Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menepis Sedikit Lagi Kecemasan Naik Bus Transjakarta

21 Februari 2016   23:10 Diperbarui: 22 Februari 2016   12:59 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bus Transjakarta (Kompas.com/Icha Rastika)"][/caption]"Bus yang lama, kalau semua bus baru sudah datang, akan diperbaiki dan direkondisi," kata Basuki, Gubernur DKI Jakarta, di Balai Kota, di jelang penghujung bulan Agustus 2015 lalu.

Ucapan Gubernur DKI Jakarta yang bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama itu sedikit melegakan hati. Pengalaman yang tidak nyaman harus dijalani selama sekian tahun dalam perjalanan pergi-pulang dari kantor-rumah, setidaknya akan berkurang. Pengalaman yang tampak di setiap menaiki bus Transjakarta jurusan Dukuh Atas-Pulo Gadung dan sebaliknya akan sirna. Pemandangan yang selalu menggetarkan perasaan. Pengalaman yang selalu mencemaskan.

Setiap melangkah masuk ke salah satu bus yang dioperasikan Transjakarta itu, meskipun katanya operatornya berbeda-beda, harap dan doa dikumandangkan. Itu harus aku lakukan. Kondisi bus yang sepertinya tidak layak untuk digunakan, menciptakan perasaan tadi. Di salah satu bus yang aku tumpangi di satu pagi, dengan kode bus JT401, pemandangan yang tidak nyaman langsung tersaji, mulai jeritan rem bus yang mengakibatkan bus berbunyi nyaring dan rame. Keramaian yang ditimbulkannya muncul dari badan bus yang sudah soak. Kaca spionnya tidak lagi ada kacanya. Pintunya tidak tertutup dengan sempurna.

Udara yang keluar yang katanya dari saluran pendingin udara seringnya hanya mengeluarkan udara yang membawa panas daripada udara sejuk selayaknya udara dari mesin pendingin udara. Setiap bus melewati jalan yang tidak rata, hentakan kuat dirasakan tubuh karena peredam kejut bus yang tidak berfungsi. Rasanya seperti dibanting ke beton. Dalam perjalanan, rasanya seluruh bagian bus mengeluarkan suara-suara yang ditimbulkan gesekan, ikatan yang tidak kuat, dari badan bus dan tubuhnya yang terbuat dari lembaran yang tampak seperti logam tipis kalau tidak mau mengatakan kaleng roti. Suara-suara riuh itu laksana paduan suara yang sumbang dan cempreng. Seketika bunyi-bunyi itu akan berhenti sejenak, mengikut pengereman yang tidak pernah mulus yang diikuti ayunan tubuh, melambai mengikuti gaya yang ditimbulkan rem mendadak.

Teringat pengalaman di suatu saat beberapa bulan yang lalu. Bus transjakarta yang aku tumpangi di koridor IV Pulo Gadung-Dukuh Atas 1, sedang menuju stasiun Dukuh Atas. Busnya kusam warnanya. Abu-abu kusam dengan bagian-bagian yang hampir lepas. Pintu bus sudah tidak terpasang dengan baik. Pintu tidak menutup rapat di semua sisi ketika pintu tertutup. Pintu, ketika dibuka, juga harus mendapat bantuan dorongan petugas di dalam bus. Kursi-kursinya masih lengkap, tetapi sebagian sudah tidak terpasang dengan baik dan lagi-lagi kusam. Kalau diduduki, seolah-olah mau lepas. Pegangan yang berupa tiang maupun yang model menggantung masih ada, tetapi sebagian sudah hilang dan ada juga yang talinya putus. Lantainya tidak lagi mulus. Beberapa bagian koyak dan hanya ditutupi dengan terpal senada dengan yang aslinya.

Pada bagian lain, lantai berlobang hanya ditutup pelat logam dan bagian ujung-ujungnya tidak merekat dengan baik. Kaca-kaca kelihatan juga kusam. Langit-langitnya sama saja dengan lantainya. Tidak mulus. Ada sobek di beberapa tempat. Udara yang mengalir dari yang seharusnya pendingin udara, hanya terasa udaranya. Ketika bus berjalan, terasa bus menghentak-hentak seperti ditarik-tarik oleh kuda raksasa. Melewati jalanan yang tidak rata, hentakan antara lantai bus dan roda sangat terasa. Peredam kejutnya mungkin telah lama mati. Pas bus melewati jalanan yang tidak rata, bus terguncang dan badan seperti dibanting ke kursi. Menambah suasana horor, sopir mengendarai seolah-olah di dalam bus tidak ada orang. Padahal waktu itu penumpang sangat padat dan untuk mengganti tangan berpegangan harus dilakukan dengan hati-hati.

Pada beberapa saat, setelah sekitar 30 menit melewati busway yang padat, yang seharusnya sepi, tiba-tiba ada teriakan dari barisan bangku belakang. “Asap-asap,” bunyi teriakan itu. “Api-Api,” ada suara lagi. Penumpang panik. Mereka saling mendorong ke pintu bus tengah dan depan. Petugas pengaman meminta para penumpang untuk tetap tenang. Teriakannya tidak dihiraukan. Penumpang dari barisan belakang tetap mendorong dan memaksa keluar.

Saya yang kebetulan berdiri di pintu berusaha tenang. Saya tidak langsung melompat ketika pintu terbuka menyadari arah pintu keluar adalah jalan raya. Saya melihat kendaraan yang melaju kencang. Kalau saya meloncat, bisa-bisa saya akan disambar kendaraan yang lewat. Sambil menunggu kendaraan cukup jarang dan lambat, saya tetap berdiri, berusaha menahan dorongan penumpang yang berlomba untuk keluar. Setelah yakin kondisi aman, saya melompat dan mendarat dengan baik.

Beberapa penumpang lainnya juga melompat turun. Beberapa penumpang yang sudah turun, menahan laju kendaraan. Yang lainnya berusaha membantu penumpang lain yang hendak turun. Seorang bapak tua harus mencium aspal karena kaki-kakinya tidak kuat menahan tubuhnya ketika melompat. Seorang ibu panik karena anaknya yang masih kecil tidak bisa diturunkannya, hingga kemudian penumpang lain menolongnya. Seorang ibu tua berusaha melompat dan terjatuh. Tasnya terjatuh dan isinya berhamburan. Beragam rupa panik yang tersaji. Memang, tidak ada yang terluka pada kejadian ini. Tidak ada kebakaran, hanya asap yang karena katanya ada korsleting. Klasik. Tetapi kejadian ini meninggalkan trauma yang cukup lama di dalam diri para penumpang.

[caption caption="Bus Transjakarta terbakar di Rawamangun, Jakarta Timur. (Tribunnews.com/Wahyu Aji)"]

[/caption]Kejadian yang lain seperti diberitakan media massa lebih dahsyat. Kejadian terbakarnya bus komodo di depan Halte Salemba di depan kampus Universitas Indonesia. Di tengah hari bolong, kendaraan gandeng tersebut menjadi arang. Memang tidak ada korban jiwa. Tetapi trauma pastilah sangat membekas di dalam diri mereka. Kejadian yang seolah-olah akan mengakhiri hari mereka selama-lamanya. Kebakaran itu bahkan menghanguskan haltenya. Bisa dibayangkan betapa api yang menjalar dengan cepat memberikan horor bagi para penumpangnya.

Kejadian-kejadian yang lain masih terus terjadi. Kerusakan-kerusakan bus-bus Transjakarta masih terus terulang. Bahkan kadang-kadang bus yang rusak di jalur busway menghalangi bus yang lain yang akan lewat karena jalurnya yang sudah terkunci alias sudah dipasangi pembatas sedemikian tinggi sehingga bus lain tidak bisa keluar dari jalur bus Transjakarta. Horor terakhir, yang mungkin tidak menjadi yang terakhir, seperti diberitakan di suara pembaca Kompas masih di bulan Juni 2015. Bisa dibayangkan bagaimana kualitas busnya yang digunakan jika salah satu pintu di sisi jalan raya lepas. Melayang. Masih untung, tidak ada korban. Pintu lepas sepertinya belum pernah terjadi pada bus-bus penumpang lainnya. Kejadian ini baru dan mungkin hanya terjadi pada bus Transjakarta. Dan yang paling ultimate adalah terbelahnya bus gandeng.

Pada bagian lain jalur Transjakarta, penumpang masih bisa merasa bersyukur. Kendaraan-kendaraan yang digunakan masih dari kelompok yang baru dan lebih baik. Seperti yang mengaspal di Koridor I Blok M-Kota. Jalur yang melewati jalan-jalan protokol utama di Jakarta, dilengkapi dengan bus-bus yang lebih baik bahkan yang terbaru bermerek Scania. Ini mungkin karena di sepanjang jalan tersebut terdapat kantor-kantor perwakilan negara asing, perusahaan-perusahaan asing dan masyarakat asing yang bekerja di kantor-kantor tersebut. Jalur ini perlu kelihatan kinclong dan lancar. Jalur ini menjadi semacam etalase Transjakarta dan Jakarta. Seolah-olah semua bus Transjakarta sudah baik, canggih dan lancar serta tersedia setiap saat, seperti yang tersaji di koridor ini.

Sementara di jalur-jalur lain, di koridor-koridor lain, yang mungkin tidak dilihat oleh mata orang asing, yang tersembunyi dari wajah gemerlap lingkaran satu Kota Jakarta, bus-bus abu-abu yang dari generasi terdahulu, yang seakan-akan mau pecah itu, masih disetiakan untuk melayani penumpang yang jumlahnya relatif sama dengan jalur etalase itu. Bus-bus tua Transjakarta itu dengan segala keringkihannya dipaksa, dihela untuk memindahkan para pekerja dari rumah ke kantor dan sebaliknya, ketika mereka sudah lelah dan ingin segera bertemu dengan orang-orang yang mereka cintai. Pemerintah penyedia jasa bus Transjakarta itu seperti tidak peduli dengan apa yang mereka sajikan. Bus-bus tua yang sudah ringkih masih dioperasikan. Mereka, penumpang, seolah-olah juga tidak peduli.

Penumpang tidak memiliki pilihan selain menaiki si kusam reyot yang bising dan terlihat kelelahan ketika dihela. Bunyi-bunyian yang ramai sepanjang perjalanan menimbulkan cemas. Dan setiap kali mereka menaikinya, mereka harus menepis cemas yang perlahan merambati urat-urat mereka. Cemas yang muncul dari pengalaman-pengalaman dan kejadian-kejadian yang lalu. Cemas yang entah bagaimana menepisnya ketika melangkah ke dalam bus Transjakarta yang abu-abu itu.

Padahal, Pak Wakil Gubernur Ibu Kota ini sudah menyampaikan untuk tidak menggunakan bus-bus tua. “Saya sudah sampaikan ke Pak Kosasih (Direktur Utama PT Transjakarta) supaya bus-bus yang sudah tua jangan dioperasikan lagi, cepat-cepat dikandangkan saja daripada berisiko," ujar Djarot di Balai Kota, Jakarta Pusat, Selasa di awal bulan Juni tahun 2015. Tampaknya, karena hanya disampaikan, tidak terjadi apa-apa. Tampaknya, karena tidak begitu tegas, tidak terjadi perubahan dan bus-bus ringkih itu masih dibiarkan berkeliaran di jalur-jalur Transjakarta.

Semua kejadian itu adalah kisah enam hingga tujuh bulan lalu di tahun 2015 hingga awal Januari 2016 di koridor 4 dan koridor lain di luar koridor etalase. Kini bus-bus yang mengalir tidak lagi abu-abu kusam dan butut. Bus-bus sedang yang dioperasikan sudah berdandan. Kopaja yang bergabung dengan Transjakarta berusaha memperindah armadanya. Air Conditioner dan pintu geser otomatis tersaji. Bus-bus baru sudah mulai menjalari koridor Pulo Gadung-Dukuh atas ini. Udara yang dihembuskan air conditioner-nya juga sudah jauh lebih dingin. Badan bus terasa lebih solid dibandingkan bus zongthong yang namanya saja agak sulit mengingat dan mengucapkannya dan seperti sama dengan lontong baik nama maupun “kelenturannya”. Lantai lebih bersih. Tidak terlihat sampah yang biasanya nangkring di pojok-pojok dan bawah kursi penumpang. Perjalanan lebih nyaman dibandingkan dengan menumpang “odong-odong” abu-abu itu.

[caption caption="Bus Kopaja bermerek Toyota yang terintegrasi transjakarta. (Kompas.com/Kurnia Sari Aziza)"]

[/caption]Akan tetapi, masih tersisa sedikit cemas di hati. Perjalanan yang harus dilakukan selama 1-1,5 jam itu masih menghadirkan masalah-masalah. Bus-bus baru yang disajikan sepertinya tidak dirawat dengan baik. Lantai-lantai bus sepertinya tidak pernah disentuh air dan sapu. Sudut-sudut bus mulai berdebu. Lampu-lampu indikator sudah mulai tidak menyala sebagian. Jam digital yang dipasang dengan manisnya telah mulai malas menjalankan tugasnya dengan benar. Jamnya sudah lebih sering bertahan di angka yang sama. Kamera yang dipasang sepertinya tinggal pajangan. Suara wanita menggemaskan, menurut imajinasi saya, yang biasanya selalu setia mengingatkan stasiun yang segera dituju bus, sudah mulai banyak yang pingsan.

Belum lagi jalur transjakarta yang tidak mulus, bergelombang dan sekarang banyak yang berlubang. Hentakan-hentakan bus karena jalan yang berlobang sangat tidak nyaman jika penumpang berdiri sambil berpengangan sambil tetap awas karena peringatan dari petugas bus tentang perlunya memperhatikan barang-barang demi keamanan. Mungkin ada copet yang ikut menumpang. Terkadang bus melaju dengan sangat cepat dan penumpang terguncang-guncang di dalamnya.

Sudah banyak yang dilakukan. Termasuk mengganti direktur perusahaan pengelola. Tapi masih ada cemas itu, sedikit lagi, karena saya sadar kondisi bangsa ini, bisa membuat tetapi belum bisa merawat dan mengoperasikannya sesuai dengan standar. Padahal, mimpinya masih ingin seperti negara tetangga yang namanya terletak antara singathree dan singafive. Tapi, dengan segala kekurangannya saat ini, terima kasih tetap diungkapkan kepada sang pemimpin, yang sudah bekerja sangat keras mewujudkannya dan masih akan terus bekerja mewujudkannya. Dengan segala upaya yang dikerjakan, mimpi itu akan terwujud. Sementara saya dan ribuan penumpang Transjakarta masih harus menahan sedikit lagi cemas di koridor-koridor itu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun