabat dan ‘penguasa’ bertahta di Jakarta. Posisi Jakarta sebagai ibukota republik membuatnya memiliki segala akses kemana saja dan terhadap apa saja. Akhir-akhir ini ada kecenderungan DKI-1 menjadi batu loncatan untuk menjadi RI-1. Kuatnya posisi DKI-1 di republik ini menggoda banyak yang ingin menikmati madunya. Dan ‘kenikmatan’ itu secara alami melekat pada DKI-1. Masih banyak ‘keistimewaan’ yang dimiliki Jakarta yang mengakibatkan DKI-1 menjadi ‘seksi’. Dengan ‘keseksiannya’ itu, banyak yang ‘meliur’ untuk dapat mengapainya.

Gelagat itu sudah muncul di permukaan dan sudah menjadi debat yang panjang di semua lini kehidupan bukan hanya di Jakarta saja, akan tetapi juga di sudut-sudut nusantara ini. Sedikit mundur ke belakang, fenomena membicarakan pemilihan kepala daerah di ibu kota ini berlangsung sejak jaman Jokowi. Pernah saya ke Kepulauan Mentawai di Provinsi Sumatera Barat sana ketika menjelang pilkada di DKI. Di kepulauan yang jauh dari mana-mana itu, pembicaraan Jokowi menjadi Gubernur di DKI menjadi bahan diskusi penduduk di sana. Kali ini, diskusi-diskusi tentang pilkada DKI ini disana, pasti akan lebih panas.

Calon-calon yang mau maju sudah mengibarkan nafsu untuk bertarung dengan Ahok yang telah menyatakan lebih dahulu menjadi calon gubernur untuk pilkada tahun 2017. Mulai yang mengatakan dengan cara bermutu hingga yang asal  bunyi. Mulai yang malu-malu hingga yang terus terang dan benderang. Genderang perang sudah dikumandangkan dan dukungan dari berbagai kalangan sudah mulai dicanangkan. Pendekatan-pendekatan lama sudah dicuci lagi. Unsur SARA diungkit lagi. Orang-orang ini masih saja tidak belajar. Kata pepatah, hanya keledai yang jatuh ke lobang yang sama dua kali.

Dulu saja, ketika Jokowi dan Ahok belum menjadi tokoh  nasional pun kampanye dengan menggunakan unsur sara tidak laku. Tapi, apakah itu masih mempan dengan segala kedigdayaan yang dimiliki Ahok sekarang ini. Setidaknya dapat saya katakan demikian karena dahulu sekali ketika jaman adipati-adipati DKI sebelumnya, mereka selalu mengatakan tidak berdaya memberantas ini dan itu. Mereka seperti tidak memiliki kedigdayaan. Kalau mau menghitung kedigdayaan Ahok, mungkin seluruh jari kaki dan tangan tidak akan cukup. Mulai dari penertiban kawasan pinggiran sungai yang kerap dilanda banjir, pemberantasan narkoba di kawasan hiburan malam dan yang paling populer adalah pengembalian fungsi kawasan Kalijodo, kawasan yang katanya paling angker sedunia di Jakarta. Semuanya dilibas dalam rangka mengembalikan segala sesuatu pada tempatnya menuju masyarakat sejahtera  Jakarta. Masih banyak lagi.

Para ‘tokoh’yang merasa dirinya layak memimpin DKI atau merasa layak menurut partai yang mendukung,  banyak dan bervariasi dengan satu komentar sama yakni   komentar tentang kelemahan-kelemahan Ahok. Yang paling sering disampaikan adalah soal ketidaksantunan. Ahok tidak santun. Dia tidak sopan. Mulutnya ember. Banyak yang mengatakan bahwa seorang pemimpin perlu kesantuanan. Bahkan jika koruptor sekalipun pun tidak masalah asalkan santun. Banyak juga yang mengatakan, untuk Jakarta dengan segala keruwetan dan permasalahannya, karakter seperti Ahok memang diperlukan. Setidaknya para pengumpul KTP pendukung Ahok yang menamakan diri mereka Teman Ahok. Ahok sudah nyata dan tidak berubah. Itu kata mereka pendukung setia petahana ini.

Para ‘tokoh’ yang mencoba menggoda si seksi DKI-1 termasuk gubernur yang masih menjabat di Jawa Tengah sana. Meskipun beliau mengatakan masih belum memberikan jawaban pasti. Ada Walikota yang kegeeran untuk ikut bertarung karena  hanya bermodal popularitas dari banyak membangun taman. Akhir-akhir ini mulai ikut-ikutan memecat pejabat, supaya agak setara dengan Ahok. Malah sekarang melakukan semacam referendum di media sosial. Hal ini membuat beberapa kalangan bertanya-tanya. Beliau tidak memiliki pendapat sendiri apa, sehingga harus mencari keyakinan dari pendapat orang lain. Ini bisa jadi senjata nantinya untuk membela diri. Jika kalah mungkin akan dengan santai mengatakan ‘mungkin bukan karena keinginan saya’. Tetapi akhirnya beliau membatalkan pencalonan beliau dan lagi-lagi karena faktor luar dirinya. Mungkin tepat kta partai yang mendukungnya, calon dari Bandung ini peragu.

‘Tokoh’ lain berasal dari kalangan artis yang kalau bicara selalu banyak mendapat kecaman. Ucapan-ucapan yang dikeluarkannya sepertinya asal muncrat saja, antik tak jelas. Kunjungannya beberapa waktu lalu ke Kalijodo dianggap absurd.  Mungkin dia dipaksa oleh kekuatan yang lebih besar untuk bersuara, bersuara apa saja, termasuk bersuara lewat kunjungan ke Kalijodo. Mungkin karena dia takut digaplok lagi. Kalo kepala botaknya digaplok, pasti sakitnya lebih luar biasa.

Ada juga ‘tokoh’ lain  yang nyentrik. ‘Tokoh’ satu ini adalah ketua salah satu partai yang namanya mirip dengan organisasi bangsa-bangsa internasional itu. Dia bahkan mengatakan DKI-1 hanya batu loncatan untuk menjadi RI-1. Dalam lingkaran dekatnya, menjadi DKI-1 sudah menjadi ketidakmustahilan, setidaknya menurut beliau, karena adiknya bisa mengalahkan adik Ahok di Kabupaten Belitung Timur. Sehingga beliau merasa memiliki modal dan pengalaman dalam mengalahkan keluarga Ahok. Tapi yang lucu bin konyol adalah dia punya partai tetapi mau maju dari jalur independen. Hal yang paling mustahil adalah ketika dia mengatakan akan mengumpulkan 1 juta KTP DKI dalam 3 bulan. Saya tidak mau ikut-ikutan untuk bernazar loncat dari monas kalau ktp-ktp itu tidak terkumpul. Tapi saya sangat yakin itu tidak akan terkumpul. Tidak ada modalitas yang bisa diandalkan untuk mewujudkannya, kecuali ketenarannya yang pernah menjadi pembela kapal yang dituduh mencuri ikan di perairan Indonesia,  dan juga karena berseteru dengan menteri ‘antik’ di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kemungkinan lain karena dia pernah menjadi pejabat negara di jaman lalu dengan hasil yang kata banyak orang susah untuk ditemukan.

Dari arah Barat Jakarta, muncul lagi ‘tokoh’ yang ingin mencalonkan diri. Seorang gubernur yang sebelumnya wakil Gubernur. Menjadi gubernur karena gubernurnya ditahan untuk kasus korupsi yang lumayan mega. Oleh mantan gubernur ini, uang negara yang seharusnya menjadi jalan, jembatan, sekolah, drainase dan segala infrastruktur itu, berubah menjadi tas-tas kulit berharga mahal, biaya dandan untuk membuatnya selalu kinclong dan permak wajah yang hampir setara dengan Michael Jackson.  Gubernur yang dulu wakil gubernur ini tertarik juga untuk maju menjadi DKI-1. Mungkin masih merasa terkenal, meskipun tanpa prestasi.  Dengan keterkenalannya apalagi dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan, beliau merasa yakin dengan kemampuan dan segala sumber daya yang dimiliki untuk meraih posisi DKI-1. Sementara prestasinya di provinsi yang dipimpinnya belum kedengaran. Bahkan ketika menjadi wakil gubernur, beliau difungsikan sebagai mana layaknya beliau, menjadi vote gatherer. Setelah terpilih, dipersilahkan duduk nyaman di kursi wakil gubernur tanpa bersuara. Terakhir, diminta jadi saksi untuk korupsi anggota DPRD terkait pendirian RSUD di daerahnya.

Kenyamanan dan kenikmatan di posisi DKI-1 memang membuat banyak orang ingin berkuasa. Ingin menikmati rasanya bisa menentukan nasib orang. Sayangnya mereka-mereka yang mencalonkan diri untuk menantang Ahok, seperti beberapa yang disebutkan di atas, diyakini memiliki niat yang jauh dari Ahok. Jika Ahok berniat mensejahterakan rakyat Jakarta, maka penantang-penantang ini diyakini berniat mensejahterakan diri dan kelompk serta pendukungnya. Mau Jakarta hancur lebur, mereka tidak akan perduli.

Masih ada lagi barisan para petualang yang ingin menikmati indahnya di singgasana DKI-1. Salah satu yang paling getol adalah si pemilik Lambo hijau. Dia sangat yakin akan mengalahkan Ahok di pilkada nanti. Modalnya adalah agak susah menyebutkan. Mungkin dia akan menjual Lambo hijau yang katanya pajaknya belum lunas untuk membiayai kampanyenya, dengan pendukung setia si papa lobster. Sang mantan mentri olahraga dengan kulintang alias kumis melintangnya dan dengan slogan “Kesantunan yang Menyejahterakan” ikut juga mengajukan diri menjadi calon. Mungkin karena sangat santun hingga sekarang masih belum maju-maju dari sekedar mengatakan akan menantang Ahok. Tapi dia ikut-ikutan juga mengumpulkan ktp penduduk Jakarta.

Ada lagi ‘tokoh’ yang kalah sebelum bertanding. Bahkan yang satu ini, yang anggota DPR RI yang katanya terhormat ini, sudah pamit duluan. Karena jika dia mencalonkan diri, maka jabatannya di DPR akan hilang. Dengan keyakinan yang teguh bahwa dia akan kalah, maka dia memilih untuk kalah sebelum bertanding untuk mengamankan kursi empuk di DPR RI.

Masih ada ‘tokoh-tokoh’ yang mencoba untuk menguji nyali di pilkada DKI ini dengan segala ceritanya. Satu wanita yang selalu menyebut dirinya wanita emas, meskipun dia pastinya terbuat dari daging dan darah, selalu menyerang Ahok dan sebelumnya juga Jokowi. Ucapan terakhirnya, dia akan melakukan modifikasi cuaca untuk mengatasi banjir Jakarta. ‘Pilihan Cerdas’ untuk yang tidak paham. Di daftar terakhir ada Patrio yang anggota DPR. Merasa sudah bosan di DPR RI karena sudah kalah lucu. Mungkin dengan merebut DKI-1, dia akan punya panggung baru untuk melucu lagi, bukan memimpin. Paling akhir, ada anak mantan artis lawas terkenal.  Ketenaran bapaknya sebagai artis dan budayawan yang terkenal dengan lagu kompor mbleduknya itu ditambah pengalaman di partai politik dan dukungan pendukungnya, membuat dia yakin maju menjadi penantang. Terakhir dari terakhir, anak mantan gubernur DKI yang dulu, yang baru-baru ini mengundurkan diri dari kepengurusan PDIP DKI Jakarta. Mungkin masih banyak yang berniat bertarung dalam pilkada DKI untuk merasakan ‘kekuasaan’ yang melekat padanya.

Memang, posisi DKI-1 sangat seksi. Keseksian kekuasaannya menjanjikan kenikmatan. Beberapa manusia yang merasa dirinya ‘tokoh’ berlomba untuk mendapatkannya. Jika kekuasaan dapat dipegang, maka sang penguasa akan menikmatinya sepuas-puasnya. Pertarungan untuk mendapatkan hati si seksi ini sudah dimulai. Si seksi ini telah mulai digoda-goda. Tinggal nanti kita lihat, siapakah yang akan dipilih si seksi ini, petahana atau  satu dari para penantang-penantang ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun