[caption caption="Bus Transjakarta (Kompas.com/Icha Rastika)"][/caption]"Bus yang lama, kalau semua bus baru sudah datang, akan diperbaiki dan direkondisi," kata Basuki, Gubernur DKI Jakarta, di Balai Kota, di jelang penghujung bulan Agustus 2015 lalu.
Ucapan Gubernur DKI Jakarta yang bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama itu sedikit melegakan hati. Pengalaman yang tidak nyaman harus dijalani selama sekian tahun dalam perjalanan pergi-pulang dari kantor-rumah, setidaknya akan berkurang. Pengalaman yang tampak di setiap menaiki bus Transjakarta jurusan Dukuh Atas-Pulo Gadung dan sebaliknya akan sirna. Pemandangan yang selalu menggetarkan perasaan. Pengalaman yang selalu mencemaskan.
Setiap melangkah masuk ke salah satu bus yang dioperasikan Transjakarta itu, meskipun katanya operatornya berbeda-beda, harap dan doa dikumandangkan. Itu harus aku lakukan. Kondisi bus yang sepertinya tidak layak untuk digunakan, menciptakan perasaan tadi. Di salah satu bus yang aku tumpangi di satu pagi, dengan kode bus JT401, pemandangan yang tidak nyaman langsung tersaji, mulai jeritan rem bus yang mengakibatkan bus berbunyi nyaring dan rame. Keramaian yang ditimbulkannya muncul dari badan bus yang sudah soak. Kaca spionnya tidak lagi ada kacanya. Pintunya tidak tertutup dengan sempurna.
Udara yang keluar yang katanya dari saluran pendingin udara seringnya hanya mengeluarkan udara yang membawa panas daripada udara sejuk selayaknya udara dari mesin pendingin udara. Setiap bus melewati jalan yang tidak rata, hentakan kuat dirasakan tubuh karena peredam kejut bus yang tidak berfungsi. Rasanya seperti dibanting ke beton. Dalam perjalanan, rasanya seluruh bagian bus mengeluarkan suara-suara yang ditimbulkan gesekan, ikatan yang tidak kuat, dari badan bus dan tubuhnya yang terbuat dari lembaran yang tampak seperti logam tipis kalau tidak mau mengatakan kaleng roti. Suara-suara riuh itu laksana paduan suara yang sumbang dan cempreng. Seketika bunyi-bunyi itu akan berhenti sejenak, mengikut pengereman yang tidak pernah mulus yang diikuti ayunan tubuh, melambai mengikuti gaya yang ditimbulkan rem mendadak.
Teringat pengalaman di suatu saat beberapa bulan yang lalu. Bus transjakarta yang aku tumpangi di koridor IV Pulo Gadung-Dukuh Atas 1, sedang menuju stasiun Dukuh Atas. Busnya kusam warnanya. Abu-abu kusam dengan bagian-bagian yang hampir lepas. Pintu bus sudah tidak terpasang dengan baik. Pintu tidak menutup rapat di semua sisi ketika pintu tertutup. Pintu, ketika dibuka, juga harus mendapat bantuan dorongan petugas di dalam bus. Kursi-kursinya masih lengkap, tetapi sebagian sudah tidak terpasang dengan baik dan lagi-lagi kusam. Kalau diduduki, seolah-olah mau lepas. Pegangan yang berupa tiang maupun yang model menggantung masih ada, tetapi sebagian sudah hilang dan ada juga yang talinya putus. Lantainya tidak lagi mulus. Beberapa bagian koyak dan hanya ditutupi dengan terpal senada dengan yang aslinya.
Pada bagian lain, lantai berlobang hanya ditutup pelat logam dan bagian ujung-ujungnya tidak merekat dengan baik. Kaca-kaca kelihatan juga kusam. Langit-langitnya sama saja dengan lantainya. Tidak mulus. Ada sobek di beberapa tempat. Udara yang mengalir dari yang seharusnya pendingin udara, hanya terasa udaranya. Ketika bus berjalan, terasa bus menghentak-hentak seperti ditarik-tarik oleh kuda raksasa. Melewati jalanan yang tidak rata, hentakan antara lantai bus dan roda sangat terasa. Peredam kejutnya mungkin telah lama mati. Pas bus melewati jalanan yang tidak rata, bus terguncang dan badan seperti dibanting ke kursi. Menambah suasana horor, sopir mengendarai seolah-olah di dalam bus tidak ada orang. Padahal waktu itu penumpang sangat padat dan untuk mengganti tangan berpegangan harus dilakukan dengan hati-hati.
Pada beberapa saat, setelah sekitar 30 menit melewati busway yang padat, yang seharusnya sepi, tiba-tiba ada teriakan dari barisan bangku belakang. “Asap-asap,” bunyi teriakan itu. “Api-Api,” ada suara lagi. Penumpang panik. Mereka saling mendorong ke pintu bus tengah dan depan. Petugas pengaman meminta para penumpang untuk tetap tenang. Teriakannya tidak dihiraukan. Penumpang dari barisan belakang tetap mendorong dan memaksa keluar.
Saya yang kebetulan berdiri di pintu berusaha tenang. Saya tidak langsung melompat ketika pintu terbuka menyadari arah pintu keluar adalah jalan raya. Saya melihat kendaraan yang melaju kencang. Kalau saya meloncat, bisa-bisa saya akan disambar kendaraan yang lewat. Sambil menunggu kendaraan cukup jarang dan lambat, saya tetap berdiri, berusaha menahan dorongan penumpang yang berlomba untuk keluar. Setelah yakin kondisi aman, saya melompat dan mendarat dengan baik.
Beberapa penumpang lainnya juga melompat turun. Beberapa penumpang yang sudah turun, menahan laju kendaraan. Yang lainnya berusaha membantu penumpang lain yang hendak turun. Seorang bapak tua harus mencium aspal karena kaki-kakinya tidak kuat menahan tubuhnya ketika melompat. Seorang ibu panik karena anaknya yang masih kecil tidak bisa diturunkannya, hingga kemudian penumpang lain menolongnya. Seorang ibu tua berusaha melompat dan terjatuh. Tasnya terjatuh dan isinya berhamburan. Beragam rupa panik yang tersaji. Memang, tidak ada yang terluka pada kejadian ini. Tidak ada kebakaran, hanya asap yang karena katanya ada korsleting. Klasik. Tetapi kejadian ini meninggalkan trauma yang cukup lama di dalam diri para penumpang.
[caption caption="Bus Transjakarta terbakar di Rawamangun, Jakarta Timur. (Tribunnews.com/Wahyu Aji)"]
Kejadian-kejadian yang lain masih terus terjadi. Kerusakan-kerusakan bus-bus Transjakarta masih terus terulang. Bahkan kadang-kadang bus yang rusak di jalur busway menghalangi bus yang lain yang akan lewat karena jalurnya yang sudah terkunci alias sudah dipasangi pembatas sedemikian tinggi sehingga bus lain tidak bisa keluar dari jalur bus Transjakarta. Horor terakhir, yang mungkin tidak menjadi yang terakhir, seperti diberitakan di suara pembaca Kompas masih di bulan Juni 2015. Bisa dibayangkan bagaimana kualitas busnya yang digunakan jika salah satu pintu di sisi jalan raya lepas. Melayang. Masih untung, tidak ada korban. Pintu lepas sepertinya belum pernah terjadi pada bus-bus penumpang lainnya. Kejadian ini baru dan mungkin hanya terjadi pada bus Transjakarta. Dan yang paling ultimate adalah terbelahnya bus gandeng.