Perjalanan ke kantor setiap hari adalah sebuah drama. Menggunakan fasilitas transjakarta yang sedang ‘naik daun’, karena hampir berhasil mengalahkan jagoan jalanan, metromini dan kopaja. Menikmati memanjat jembatan penyeberangan orang, menurun lagi dan tiba di halte transjakarta. Dalam menunggu ini sering sekali aku memperhatikan tingkah manusia. Ada macam-macam. Mulai yang sabaran, tidak peduli, cuek, sopan, berangasan, rapi, wangi, jali, cantik, gosong dan mengkilat. Berwarna-warni.
Mendengarkan celotahan penumpang, meskipun jarang karena orang Jakarta bawaannya individual dan curigaan, aku bisa memastikan kalau kebanyakan dari mereka pekerja. Mungkin para pekerja yang menapaki kehidupan di tingkatan menengah ke bawah. Walau kadang aku juga ketemu dengan mantan pejabat dan orang dari kelas ‘tinggi’ yang ingin mengukur jalan dengan santai tanpa direpotkan dengan kemacetan dan urusan parkir kendaraan yang pastinya menantang dan memiliki masalah tersendiri. Masih banyak lagi ragam manusia yang menikmati layanan publik satu ini. Mungkin karena memang tarifnya relatif sangat murah. Karenanya, penumpang menjadi mebludak, apalagi di jam-jam kantor. Jumlah penumpang dan armada tidak seimbang.
Dalam proses mencari tempat duduk, perjuangan mendapatkan satu tempat duduk menjadi agenda tersendiri bagi banyak orang. Tidak bagiku. Aku tidak akan buru-buru masuk. Aku santai saja, karena aku tidak berharap untuk mendapatkan tempat duduk. Kalaupun aku mengejar untuk mendapatkan tempat duduk, itu karena aku ingin mengamankan satu tempat duduk untuk wanita yang nantinya akan aku pilih untuk duduk disitu. Pasti berfikirnya, aku akan mendahulukan wanita cantik dan kinclong.
Tidak seperti itu. Aku punya kriteria tersendiri mengenai penumpang yang aku berikan ‘hadiah’ tempat duduk itu. Aku akan mencari wanita yang paling tua dan paling renta untuk duduk disitu. Kalau ibu-ibu hamil, sudah menjadi perhatian sang kondektur. Jadi aku tidak membuat mereka menjadi priorits. Dengan sigap, sang kondektur akan menyediakan kursi untuk ibu hamil tersebut. Untuk tempat duduk yang aku amankan, wanita cantik, muda dan kinclong pastilah selalu menjadi pilihan terakhir untuk menempatinya. Jadi kalau ada niat dan kesempatan aku selalu mengamankan satu kursi untuk diserahkan.
Selebihnya, aku akan memilih berdiri di tempat favorit. Di bagian belakang dekat pintu yang selalu tertutup, tidak difungsikan. Disitu aku bisa dengan nyaman dan santai membaca koran atau buku yang aku selalu siapkan di tas. Karena rasanya sia-sia menghabiskan waktu perjalanan satu setengah jam dari rumah ke kantor tanpa melakukan sesuatu yang berarti. Dan yang paling bisa dilakukan adalah membaca. Jika kemudian aku tidak bisa melakukan apa pun, maka aku berdiri saja memandangi keadaan di luar bis, yang sebagian besar sepertinya sudah aku hapal. Disana bisa saja aku temukan sumber tulisan. Dengan segera aku mengeluarkan catatan kecilku untuk membekukan ide itu. Supaya tidak lupa terbawa goyangan bis dalam perjalanan ke halte terakhir. Sering sekali ide tulisan itu muncul begitu saja. Bisa dari keadaan di luar atau menyaksikan tingkah orang—orang di dalam bis.
Tetapi ada hal lain yang membuat aku memilih untuk berdiri setiap berangkat ke kantor dan pulang dengan menggunakan transjakarta. Jika dihitung lamanya berdiri, rata-rata aku berdiri dua jam setiap satu perjalanan, di dalam bis ditambah jalan. Dalam sehari, aku bisa menghabiskan empat jam berdiri.
Menurut Indiantimes, yang disadur suaradotcom, sebuah penelitian terbaru di Inggris menemukan bahwa berdiri setidaknya dua jam sehari menyimpan manfaat yang sama seperti melakukan aktivitas fisik. Temuan yang melibatkan 800 partisipan ini menunjukkan bahwa berdiri total dua jam sehari bisa menurunkan kadar kolesterol jahat sebanyak 11 persen dan kadar gula darah sebanyak 2 persen. Berdiri juga dilaporkan dapat meningkatkan kadar kolesterol baik dalam darah. Menurut peneliti, hasil ini bakal lebih baik jika didukung dengan aktivitas fisik setidaknya 30 menit sehari plus diet rendah lemak jenuh.
Hasil penelitian di atas yang membuat aku setia untuk selalu berdiri di angkutan-angkutan umum baik transjakarta maupun KRL. Memilih berdiri menjadi sebuah kesadaran dan keniscayaan karena ada manfaat yang luar biasa bagi tubuh. Setidaknya begitulah aku mempersepsikan hasil penelitian tersebut. Disamping kolestrol itu, aku juga berusaha membakar sedikit lagi kalori dengan bergoyang-goyang mengikuti irama goyangan bus. Karena aku tidak peduli dengan pandangan orang, aku tidak malu-malu melakukannya. Setiap hari, setiap lima hari seminggu, aku berdiri kurang lebih selama 4 jam. Bisa anda bayangkan betapa banyak kolestrol dan gula darah aku yang terbakar.
Pagi ini, aku berangkat lebih lambat. Hujan seharian yang menjadi penyebabnya. Ketika menggesekkan kartu ‘sakti itu di gate transjakarta itu, seorang mbak manis yang setia menjaga mangatakan bus akan terlambat karena terjadi kemacetan. Kemacetan itu telah mengakibatkan banyaknya calon penumpang yang menunggu. Bus—bus tidak kunjung datang. Penambahan penumpang akan meningkatkan persaingan untuk mendapatkan tempat di bus transjakarta.
Sudah hampir 30 menit berdiri menunggu, bus yang ditunggu tidak juga datang. Penumpang sudah semakin memludak dan mulai menggerutu. Aku memilih berdiri agak jauh dari pintu ke bus karena sudah tidak mungkin juga berdiri dekat-dekat situ. Disamping tidak ada tempat, aku juga sudah memastikan untuk naik bis kedua saja yang pastinya datangnya lebih lama. Pada hampir menit ke 45 berdiri, bus merah itu perlahan tapi pasti mendekati halte tempat aku berdiri menunggu. Meskipun halte itu seperti penuh, ternyata bus kosong itu mampu menelan seluruh penumpang yang ada. Tentunay dengan didesakkan. Dan aku mendapatkan tempat ditengah. Pojok favoritku telah diisi orang lain. Mungkin dia memiliki pandangan yang sama. Pojok di depan bangku paling belakang di pintu yang selalu tertutup itu, adalah tempat ternyaman untuk berdiri dan menghayal.
“Tutup pintu” bapak kondektur berteriak kepada sopir. Pintu tertutup dan bus pun mulai bergerak menuju halte terakhirnya di Dukuh Atas. Tidak lama bus bergerak. Tidak ada satu menit, busnya sudah berhenti. Tidak bisa bergerak. Jalurnya yang seharusnya steril telah menjadi kotor. Terkotori oleh mobil—mobil bagus yang menyerobot jalur transjakarta. Untuk para penyerobot ini, aku kadang mengatakan dalam hati, “Kalian itu egois sekali. Sudah nyaman dalam mobil bagus dan dingin dengan tempat duduk yang empuk, masih menyerobot jalur milik orang-orang yang duduk dengan terhimpit dan sebagian besar berdiri di dalam bus transjakarta. Kalau alasan soal waktu, para penumpang bus ini juga memperkarakan hal yang sama”. Tapi sia-sia saja memaksa mereka keluar dari jalur, karena mereka juga tidak perduli. Karena juga katanya, kalaupun ditilang polisi diujung jalur, masih bisa diselesaikan dengan ‘damai’.
Bus masih diam. Belum beringsut. Padahal baru satu menit bergerak dari halte ketiga dari pool-nya, halte dimana aku naik. Sopirnya cukup sopan untuk tidak membunyikan klakson keras-keras untuk mengusir para penyerobot jalurnya. Mau kemana juga para penyerobot itu. Sisi kirinya juga penuh dengan kendaraan. Aku keluarkan senjata andalan, gadget, karena tidak mungkin mengeluarkan buku, yang aku bawa kali ini agak besar. Tidak tahu berapa lama aku membaca status teman-teman di facebook dan beberapa berita di koran-koran online. Rasanya sudah lama. Aku memang merasakan beberapa kali bus bergerak lambat. Ketika aku memperhatikan keluar, bus masih belum juga sampai ke halte terdekatnya. Bus berhenti lagi. Penumpang mulai gelisah. Jam tangan ditangan dilirik. Sebagian lagi sibuk memperhatikan waktu di gadget masing-masing. Sebagian lagi menghayal, mungkin tentang mimpi indah tadi malam yang tidak tuntas.
Pak polisi tidak juga kelihatan di jalan untuk melancarkan arus. Tidak mungkin juga, mau menggeser kemana. Jalur-jalur sudah penuh dari semua arah. Tidak ada yang bisa digunakan sebagai jalur contraflow. Semuanya hanya menunggu, harus dengan kesabaran ganda tingkat tinggi.
Kaki-kakiku sudah mulai pegal. Tidak biasanya pegal ini menyerang. Mungkin karena sudah terlalu lama berdiri. Dan belum ada tanda-tanda bus akan bergerak. Kemacetan ini mungkin karena hujan sedari malam yang merata membasahi Jakarta. Akankan ada kemacetan seharian seperti beberapa waktu lalu. Pikiran-pikiranku sudah mulai memberontak mengeluarkan tuduhan-tuduhan. Hal itu merasuki pikiranku karena memang Jakarta biasanya akan banjir jika hujan turun seharian seperti kemarin itu.
Aku mencoba cek di berita online dan menemukan beberapa berita yang mengatakan beberapa wilayah di Jakarta tergenang dan banjir. Wilayah-wilayah tradisional banjir, memang mengalami banjir. Tapi tidak banyak meskipun tetap mengakibatkan macet yang panjang. Mungkin dalam satu tahun ini, sejak banjir tahun lalu jumlah kendaraannya juga sudah bertambah secara signifikan. Jadi kombinasinya bisa jadi hujan seharian yang tidak terlalu mengakibatkan banjir dan jumlah kendaraan yang meningkat.
Tepat menjeleng jam ketiga setengah, dengan pola berjalan-berhenti yang dilakukan ratusan kali, bus itu melewati halte kedua terakhir. Perlahan tapi pasti, bus menuju halte teakhir. Mendekati halte untuk turun, penumpang masih harus menunggu. Antrian bus masih panjang. Bus-bus dari jalur lain juga mengantri menurunkan penumpang. Banyak penumpang sudah merasakan pegal di kaki-kaki mereka. Menggerak-gerakkan kaki, itu yang dilakukan banyak penumpang. Ketika giliran tiba, pintu dibuka dan para penumpang menghambur. Tergesa-gesa. Mereka masih harus menyeberangi jembatan penyeberangan orang menuju halte dimana bus berikutnya yang membawa mereka ketujuan akhirnya berada. Mereka masih harus berdiri.
Hampir 40 menit berikutnya, aku tiba dihalte tujuan dan masih melanjutkan dengan jalan kaki menuju kantor di salah satu gedung megah itu. Dengan demikian total perjalanan pergi ke kantor menghabiskan waktu empat jam lebih. Dan dalam empat jam lebih itu, aku terus berdiri. Kali ini karena memang aku tidak dapat tempat duduk. Kalau tahu dari awal kemacetan akan menyergap, aku akan memilih untuk merebut satu kursi. Dengan badan segede itu, pastilah aku bisa mendapatkan satu kursi. Tapi itu tidak mungkin, karena aku tidak akan melakukannya.
Justru yang aku lakukan adalah berterimakasih kepada kemacetan pagi ini dan juga kepada transjakarta yang mulai dicintai para pemakainya. Kemacetan yang diakibatkan hujan seharian ini dan jumlah bus yang sedikit karena katanya tertahan di jalan dan di pool, aku berdiri selama lebih dari 4 jam menuju kantor. Perjalanan menuju rumah pada sore harinya hampir mencapai 2 jam setengah. Sehari ini, aku berdiri hampir 7 jam. Dengan waktu sebanyak itu berdiri, itu berarti aku membakar banyak kolesterolku, mengurangi banyak gula darahku. Ini tentunya hal baik bagi tubuhku.
Untuk itu, sekali lagi terimakasih kemacetan. Terimakasih transjakarta. Aku tentunya besok hari akan lebih bugar dan tidak terlalu khawatir akan terkena diabetes. Karena kombinasi kemacetan dan sedikitnya jumlah bus transjakarta yang tersedia, kolestrolku terbakar habis hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H