Sebagai seseorang yang mewajibkan diri kalau setiap tahun membagi waktu untuk liburan sekalipun cuma sekali, memilih Bali sebagai destinasi tentu pilihan yang tepat, bukan? Jelaslah, sekalipun saya sudah kesekian kali menginjak Pulau Dewata, rasanya sama sekali belum cukup.
Jadi, di tahun 2017 ini, setelah ekspedisi di bulan maret nyobain jelajah Malang -- Bromo -- Banyuwangi -- Bali, Oktober kemarin berangkat lagi ke Bali.
Semua berawal dari adik yang merasa satu minggu liburan disana tidak cukup dan minta ditemani lagi. "Ada spot bagus buat foto yang belum sempat disamperin," alasannya sambil pamer Instagram. Maka sejak Juni kita ngerencanain matang-matang, sibuk mantengin Traveloka buat cek tiket sama hotel murah, dan seperti biasa yang paling doyan untuk membuat itinerary plus anggaran biaya itu saya, biar pengeluaran masuk akal. Setelah diskusi, kompak kita memutuskan NUSA PENIDA jadi tujuan kali ini.
Mungkin bagi sebagian besar orang masih asing dengan Nusa Penida, secara banyak teman yang ngomen di IG saya malah nanya saya dimana, dikira di Phuket. Dibilangin lagi di Bali malah enggak percaya. Halah.
Jadi memang, Nusa Penida itu salah satu pulau dan secara administratif merupakan kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung, Bali. Melihat dari struktur wilayah dan topografinya Nusa Penida memiliki banyak objek wisata alam yang luar biasa cuakep rek.
Nah, karena liburan saya enggak pernah ala koper dan enggak pernah liburan mahal ala nona-nona manis yang takut kulitnya item---dan tentu menghindari teman seperjalanan yang ribet baik bawaannya maupun hidupnya, jadi semuanya serba backpacker, termasuk budget-nya. Â
Jadi fix liburan di Bali rencananya 4 hari dan Nusa Penida 2 hari.
Hotel, fix. Tiket pesawat, fix.
Saya dan adik saya berangkat dari Bandara Depati Amir Pangkalpinang dengan Lion Air penerbangan jam 2 siang, dan sampe Jakarta sekitar jam 3-an. Kita punya waktu dua jam lebih menunggu cantik buat penerbangan Jakarta -- Bali sekalipun kenyataannya mesti menunggu 1 jam karena penyakit akutnya Lion Air. Delay. Alhasil, rencana buat jalan malam terpaksa batal, mengingat akhirnya kita sampai di Bali sekitar jam 11.30 WITA.
Sebagai pejalan yang lebih suka pake taksi online ketimbang konvensional, saya lebih suka pake Grab ketimbang yang lainnya karena harganya jauh lebih murah, sekalipun sering dengar kalau sopir taksinya galak-galak kalau cancel booking tanpa sepersetujuan. Sejauh ini, pelayanan Grab ke saya, aman-aman saja dan nyaman.
BALI
Hari itu kita menginap di Swandewi karena harganya bikin takjub banget buat berdua di fan room yang kisaran harganya minimal Rp. 80.000-an. Untungnya, mendapat teman perjalanan seperti adik saya ini sekalipun susah-susah gampang, yang terpenting bagi saya itu cuma 1 saja : dia mau liburan ala murah yang rela dapet room yang modal kipas angin doang dan enggak ngeluh kulit item aja udah syukur Alhamdulillah. Syukurnya pun hotel yang kita pilih ada shower komplet air panas sekalipun sarapan enggak termasuk.
Saya sengaja memilih hotel yang lokasinya memang strategis dengan area favorit saya dari dulu. Jalan Kartika Plaza itu benar-benar available buat turis backpacker. Cafe banyak, kios dagangan banyak, hotel banyak, sewa motor banyak, mau nongkrong ke Mall tinggal nyebrang dikit udah, yang sejenis Circle-K pun rame. Kartika Plaza salah satu jalanan terpadat di Kuta sekalipun di tengah malam. Paling enak kalo jalan malam hari sih disini.
Sayangnya, Hotel yang kita tempati enggak punya jasa layanan rental motor. Atas saran bli yang jaga, ada tempat sewa motor yang tinggal jalan kaki doang 50 meter dari gang hotel. Kita dapat tempat sewa motor yang ibunya yang jaga baik banget. Rata-rata harganya Rp.75.000/24 jam dengan motor matic yang kondisi lumayanlah.Â
Rata-rata sewa motor enggak pake motor lain selain matic, harga pun bisa berbeda tergantung jenis motornya. Kalo N-Max bisa mencapai Rp. 150.000-an/12 jam, tergantung nego. Keunggulan menggunakan motor adalah kita bisa fleksibel setiap ke objek wisata, naik mobil itu ribet dan lama, apalagi kalau terjebak macet. Pusing!
Karena ini kunjungan kesekian saya ke Bali, jadi difokuskan ke beberapa objek wisata yang belum pernah saya jamah di Bali sebelum tujuan utama ke Nusa Penida terealisasi esok harinya. Hari pertama, menuju tempat yang sedang hits buat penikmat good views, yaitu Bukit Belong, yang lokasinya di Kabupaten Klungkung. Setiap perjalanan kita modal utama adalah hp android, dan itu penting banget, ketika metode jalan-jalan kita tanpa jasa paket tour atau guide yang nemenin. Googlemaps itu navigasi sempurna buat jalan-jalan, sekalipun kadang bisa bikin nyasar juga.
Perjalanan selanjutnya sebenarnya ke Pura Lempuyangan di Karang Asem, sambil lihat Gunung Agung yang saat itu statusnya siaga 3, tapi karena situasi cuaca yang kurang mendukung karena hujan, Pura Lempuyangan di-cancel dan ke agenda selanjutnya, menuju ke Tegenungan Waterfall. Jaraknya cukup dekat.Â
Biaya masuknya hanya Rp. 15.000/orang, ditempat itu seperti objek wisata yang ramai dikunjungi banyak toko-toko jualan baju dan handmade khas Bali, selain cafe-cafe kecil. Kita memilih Tegenungan karena ini salah satu dari sekian banyak air terjun di Bali yang gampang dijangkau.Â
Enggak perlu trekking atau apalah. Sayangnya, mungkin karena intensitas hujan yang lebat hari itu, sekalipun udah berhenti saat kita tiba di lokasi, muatan airnya beda, jadi lebih macam kebanjiran, warnanya pun jadi kopi susu. Di saat normal, pengunjung diperbolehkan mandi dan berfoto dekat air terjun, tapi karena akibat hujan deras ini enggak diperbolehkan karena cukup bahaya.
Sehabis dari Tegenungan Waterfall, kita meluncur ke salah satu Unesco World Heritage : Jatiluwih Rice Fields.
Biaya masuk Rp. 15.000/motor dan bisa keliling-keliling ke segala sudut persawahan yang luas banget ini. Kita sengaja berangkat di bulan Oktober karena saat itu padi-padi memang lagi ditanam dan muda banget, jadi percuma juga kalau ke Jatiluwih ketika lagi panen, kan? Mana seru. Hanya saja, Â untuk objek wisata sekelas Jatiluwih apalagi diklaim sebagai warisan dunia, kurang memadainya akses jalan menu
NUSA PENIDA
Check out hotel jam 7, sambil nitip tas sama ibu rental motor yang saya bilang baik banget tadi, menggunakan Grab menuju Pelabuhan Sanur. Jadi Nusa Penida bisa dilewati dari Pelabuhan di timur Bali. Bisa di Karang Asem, bisa juga di Padang Bai, bisa juga di Pelabuhan Sanur. Kita memilih Sanur karena yang ideal dari Kuta menuju ke Nusa Penida adalah melalui Sanur. Kalau melalui Karang Asem kejauhan.
Setiba di Pelabuhan, tepat di pinggir pantai Sanur yang pemandangannya sepertinya jauh lebih cakep Pantai di Bangka, ada tempat penjualan tiket fastboat menuju Nusa Penida, Ceningan, sama Lembongan. Ada banyak macam jenis fastboat dengan waktu keberangkatan yang setiap satu jam sekali luncur, jadi sebenarnya enggak perlu takut kehabisan tiket, karena pilihannya banyak sekali.
Dari awal kita memilih untuk naik Maruti Express karena Maruti yang paling murah ketimbang express-express yang lain sekitar Rp. 75.000/satu kali keberangkatan. Hanya saja di hari itu karena melihat Dwi Manunggal yang paling rame ketimbang stan tiket express yang lain, dan harganya enggak jauh beda sekitar Rp. 100.000 dari Maruti, kita naik itu karena keberangkatan pertama sekitar 15 menit saat kita sampai Pelabuhan di jam 8 pagi itu.
Perjalanan menggunakan fastboat bagi yang suka mabok memang enggak bersahabat, apalagi saat itu ombaknya gede, jadi dentuman ombak ke kapal itu terasa banget. Alhasil perjalanan 45 menit menuju Nusa Penida terasa lama banget. Adik saya udah mabok, ditambah gugup pula lihat ombak gede dari jendela.
Setiba di dermaga Nusa Penida, yang terlihat sepi jauh dari yang saya bayangkan, tapi saat turun dari dermaga, di pinggir pantai kita udah disamperin sama bapak-bapak yang nawarin ojek. Namanya Pak Wayan, baik dan sopan juga. Kita nego buat rental dua hari dan rata-rata harganya sama dan motornya juga mayoritas Vario keluaran baru, jauh dari kata butut. Trus pas kita nanya helm, Pak Wayan bilang malah kita jangan khawatir soal helm, polisi disini enggak rese' sama turis yang enggak pake helm. What the...
Enak sih, tapi helm bagi saya selain nutupin muka dari helm, ya buat mengantisipasi keamanan selama mengendara lah. Yang jelas, helm disini jarang ada, kecuali sewa motor dari hotel langsung.
Jadi, tujuan pertama bukan hotel yang udah kita booking pake Traveloka di jauh-jauh hari, tapi tujuan Adik saya yang sudah ngidam sama Kelingking Beach.
Kelingking Beach
Berjarak sekitar 30 menit dari dermaga, melewati jalan kecil yang tidak cukup bagus dan jujur saja jalan yang naik turun memang cukup menguji nyali dan kemampuan berkendara juga sih. Alhamdulillah setiba di lokasi, dengan biaya masuk Rp. 5.000/ motor, kita tidak langsung dihadapkan dengan pesona batu besar yang menjorok kelaut berbentuk unik itu, ada tempat parkir dan beberapa warung kecil yang menyajikan makanan ringan sama berat, dan tentu saja es kelapa muda.Â
Turun sedikit dengan hati-hati, di bibir tebing Pantai Kelingking kelihatan kokoh dan gagah. Selama ini lihatnya dari IG atau browsing dikiranya kecil ternyata aslinya... guede dan keren abis! Super deh.
Memang bentuknya kelihatan seperti T-Rex tidur, dibawahnya deburan ombak menabrak dinding-dinding tebing kedengeran dari tempat saya berdiri. Pengunjung juga diperbolehkan untuk turun menuju pantai tapi mesti trekking dan saya sudah coba itu enggak mudah karena capek. Kebetulan saya orang yang enggak mau bersusah payah trekking beginian apalagi dihadapkan dengan cuaca yang super terik, saya memilih mundur dan menikmati pemandangan aja dari warung.
Lautan biru dengan ombak yang mengikis tebing. Keunggulan pertama saat kesana hanya ada saya dan adik saja, enggak ada manusia lain atau pun yang jaga jadi cukup puas buat foto-foto. Kelemahannya Cuma satu, sepertinya Turtle Beach agak tersembunyi dan belum dikelola secara tepat jadinya sepi banget.
Perjalanan menuju selatan Nusa Penida (masih) menantang, bahkan bagi kita sih cukup ekstrim karena terjal dan kecil yang kalau dilewati dua mobil itu sempit banget. Bukan hanya karena sebagian kecil aspal, tapi sebagian besar jalan batu kerikil sama tanah keras. Bisa dibayangkan berjam-jam naek motor di jalan begitu? Pantat panas, Cuy! :D Capek pula!
Sempat saat menuju lokasi jalan turunan yang ekstrim bikin naas karena bule jatuh dari motor dan luka-luka di tubuhnya sambil ditolong sama bapak-bapak yang kebetulan lewat. Menurut Pak Wayan yang sewa motor itu juga bilang kalau mayoritas jalan ke objek wisata di daerah selatan sama timur itu jalannya masih super jelek, jadi disarankan pelan-pelan dan sering-sering klakson setiap tikungan.
Angel Bilabong sama Broken Beach ini memang cukup tersembunyi, jadi jangan heran kalau perjalanan menuju kesana lebih banyak ketemu hutan ketimbang rumah penduduk. Jarak dua objek itu enggak sampai satu kilo jalan kaki jadi macam bonus.
 Sempat dengar dari cerita Pak Wayan (lagi) juga kalau sempat ada turis yang meninggal karena benturan ombak ke batu. Jadi memang agak bahaya kalau enggak hati-hati. Kalau saya sendiri memilih tidak mandi karena alergi air pantai, adik saya sudah nyemplung diantara bule-bule. Sarannya, kalau mandi disini meniti hati-hati karena memang batu-batunya cukup licin.
Dan untuk yang baru pertama kali menyentuh Bali, jangan heran kalau lihat anjing keluar masuk cafe atau nangkring di teras hotel.
Malamnya, enggak pusing nyari makanan halal, ada banyak dagangan semacam sate, soto, nasi goreng, mie ayam, martabak, yang dijual di dekat dermaga.
Atuh Beach/Pulau Seribu
Hari terakhir di Nusa Penida, tujuannya cuma 1, penasaran memang sama Pulau Seribu -- Atuh Beach yang katanya nyaris mirip sama Raja Ampat. Dan dari hotel sekitar satu jam 20 menit, cukup jauh memang. Harapannya semoga jalanannya enggak separah menuju Broken Beach, tapi salah, ternyata lebih parah. Kita udah diwanti-wanti juga sama si ibu yang jaga kios bensin sebelum berangkat kalau jalanan ke arah Atuh---naik---belok-belok.Â
Kita sempet bingung sih sama penjelasan ibunya soal 'naik---belok-belok, tapi eh ternyata emang dasar enggak peka, jalanannya parah. Soalnya memang lewat bukit yang jalanannya aspal, tapi curam trus belok-belok, dan makin naik dan naik. Perlu dicatat kalau memang ke Nusa Penida diharapkan kekeuh deh buat dapet motor yang bagus, perhatiin ban, gas, rem (yang penting), biar enggak jatuh dan memang yang paling penting dibutuhkan mental yang kuat buat nyetir. Saya saja setiap kali jalan turunan yang curam banget enggak berhenti doanya.
Jadi, apa daya, kekuatan tubuh dan pantat bekerja lebih keras hari ini karena memang jalannya booo, super-duper amajing! Masuk hutan keluar hutan, ketemu desa, keluar desa, ketemu hutan panjang lagi. Diam-diam dalam hati pengen jerit "Ya Allah, ini kapan nyampenya coba", lama-lama pantat udah rata.
Dan ketika tiba di halaman parkir, rasanya mau jerit kesenangan. Udah gak mikirin kabar pantat, dengan semangat markir motor rapi, menuju pos kasir. Biayanya hanya Rp.10.000/orang loh, plus Rp. 5.000 buat biaya jaga motor. Pas kita datang keadaannya sepi banget, ada dua orang bule aja yang lagi turun ke rumah pohon, selain yang jaga warung makan.
Sekitar jam 12 kita meluncur menuju Bukit Teletubbies. Disebut begitu karena katanya mirip sama perbukitan di acara TV Teletubbies. Jaraknya dari Atuh sekitar 15 menit, kita sempat tersasar (ditipu GPS) sampai ketemu juga lokasinya karena nanya sama warga sekitar. Bukit Teletubbies ini gundukan-gundukan tanah menghijau yang merupakan kebun warga. Gundukannya banyak dan memberi panorama hijau yang menarik. Unik banget.Â
Setelah kita tanya sama sopir ternyata taksi online dianggap 'ancaman' bagi taksi konvensional, takutnya dianggapkan maling rejeki taksi-taksi yang udah ngetem di Pelabuhan. Jadi kalau nganterin penumpang masih maklum, cuma kalau sengaja jemput masuk ke dalam sebenarnya masih bisa juga, tapi untuk menghindari konflik kebanyakan sopir taksi online memilih untuk nangkring di jalan raya.
Setiba di Swandewi, ngambil pakaian, kita tidur sampai puas sampe bangun karena kelaparan.
NOOK
Jadi, selain kekeuh ke Bali niatnya buat jelajah Nusa Penida, kita juga yang hobinya kopi sama makan, udah mengincar Nook Cafe yang letaknya di jalan Umalas, Seminyak. Ulasannya banyak yang bilang enak, terlebih karena cafe ini punya view yang cantik dan enak sambil makan lihat sawah hijau membentang. Dari Hotel ke Nook kurang lebih sekitar 20 menitan, kalau enggak macet, karena waktu kesana lagi macet-macetnya. Setiba disana, yang dipikiran saya "Gila! Banyak spot ini buat foto-foto." Hehe.
Buat suasana baru, sehabis sarapan kita pindah hotel. Nyobain hotel lain di Legian, Mahendra Beach Inn. Hotel lumayan dengan harga backpacker macam kita, bedanya enggak ada air hangat aja sih, tapi rame, bli yang jaga juga ramah banget. Hanya saja yang bikin saya agak kerepotan karena bukan di pinggir jalan, jadi sering kesasar tiap kali kemari.
Berhubung hari terakhir di Bali karena besok udah balik ke Bangka, sorenya kita puas-puasin jalan-jalan. Uluwatu Temple jadi pilihan kita buat nikmati sore, ini udah ketiga kalinya buat saya ketempat ini tapi masih suka aja, buat adik saya udah dua kali. Kita sama kagumnya, tapi sejak awal kita udah niat kesini buat lihat drama kecaknya aja.
Ya kali ke Bali sayang bangetkan kalau cuma lihat wisata alamnya aja, tanpa menikmati budaya khasnya.Â
Uluwatu Temple
Tarian kecak yang menceritakan kisah Brahmana, Wisnu, dan Rahwana, juga Hanoman itu diadakan di jam 6 malam, saat sunset tiba. Pemandangan seperti ini cukup membius dan sakral karena benar-benar cakep. Para lakon juga beraksi lucu dan banyak penonton yang ketawa, termasuk kita. Oh iya, biaya tiket masuk menonton kecak itu sekitar Rp. 100.000/orang. Memang cukup mahal sih buat nonton pertunjukkan yang durasinya hanya satu jam.
Nah, ini, kalau mau belanja oleh-oleh atau kepepet waktu enggak sempat ke Pasar Sukowati yang memang jaraknya cukup jauh sekitar satu jam lebih dari Kuta seperti kita, saya saranin ke tempat oleh-oleh Khrisna deh. Selain harganya cukup terjangkau, banyak macamnya termasuk yang mau belanja baju-baju, souvenir, kopi luwak sama pie susu khas Bali. Tempat ini buka sampe jam 10 malam, jadi enggak papa kalau kemalaman, dan akan selalu rame pengunjung kok.
Untuk orang yang punya kehidupan sosial di Bangka, jadi mendapatkan waktu liburan itu rasanya seperti kejatuhan bintang. Cuti itu kesempatan terbaik banget buat explore apapun yang kita mau, termasuk traveling. Traveling bukan cuma bikin kita berkesempatan untuk melihat indahnya dunia, tapi juga pelajaran hidup.
Iya, pelajaran hidup bagi orang-orang yang lebih suka habisin uang buat jalan-jalan sih, ketimbang belanja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H