Kali ini saya mau menceritakan pengalaman perjalanan saya ke Tanah Jawa sama bagian Tengah Indonesia pada bulan Maret tahun 2017 kemaren. Memang telat banget ya saya baru berbagi sekarang, ya maap :D. Lebih baik terlambat daripada enggak sama sekali, kan?
Yang jelas, salah satu ide ke Bromo adalah ide dari Adek saya, "Sebelum nikah, mau senang-senang dulu," katanya. Yo wes, kita udah bikin masterplan dari beberapa bulan sebelumnya, bikin itinerary ala-ala kita, berbagi tugas ngecek travel agent yang cocok sama kantong, juga cari tiket yang pas sama waktu cuti kita masing-masing. Akhirnya, deal tanggal 19 Maret 2017 kita berangkat, dan kita sepakat tujuannya enggak cuma Bromo, tetapi juga Bali genap satu minggu.
Saya lupa nama travel yang kita pake kemaren, tapi seingat saya biaya jalan-jalan ke Malang-Batu-sepaket perjalanan menuju bromo full day, dan extra tambahan perjalanan menuju hotel kita di Kuta berkisar Rp. 2.200.000,-.
Kita memilih travel ini karena diantara sekian travel yang kita follow up, hanya ini yang harganya cocok. Harga segitu bagi kita terjangkau banget, mengingat saya dan adek saya memang belum pernah ke Malang, enggak punya kenalan, dan memang belum punya bayangan perjalanan yang bikin kita bisa ngelakuin perjalanan mandiri.
Bapak driver-nya ramah habis, bikin suasana di mobil enggak hening dan nyaman juga. Beliau banyak bercerita terkait Malang, benar-benar selayaknya guide. Akhirnya, saya dan adek saya sepakat tujuan pertama kita metik apel, dapat saran dari driver juga sih idealnya kemana.
Dari bandara kita menuju ke Kabupaten Batu yang perjalanannya enggak sampe 1 jam. Kalau mendengar Kota Malang jelas yang kita ingat itu Apel. Benar saja, sepanjang perjalanan banyak dijumpai warung-warung kecil yang jualan buah, especially Apel.
Rumah-rumah penduduk juga rata-rata ditumbuhi tanaman apel, secara produk unggulan daerah enggak hanya dilakukan pemerintah daerahnya, tetapi juga mesti ada dukungan dari warga masyarakatnya sendiri.
Ada banyak tempat wisata metik apel ternyata di sini, para turis domestik tinggal pilih sebenarnya, cuma kita percayain sama bapak driver untuk nentuin lokasi metik apel. Beliau saranin lokasi yang buah-buahnya banyak dan gede-gede siap petik dan lokasinya cukup instagrammable.
Saya termasuk orang yang enggak terlalu suka makan apel, tapi memang saya kagum dengan bagaimana pemerintah bersama masyarakat melakukan pemanfaatan produk unggulan daerah yang dibuat menjadi tempat wisata seperti ini.
Harganya sih enggak seberapa dan terjangkau, satu kilo apel cuma sekitar 5-15 ribu rupiah tergantung jenis apelnya, biaya masuk pun murah meriah, yang memang menjual dari wisata ini adalah bagaimana turis baik itu domestik maupun luar negeri ngerasain sensasi memetik apelnya yang dicari. A best sensation.
Selesai metik apel, tapi enggak belanja karena bapak drivernya nyaranin di kantongin aja di dalem tas beberapa buah buat camilan. Si Bapak malah nyaranin belanja buah apelnya di pinggir-pinggir jalan aja. Luar biasa, kan? The best memang si bapak teh. :D
Biaya ke Museum Angkut sekitar Rp. 100.000,-/ orang, dan subhanallah puas banget, saya juga sampe pegel karena banyak banget spot-spot foto di Museum Angkut dan luas banget.
Kita makan malam di salah satu rumah makan padang di Batu, kemudian mulai perjalanan ke Probolinggo kurang lebih dua jam buat besok paginya tancap ke Bromo.Â
Kenapa Probolinggo? Soalnya kata Bapak driver kebanyakan penginapan, hotel, guest house, atau homestay yang ada di kawasan Bromo itu kurang bersih, kurang banyak fasilitas, dan suhunya dingin banget karena secara kawasan perbukitan. Kita oke-oke saja yang penting nyaman.
Sampai di penginapan, syukurnya shower-nya hangat jadi worth it banget buat ngilangin pegel-pegel. Waktu tidur kita cuma sekitar 4 jam karena jam 1 kita mulai melakukan perjalanan menuju kawasan Bromo.
Bayangkan, tengah malam udah berkendara aja ini gelap gulita. Kita udah enggak fokus lagi ke jalan karena secara gelap, kita enggak tahu kiri-kanan kayak apa, tapi yang jelas jalanan enggak sepi-sepi amat sama kendaraan lain. Terkadang laju mobil cukup ngebut, tapi sering juga pelan karena jalannya jelek.
Jam 4 kita tiba di Cemoro Lawang, sebuah desa kecil yang jaraknya enggak jauh dari Bromo (sekitar 1 jam). Cemoro Lawang ini sebagai tempat Pos 1 dimana kita udah mulai berkendara pake Jeep Hardtop, dengan driver yang berbeda.
"Pas disana, Puasin aja ya, Mbak, mau balik sore juga enggak papa, saya tunggu disini, oya mau Jeep warna apa?" tanya si bapak driver yang baik hati.Â
Adek saya kebangetan pengen warna merah, alhasil kita melakukan perjalanan menuju Bromo dengan disopiri Bapak yang namanya Sugeng pake Jeep Hardtop merah. Berasa tjakep banget kita wkwkwk.
Lagi-lagi karena masih gelap, kita cuma bisa ngelihat lampu-lampu kendaraan lain yang berjejer, sekalipun kita sadar kalau kita mulai naik perbukitan.
Saat jalanan mulai macet, dan kita udah enggak bisa naik lagi. Pak Sugeng nyaranin untuk jalan kaki menuju ke salah satu view point. Dikarenakan mobil kita agak jauh dari jarak spot utama, akhirnya kita milih ke view point yang terjangkau aja, yang enggak perlu capek-capek ndaki, karena masih pagi banget kita enggak mau kecapekan.Â
Ditemenin Pak Sugeng ke lokasi pake senter yang ternyata udah rame banget. Dingin udah merayap ke tubuh, hembusan nafas juga berasap, tapi situasi masih gelap gulita. Saya dan adek saya udah mulai searching lokasi buat dapet sunrise tanpa gangguan orang berlalu lalang.
Asli, untuk kita yang tinggal di Bangka Belitung yang suhu udaranya hangat, jarang hujan, dan topografinya dataran rendah tanpa banyak perbukitan, udara sedingin ini memang nyaris bikin kita pesimis. Kita berdua sampe pelukan saking dinginnya.
Kita memilih untuk enggak naik buat melihat kawah Bromo, karena beberapa alasan sih. Pertama, takut kecapekan. Kedua, enggak terlalu tertarik buat ngelihat kawahnya kayak gimana. Dah gitu aja, jadi akhirnya kita mulai menuju Padang Savana, Pasir Berbisik, dan Bukit Teletubies.
Berjam-jam kita habiskan cuma buat foto-foto disana, bahkan cuma duduk diem aja menikmati pemandangan. Kita sempat beli bunga Edelweis juga loh. Bunga yang katanya abadi itu asal jangan kena aer aja. Jangan takut kelaparan, ada banyak warung makanan di sana. Kita sempat makan bakso di Bukit Teletubies, dan harganya terjangkau.
Ternyata kita enggak sampe sore, bisa gawat karena booking hotel cuma buat sehari. Jam 10 kita udah balik keluar Bromo, dan sepanjang perjalanan pulang kita cuma bisa takjub sama pemandangan sekitar kiri-kanan. Desa-desa di kawasan Bromo ini pemandangannya keren banget. Dan rute pergi tadi yang gelap gulita enggak bisa ngelihat apa-apa, ternyata semenawan ini.
Kembali ke hotel di Probolinggo, kita sempatin makan siang sebelum akhirnya meluncur ke Bali. Kita coba makan enggak jauh dari hotel karena kelaparan banget, pesen warung Lamongan menu pecel ayam.
Dan.. ternyata pecel ayam disini sama di Bangka jauh beda banget hahaha. Di sini memang beneran saosnya saos pecel (kacang-kacangan), kalo di Bangka pecel ayam itu ayam pake saos sambal tomat cabe. Alhasil kita makannya pada kepaksa karena enggak terlalu selera.
Sekitar jam 2, kita mulai meluncur---masih pake mobil Avanza, tapi dengan sopir yang berbeda. Ini kedua kalinya saya menggunakan jalur darat menuju Bali. Bedanya dulu sekitar tahun 2014 saya dan teman saya menggunakan kendaraan Bus yang sepanjang perjalanan musik dangdutnya enggak berhenti.
Sekarang, pake Jasa Travel mobil Avanza memang lebih fleksibel, lebih cepat, lebih bebas, puas tidur karena penumpangnya hanya saya dan adek. Hehehe.
Perjalanan darat kita menuju Bali melalui Pelabuhan Gilimanjuk, Banyuwangi, melewati kapal yang durasi perjalanannya cuma 1 jam perjalanan doang. Saya lupa biaya masuknya berapa karena memang udah include sama paket travel yang kita pake tapi yang jelas beda jenis kendaraan baik itu roda dua, roda empat, sampai kendaraan besar itu harganya berbeda.
Satu jam perjalanan menyeberang laut, di waktu maghrib pula, kita manfaatkan buat makan malam. Nasi kucing yang dijual sama ibu-ibu sebelum memasuki kapal, sama pop mie yang kita beli di dalam kapal. Maghrib saat itu memang syahdu, bawaan dinginnya Bromo pun lama-lama lenyap.
Sampai di ujung Bali, saya dan adek ketiduran sepanjang perjalanan, itupun enggak akan terbangun kalo enggak dibangunin sama driver pas udah tiba di Jalan Kartika Plaza, Kuta, menuju hotel yang udah kita booking. Tepat di jam 1 malam, dan tepar banget. Resepsionis yang jaga hotel melati itu pun masih tidur saat kita datang.
Besoknya kita memang sengaja berangkat enggak pagi-pagi amat. Biar tidur pulas charge tenaga. Kita sewa motor yang difasilitasi hotel biayanya Rp. 75.000,-/hari, di hari pertama kita menuju kawasan Tegalalang dan Kintamani karena satu jalur yang memudahkan kita untuk explore wisata di wilayah itu.
Tegalalang Rice Field tempatnya keren, naik turun petak-petak sawah, dan sempat belanja es kelapa muda di warung tengah-tengah persawahan.
Di Kintamani, jelas kita dihidangkan keindahan dua gunung yang bertetangga yang hanya dibatasi sama danau. Gunung Batur yang aktif dan Gunung Kintamani. Apalagi tempat kita santai di view point yang bebas banget buat mengabadikan mahakarya Tuhan YME.
Di sana kita sempat juga nyoba-nyoba temporary tattoo dari seniman-seniman jalanan. Ini perjalanan perdana adek saya ke Bali, jadi dia memang kadar antusiasnya gila-gilaan dibandingkan saya.
Eh, emang beneran bersih dan asri, Guys. Sumpah! Orang-orangnya ramah-ramah, anjing yang berkeliaran juga lucu. Disana kita sempat kehujanan dan berteduh disalah satu rumah panggung dengan sisi yang terbuka tapi enggak lama.
HARI KEDUA DI BALI
Seumur hidup, saya baru ngerasain gempa. 22 Maret 2017. Dan sialnya yang saya rasain di jam pagi dimana saya dan adek lagi tidur pulas, mulai ngerasain aneh sama kepala sendiri kok puyeng-puyeng, sampai akhirnya saya sadar lagi gempa dan adek saya yang bangun tiba-tiba langsung panik.
You know what? Secara kamar kita di lantai tiga---paling atas, kaki belum menginjak tanah rasanya enggak bakalan aman. Kita lari tunggang langgang turun tangga buru-buru sampai akhirnya tiba di lobi hotel.
Menurut BMKG gempanya berkekuatan rendah berpusat di selatan Bali. Durasinya pun kurang dari satu menit. Pernah nonton Tremor? Yap, rasa-rasanya ada cacing raksasa di dalam tanah lagi jalan-jalan keliling kota.
Gara-gara Gempa, pagi-pagi Bapak sama Mamak udah nelpon dan nanyain kabar kita, celakanya diminta pulang segera takutnya ada gempa susulan, dan tsunami. Hahaha..
Kita udah booking tiket pulang beberapa hari lagi, masa mau dicepetin sih, Bapak? Puas deh kita nenangin orangtua di Bangka kalau kita baik-baik saja dan berjanji ke tempat wisata yang dataran tinggi sekalipun kemungkinan besar bohong sih.
Mungkin warga Bali udah biasa, karena bli pengelola hotelnya aja nyuruh kita santai dan baik-baik aja, tapi ya mau gimana lagi namanya juga fenomena alam, kita tetap lanjut petualangannya.
Kita sempat menuju Uluwatu Temple, saat itu kita perginya pagi menjelang siang jadi enggak ada atraksi seni yang ternyata diadakan di sore hari. Jadi di sana kita hanya jalan-jalan, sambil lihat tebing tinggi menjulang, sama memang monyet-monyet disini bandel-bandel curious ya.
Memasuki kawasan rumah-rumah penduduk yang mayoritas berbentuk panggung, kita mulai diarahkan untuk turun lagi. Jangan takut tersasar, ya. Ada petunjuk arahnya yang memudahkan wisatawan untuk jalan. Dan memang tetap ketemu tangga-tangga yang terbuat dari semen.
Dan seperti yang saya bilang tadi, keluar dari area pantai mulai capek karena mesti naik tangga. Hahaha.
Kita juga menjajahi tempat wisata di kawasan Uluwatu dan Seminyak karena menurut kita masih dekat jaraknya dan sekalian juga balik ke Hotel. Kita ke area Pantai Seminyak, dimana banyak cafe-cafe outdoor yang bertenda warna-warni.
Lagi-lagi memang kalau mau makan disini siapin duit yang cukup ya kalau memang mau makan berat. Biaya makan di tempat wisata ini memang enggak cocok buat rakyat jelata macam kita berdua.
Yang jelas tempat makan yang jadi sasaran kita untuk makan berat ya the one and only itu Pujasera Jalan Kartika Plaza. Selain halal, banyak menu yang macam-macam enggak melulu Lamongan sama Nasi Padang.
Beberapa hari itu kita menikmati Bali dengan berakhir sorenya menuju Pasar Sukowati buat belanja oleh-oleh, di malam hari kita juga jalan-jalan keliling Kartika Plaza kemudian nongkrong bengong di Pesisir Kuta.
Emang deh ya, satu minggu jalan-jalan memang kurang puas, apalagi seperti yang ada di postingan saya sebelumnya, setelah menjelajahi Bromo -- Bali mengunakan perjalanan darat, kita mengagendakan trip menuju Nusa Penida. Wihhh, rasanya benar-benar mau cuti mulu deh. Jadi Kangen Traveling lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H