Tentu kita harus mengkajinya lebih luas. Sejatinya libur penuh selama Ramadan memberi manfaat bagi siswa dan keluarganya. Anak-anak memiliki lebih banyak waktu yang lebih fleksibel dalam menjalankan ibadah, terutama pada malam hari saat tradisi shalat tarawih dan tadarus berlangsung.
Tanpa bersekolah, memberi ruang kebebasan anak dari tekanan akademik agar berpuasa dengan lebih nyaman. Dalam praktiknya porsi belajar yang berlebihan sering kali membuat anak-anak mengalami penurunan energi akibat puasa.
Libur sekolah juga membuka peluang bagi keluarga untuk lebih banyak berkumpul dan menjalankan tradisi Ramadan bersama, seperti berbuka puasa, sahur, atau melakukan kegiatan sosial.
Tapi benarkah realitasnya begitu?. Bagaimana dengan tradisi Bukber, ngabuburit dan lain-lain yang trendnya muncul saat Ramadhan. Dalam praktiknya anak-anak lebih memilih berbuka bersama komunitasnya, kelompoknya daripada duduk berbuka di meja makan seperti tradisi kita dahulu.
Tantangan dan Dampak Buruk Kebijakan
Sebuah kebijakan memang tidak lepas dari pro dan kontra dari dampak positif dan negatif. Kebijakan libur saat ramadhan juga tidak lepas dari tantangan. Salah satu persoalan utama adalah bagaimana menjaga anak-anak tetap disiplin dan fokus selama liburan panjang Ramadan.
Bagaimanapun banyak kalangan termasuk orang tua mengkuatirkan berbagai kemungkinan negatif yang mengikuti kebijakan tersebut.
Mau tidak mau kebijakan itu mengharuskan para orang tua lebih mengontrol aktivitas anak-anaknya masing-masing, karena biasanya ada keterlibatan sekolah didalamnya, terutama soal disiplin.
Ketika sekolah diliburkan, anak-anak cenderung kehilangan struktur harian yang biasanya diatur oleh jadwal sekolah. Banyak orang tua mengeluhkan bahwa anak-anak justru lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain gim daring, menonton televisi, atau berkumpul tanpa pengawasan.
Kebijakan baru tersebut juga akan menggantungkan keberhasilannya pada peran masing-masing orang tua. Dalam kondisi libur puasa, peran orang tua menjadi sangat sentral dalam mengarahkan anak-anak untuk menjalankan ibadah. Sayangnya, tidak semua orang tua memiliki fleksibilitas waktu atau kemampuan untuk mengontrol anak-anak mereka secara penuh, terutama bagi keluarga yang kedua orang tuanya bekerja.
Tak sedikit orang tua yang tetap disibukkan dengan aktifitas kantor dan bisnis, sehingga kontrol pada keluarga terutama anak-anak jauh dari kata memadai. Anak-anak juga cenderung lebih mendengar arahan dan aturan disiplin sekolah daripada orang tuanya. Pada akhirnya akan lebih banyak orang tua yang mengalah, kendor pengawasannya dan menyerahkan sepenuhnya pada bagaimana kedewasaan dan pola pikir anak menyikapinya.
Bahkan bukan tidak mungkin dengan pengawasan yang kendor, Â mempengaruhi potensi menurunnya semangat ibadah. Alih-alih fokus pada ibadah, anak-anak justru lebih mungkin terjebak dalam rutinitas yang kurang produktif selama libur panjang. Kurangnya pengawasan dari orang tua dan sekolah yang libur membuat anak-anak kehilangan inisiatif untuk terlibat dalam kegiatan keagamaan.