Balikpapan, 2005
Ini tahun kedua aku memasuki sekolah menengah pertama. Ada perasaan lega ketika aku mendapat predikat ranking 1 setiap semesternya. Setiap kali penerimaan raport dan mendapat ranking 1, Bapak selalu membelikan aku bakso. Sedangkan anak-anak lain yang tidak mendapat peringkat di kelasnya tidak ditraktir makan bakso, boleh ikut makan asalkan bayar sendiri.Â
Oh iya ... aku tinggal di sebuah Panti Asuhan karena kedua orang tuaku tidak sanggup menyekolahkanku hingga sekolah menengah. Kedua orang tuaku sudah tua dan hanya menjadi buruh tani. Aku sendiri yang memilih tinggal di Panti Asuhan agar tetap bersekolah dan tidak membebani kedua orang tuaku. Aku juga masih punya dua orang adik yang duduk di sekolah dasar dan butuh biaya untuk sekolah.
"Rin, temenin aku ke BC, yuk!" ajak Ika di hari Minggu pagi. Ika adalah salah satu teman sekolah yang juga tetangga yang tinggal di sebelah panti.
"Mau ngapain?" tanyaku.
"Mau jalan-jalan sama main game." Ika cengengesan. Dia memang senang sekali bermain di Play Zone. Dia bisa menghabiskan uang lima puluh atau seratus ribu dalam sekali main. Bagiku, itu uang yang cukup besar karena aku cuma punya uang jajan seratus ribu untuk enam bulan. Sedangkan Ika, bisa menghabiskannya dalam waktu sehari. Memang enak menjadi orang kaya, apa yang diinginkan selalu terpenuhi. Jauh berbeda denganku yang harus lebih sabar ketika ingin membeli sesuatu.
"Izin dulu sama Oom!" pintaku. Setiap kali ingin bepergian, kami harus mendapat izin dari pengurus panti. Kami bahkan tidak diperbolehkan keluar dari area panti walau pergi ke warung sekalipun tanpa izin.
"Iya. Aku izinin, tapi kamu temenin aku ya!" pinta Ika, ia berlalu pergi ke rumah pengurus sedangkan aku langsung masuk ke kamar dan melipat pakaianku yang masih berhambur di atas ranjang.
"Dibolehin sama Oom, Rin. Katanya dia juga sekalian mau turun." Ika tiba-tiba saja mengintip dari balik jendela kamar yang kacanya terbuka. Alhamdulillah ... kebetulan aku ada sedikit tabungan untuk membeli tas dan sepatu yang sudah rusak.
"Naik motor Oom kah?" tanyaku sembari membukakan pintu kamar untuk Ika.
"Naik angkot aja. Katanya Oom sama Tante juga mau naik angkot, kok."
"Ya udah, aku siap-siap dulu ya."
"Iya, cepet ya!" Ika berlalu pergi meninggalkan panti, pulang ke rumahnya untuk bersiap-siap.
Tak berapa lama, aku sudah siap. Aku tak punya banyak pakaian. Hanya mengenakan celana panjang berwarna hitam dan kaos berwarna hijau muda. Kerudung yang aku pakai juga kerudung yang biasa aku gunakan untuk sekolah. Hanya kerudung sekolahku saja yang pantas untuk dipakai jalan-jalan. Untukku, ini sudah sangat bagus.Â
Aku langsung keluar dari kamar dan naik ke pintu gerbang yang berada lebih tinggi dari bangunan utama panti asuhan ini. Tempat ini memang berada di atas bukit, sehingga posisi pintu gerbang berada di paling atas, langsung bersisian dengan jalan.
"Udah siap?" Oom langsung menegurku, "mana Ika ini?" Ia melirik arloji di tangan kirinya.
"Kita jemput ke rumahnya aja, Oom. Kan sekalian lewatin rumahnya." Aku memberi saran agar kami tak terlalu lama menunggu Ika. Lagipula, rumah Ika juga akan kami lewati saat kami akan keluar dari gang ini.
"Ya sudah. Tunggu tantemu dulu!" pinta Oom.Â
Beberapa menit kemudian, Tante keluar dari rumahnya. Kami berjalan beriringan menuju rumah Ika sebelum akhirnya kami menaiki angkot menuju Klandasan. Angkot kami berhenti di seberang bangunan Balikpapan Center.Â
Kami harus menyeberang melalui JPO alias Jembatan Penyeberangan Orang untuk bisa ke BC dengan aman dan nyaman.
Di dekat jembatan itu, aku melihat seorang nenek tua sedang berjualan rujak di atas tikar. Mungkin ada sekitar 20 bungkus rujak yang masih belum terjual. Aku teringat pada nenekku yang selama ini sudah merawatku. Kenapa nenek itu harus berjualan, panas-panasan seperti ini? Apakah dia tidak punya anak dan cucu?
Karena merasa iba, akhirnya aku mendekati si Nenek.
"Mau ke mana?" Ika menarik tanganku ketika mau menaiki tangga JPO.
"Aku mau beli rujak. Bentar ya!" Aku bergegas menghampiri nenek yang sedang berjualan di tepi jalan.
"Nek, rujaknya berapa harganya?" tanyaku.
"Lima ribu, Nak," jawab nenek itu sembari memandangku dengan harapan aku akan membeli rujaknya. Mungkin saja, banyak yang bertanya tapi tidak membeli. Itulah sebabnya si nenek berharap kalau dagangannya bisa terjual.
"Saya beli seratus ribu, ya!" pintaku sambil merogoh uang seratus ribu yang aku selipkan di saku  samping celanaku.
"Alhamdulillah ...." Nenek itu langsung membungkus menggunakan kompek hitam yang lumayan besar. Tubuhku yang masih kecil agak kerepotan membawanya.
"Buat apa beli rujak sebanyak itu?" tanya Ika ketika aku menghampirinya.
"Buat dimakan, dong!" jawabku enteng.
"Emang habis segitu banyaknya?"
"Habis. Mau?" Aku menyodorkan satu mika rujak ke arah Ika. Ia meraihnya dan kami pun menaiki tangga JPO.
"Oom sama Tante mana?" tanyaku celingukan.
"Udah duluan."
"Ooh ...." Aku melanjutkan perjalanan. Di atas JPO kami bertemu dengan beberapa anak yang biasa ngamen di lampu merah. Tepat di bawah JPO ada simpang tiga lampu merah. Kemungkinan anak-anak ini ngamen di lampu merah.
"Dek," panggilku pada salah seorang anak berambut pirang karena terkena panas matahari, bukan karena memakai pewarna rambut. Wajahnya terlihat lelah sambil membawa sebuah alat musik kecil dari kayu dan kaleng-kaleng kecil.
"Apa, kak?" Anak kecil itu menghentikan langkahnya.
"Mau rujak?" tanyaku sambil tersenyum.
"Mau, kak." Ia menganggukkan kepalanya.
"Teman-teman kamu ada?" tanyaku lagi.
"Ada, Kak."
"Ya udah, ini buat kamu. Bagi sama teman-teman yang lain ya!" Aku menyerahkan kompek hitam berisi rujak yang aku beli di bawah tadi.Â
"Serius, Kak? Makasih ya!" Anak itu meraih kompek yang aku berikan dan bergegas menghampiri teman-temannya untuk membagikan makanannya. Aku tersenyum bahagia melihat wajah anak itu, mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih bergantian sampai aku memasuki bangunan BC.
"Kamu beli rujak sebanyak itu cuma untuk dibagi-bagi?" tanya Ika.
Aku menganggukkan kepalanya.
"Banyak duit kamu, ya!" celetuk Ika.
"Nggak harus nunggu banyak duit untuk membantu orang lain kan?"
"Iya, sih. Tapi ... kamu aja kan butuh. Buat apa dikasih-kasihkan orang lain." Ike terlihat kesal dengan sikapku.
"Nggak papa. Aku ikhlas, kok. Nanti Allah yang ganti," bisikku sambil tertawa.
"Aamiin."
Kami melangkahkan kaki menuju bangunan Mall BC. Ika langsung asyik bermain di Play Zone. Sementara aku hanya melihat dan menemaninya saja karena aku memang tidak punya uang untuk membeli koin.Â
"Mau coba main? Aku kasih koinnya." Ika menatapku sambil tertawa bahagia.
Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Aku bukan kamu, Ka. Aku harus bisa mengatur uangku untuk hal-hal yang penting," batinku.
Usai bermain, kami pun berjalan menuju pasar Klandasan yang tak jauh dari bangunan BC. Untungnya Oom dan Tante tahu kalau kami bermain di Play Zone. Dengan mudahnya mereka bisa menemukan kami. Sebab, di angkot tadi, Oom sudah mewanti-wanti agar kami tidak pergi ke tempat lain selain Play Zone agar mudah ditemukan.
Setelahnya, kami menuju Pasar Klandasan untuk membeli sesuatu. Oom akan membeli kain untuk jahitannya, sedangkan aku juga sudah mengungkapkan keinginanku untuk membeli tas dan sepatu. Aku sudah menabung selama beberapa bulan untuk bisa membeli tas dan sepatu yang baru.
"Rin, jadi mau beli sepatu?" tanya Oom ketika kami sampai di Pasar Klandasan.
Aku menggelengkan kepala.
"Kenapa?"
"Uangku nggak cukup, Oom. Besok aja," jawabku.
"Ya sudah. Oom cari kain dulu." Kami pun mengikuti langkah kaki Oom menuju toko kain.
"Kamu, sih. Pake acara beliin rujak sebanyak itu. Uangmu jadi nggak cukup kan buat beli sepatu." Ika berbisik ke telingaku.
"Nggak papa. Kayaknya sepatu aku masih tahan, kok. Nanti aku lem aja lagi." Aku tersenyum ke arahnya.
Setelah cukup lelah berputar-putar di pasar, kami akhirnya pulang lagi ke Panti Asuhan. Aku langsung mengambil handuk untuk mandi. Usai mandi, aku berbaring di ranjangku yang paling atas. Aku memang mendapat jatah di ranjang bagian atas, karena ranjang bagian bawah selalu ditempati oleh kakak kelas yang sudah duduk di bangku SMA.
Otakku mulai berpikir, bagaimana caranya aku mendapatkan uang lagi untuk membeli tas dan sepatu. Tasku jelas sudah robek di sana-sini, sepatu yang aku kenakan juga sudah bolong-bolong bagian bawahnya, habis terkikis oleh aspal jalanan karena setiap hari aku berjalan kaki menuju ke sekolah. Jarak panti dan sekolah lumayan jauh, hampir 1 kilometer. Itulah sebabnya kenapa penggunaan sepatu menjadi lebih boros dari yang semestinya. Aku juga hanya bisa membeli sepatu murahan seharga enam puluh ribu rupiah, Bagiku, sepatu harga segitu sudah mahal. Tapi tidak bagi mereka yang memiliki uang lebih.
"Rin, ada tamu." Mbak Wina membangunkanku. Aku langsung bangkit dan turun dari ranjangku. Kami bersiap-siap menyambut tamu yang datang. Seperti biasanya, tamu di sini adalah donatur yang sekedar berkunjung atau memberikan sumbangan pada anak-anak panti.
Kami semua berkumpul di aula. Seperti biasa, aku selalu duduk di paling depan karena tubuhku yang masih kecil. Ada pembawa acara, pembacaan ayat suci Al-Qur'an dan terjemahnya, juga sambutan-sambutan dari pihak panti dan donatur. Semuanya sudah biasa kami lakukan bahkan ketika donatur datang secara mendadak. Semua sudah bersiap dengan tugasnya masing-masing.Â
Tak perlu lagi diperintah untuk mengisi acara. Kami sudah terbiasa dengan acara dadakan karena hampir setiap malam, usai shalat isya' kami selalu belajar mengisi acara. Setiap hari selalu ada giliran untuk kami. Giliran belajar ceramah, belajar mengaji, belajar MC dan sambutan. Semua jadwal itu sudah ditentukan oleh Ketua Santri yang akan diganti setiap satu tahun sekali. Hmm ... sepertinya, jadi Ketua Santri itu keren. Karena bisa mengatur anak-anak lain untuk tertib dalam berkegiatan.
Aku terlalu asyik dengan pikiranku sendiri sampai tidak menyadari kalau acara penyambutan tamu sudah selesai. Beberapa orang yang menjadi bagian rombongan tamu terlihat sibuk menurunkan bingkisan dari dalam mobil yang terparkir di halaman panti. Kemudian mereka menyerahkan bingkisan itu satu per satu kepada seluruh anak di panti asuhan.
"Alhamdulillah ... terima kasih, Ibu." Aku mencium tangan donatur yang memberikan bingkisan untukku. Bingkisan itu dibungkus menggunakan plastik transparan. Sehingga bisa terlihat dari luar apa saja yang ada di dalamnya. Satu buah tas sekolah, sepasang sepatu, satu buah mukena, sajadah dan alat tulis. Bingkisan yang diberikan sudah diatur nomor sepatunya sesuai dengan berapa anak yang memiliki nomor sepatu sama. Sebelumnya, tamu ini pasti sudah berkomunikasi terlebih dahulu dengan pengurus panti. Sehingga donasi yang mereka berikan sesuai dengan kebutuhan kami.
"Belajar yang rajin, jangan lupa sholat ya!" Ibu Donatur itu mengelus kepalaku dengan lembut sambil tersenyum bangga. Aku rasa dia bahagia karena bisa mambantu orang lain, sama seperti saat aku membantu nenek rujak yang berada di dekat JPO itu. Sederhana bukan? Sedekah itu membuat hidup kita bahagia. Bukan hanya yang bersedekah, tapi yang disedekahi juga ikut bahagia.
Terima kasih, Ya Allah ... Engkau Maha Pemberi Rizki, Engkau yang mengatur segala yang ada di muka bumi. Agamaku memang belum baik, akhlakku juga belum baik. Tapi aku percaya ... kebaikan akan selalu berbuah kebaikan. Sedekah yang kita keluarkan juga langsung diganti oleh Allah sesuai firman-Nya dalam Al-Qur'an. Aku ... cuma anak bau kencur yang belum paham soal akidah agama. Tapi aku percaya, Allah ada dan selalu mengawasi setiap perbuatan yang kita lakukan.
Ikhlas memberi karena Allah, maka Allah akan lipat gandakan rejeki kita. Jangan memberi karena ingin mendapatkan yang lebih banyak lagi, kalau niatnya sudah begitu, artinya kita tidak Lillahi Ta'ala dalam memberikan suatu kebahagiaan untuk orang lain.
Ya Allah ... jika suatu hari Engkau beri aku rejeki lebih. Jangan biarkan aku menjadi manusia yang kufur atas nikmat-nikmatMu Ya Allah. Jadikanlah aku manusia yang pandai bersyukur dan senantiasa mencintaiMu dalam keadaan apa pun.
Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 3 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H