Kecenderungan banyak orang untuk mengekspose keseruan di rumah tangganya, terutama menyangkut putra-putrinya menjadi sebuah trend sosial yang kurang diwaspadai dampaknya. Entah itu acara family gathering, acara ulang tahun anak, bahkan sejak kelahiran hingga keseharian anak. Teruma di platform media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter. Meskipun hal itu menjadi sebuah kegembiraan tersendiri, apalagi bagi keluarga muda yang baru memiliki putera-puteri namun disebalik itu ada juga bahaya yang mengancam.
Kebiasaan mengeskpose  yang telah menjadi trend itu kini dikenal dengan istilah sharenting.
Kehadiran media sosial dan trend yang dilakukan kalangan artis menjadi salah satu yang menstimulasi kebiasaan sharenting menjadi semakin populer. Padahal mereka memiliki banyak pertimbangan, salah satunya berkaitan dengan iklan atau  endorsmen dengan sebuah produk, atau ekspose kehidupan pribadi oleh media karena popularitas. Namun keluarga-keluarga muda yang masih dalam romansa sukacita memiliki putera-puteri kadangkala ikut terbawa trend atau euforia ala artis tersebut.
Apalagi dengan kehadiran media sosial yang menjadi episentrum bagi banyak orang untuk bertemu secara sosial di media maya, yang tidak terbatas ruang, waktu dan segmen serta komunitas masyarakatnya yang heterogen.
Sebuah penelitian kritis yang menarik oleh Dr. Baym adalah profesor dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menyoroti tentang media sosial dan dampaknya terhadap kehidupan pribadi, terkait masalah sharenting. Penelitiannya fokus pada perilaku individu di platform media sosial dan dampaknya terhadap hubungan keluarga.
Demikian juga yang dilakukan oleh Dr. Monique M. Turner, seorang ahli komunikasi dan media sosial dari University of Maryland, yang meneliti tentang perilaku orangtua dalam berbagi informasi anak mereka secara online dan dampaknya terhadap identitas anak di masa depan.Â
Atau yang tidak kalah menarik penelitian yang dilakukan oleh Dr. Sonia Livingstone-seorang profesor di London School of Economics (LSE), yang sangat intens terlibat dalam penelitian mengenai anak-anak, media sosial, dan teknologi dan kaitannya dengan privasi anak dan bagaimana orangtua berbagi informasi mereka di media sosial.
Di era digital yang semakin maju, media sosial memang telah menjadi kegembiraan tersendiri bagi banyak orang, bahkan kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, termasuk bagi para orangtua.
Salah satu fenomena yang muncul dalam penggunaan media sosial adalah sharenting yaitu praktik berbagi informasi, foto, atau video anak-anak di platform daring. Istilah ini berasal dari gabungan kata "sharing" dan "parenting" yang mencerminkan bagaimana orangtua mendokumentasikan kehidupan anak mereka secara daring.
Kita yakin bahwa niat awal para orangtua untuk sharing foto anak-anak, keintiman orangtua dan anak semata-mata karena sebuah niat baik, seperti berbagi momen bahagia dan perkembangan anak, namun tanpa disadari sharenting ternyata juga menimbulkan berbagai permasalahan, terutama terkait dengan privasi, keamanan, dan hak anak atas data mereka sendiri.
Jika telah menjadi ancaman bagi si anak, maka menjadi kerja tambahan bagi para orangtua untuk mengatasinya, tentu akan lebih bijak jika sejak awal kita berusaha berhati-hati dengan mengantisipasi kemungkinan berbagai risiko dengan bijak.
Apa sebenarnya yang menjadi biang kekhawatiran orangtua dengan kebiasaan sharenting?.
Hal-hal yang menjadi kekhawatiran utama biasanya terkait kemungkinan ancaman privasi dan keamanan Anak, jejak digital yang sulit dihapus, hak anak atas privasi dan persetujuan, serta eksploitasi komersial.
Mengapa ini menjadi sebuah kekhawatiran baru, ini berkaitan dengan maraknya kejahatan di dunia maya. Kejahatan siber terhadap anak kini menjadi sebuah ancaman baru yang harus kita waspadai, seperti cyberbullying atau intimidasi daring, online grooming (manipulasi daring oleh predator), eksploitasi anak melalui media sosial, dan penyebaran atau produksi pornografi anak.
Bagaimana kita mewaspaspadainya? Setidaknya dengan memahami kemungkinan risiko bahayanya.
Ancaman Privasi dan Keamanan Anak
Salah satu risiko terbesar dari sharenting sebenarnya berkaitan dengan ancaman terhadap privasi dan keamanan anak. Banyak orangtua tidak menyadari bahaya ini ketika membagikan informasi seperti nama lengkap, tanggal lahir, atau lokasi anak. Tanpa disadari oleh para orangtua mereka telah membuka peluang bagi pelaku kejahatan siber untuk mengeksploitasi informasi tersebut.
Masalahnya adalah, bahwa pencurian identitas menjadi ancaman serius. Informasi yang tersebar secara daring bisa digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk membuat akun palsu, mengakses data keuangan, atau bahkan menciptakan identitas digital fiktif. Selain itu, predator daring bisa menggunakan informasi ini untuk melakukan grooming, yaitu proses manipulasi anak-anak agar menjadi target eksploitasi seksual atau penculikan.
Pernahlah kita bayangkan jika informasi anak digunakan para penjahat, misalnya menjemput anak disekolah. Ia tahu nama ibu si anak, tantenya, omnya, alamat rumah, tempat kerja orangtuanya bahkan mungkin jenis mobil dan berikut foto-fotonya. Informasi penting itu bisa mengelabui para guru di sekolahnya dan menganggap fakta itu benar sehingga hilang kewaspadaannya. Tak sedikit kasus penculikan anak dilatarbelakangi kasus ini akibat sharenting.
Jejak Digital yang Sulit Dihapus
Segala sesuatu yang diunggah ke internet berpotensi menjadi permanen, meskipun telah dihapus oleh pengunggahnya. Algoritma media sosial, tangkapan layar, dan fitur pengarsipan memungkinkan informasi tetap tersedia bahkan setelah kontennya dihapus. Dengan demikian, anak-anak mungkin tumbuh dengan jejak digital yang luas tanpa persetujuan mereka.
Masalah ini bisa berdampak negatif di masa depan, misalnya ketika anak dewasa dan ingin menjaga profesionalisme mereka di dunia kerja. Foto atau video yang dianggap lucu atau menggemaskan oleh orangtua bisa menjadi sesuatu yang memalukan bagi anak saat dewasa.
Apalagi anak-anak yang ketika remaja atau dewasa tumbuh dengan masalah secara personal atau sosial. Tidak ingin rahasia dan masa lalunya diketahui orang lain apalagi publik. Ia menjadi was-was dan kuatir jika data rahasianya diekspose atau digunakan pihak yang tidak bertanggungjawab atau menjadi "lawan" dalam pergaulan sosialnya.
Hak Anak atas PrivasiÂ
Sharenting juga bisa menimbulkan dilema etis berkaitan dengan hak anak atas privasi dan persetujuan yang menjadi haknya. Anak-anak, terutama yang masih sangat kecil, tidak punya  kapasitas atau kemampuan untuk menolak ataun memberikan izin apakah orangtuanya boleh atau tidak mengekspose data pribadi mereka.Â
Dalam beberapa kasus, anak-anak yang telah tumbuh dewasa justru merasakan ketidaknyamanan ketika mereka tahu konten masa kecilnya diunggah oleh orangtua.
Bahkan dalam pandangan pakar hukum dan hak anak, mereka menyoroti bahwa praktik sharenting bisa melanggar hak anak untuk mengontrol informasi pribadi mereka sendiri. Di beberapa negara kini semakin protektif dengan mulai mempertimbangkan regulasi yang memberikan hak kepada anak untuk menuntut penghapusan data yang telah diunggah tanpa persetujuan mereka ketika mereka masih kecil dan belum memiliki kapasitas untuk setuju atau tidak terhadap ekspose para orangtua mereka.
Eksploitasi Komersial
Banyak orangtua yang mengubah anak mereka menjadi "influencer cilik" untuk mendapatkan keuntungan finansial melalui kerja sama dengan merek tertentu. Meskipun ini bisa menjadi sumber pendapatan yang signifikan, eksploitasi anak demi keuntungan ekonomi menimbulkan dilema etis yang serius.Â
Anak-anak bisa mengalami tekanan mental dan kehilangan masa kecil yang seharusnya bebas dari tuntutan komersial. Termasuk juga dikalangan artis yang notabene kehidupannya telah menjadi bagian dari sorotan media dan para vendor produk yang memanfaatkan popularitasnya.
Menjadi Orangtua Waspada
Dengan kompleksnya realitas media sosial saat ini, orangtua semakin dituntut untuk lebih waspada terhadap tindakan yang akan dilakukannya, terutama ketika harus melibatkan anak-anaknya.
Tindakan bijak para orangtua menjadi salah satu cara mengatasi dan mengantisipasi risiko sharenting, baik yang belum atau sudah terjadi.
Memahami Risiko dan Menerapkan Batasan
Orangtua harus memahami bahwa tidak semua informasi layak untuk dibagikan secara daring. Orangtua harus memahami apa dan bagaimana membatasi risikonya dengan tidak membagikan informasi sensitif seperti nama lengkap, lokasi sekolah, atau jadwal harian anak, menghindari unggahan yang memperlihatkan anak dalam kondisi rentan, seperti sedang mandi atau menangis. Para orangtua juga harus  menggunakan pengaturan privasi ketat di media sosial agar hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat unggahannya.
Meminta Persetujuan Anak
Jika anak sudah cukup besar untuk memahami konsep media sosial, orangtua sebaiknya meminta izin sebelum mengunggah foto atau video mereka. Ini mengajarkan anak tentang batasan privasi mereka sendiri dan memberi mereka kontrol atas bagaimana mereka ingin diwakili di dunia daring.
Menunda atau Mengurangi Praktik Sharenting
Alih-alih membagikan momen anak secara daring, orangtua bisa mendokumentasikan perkembangan anak melalui metode yang lebih aman, seperti menyimpan foto dalam album pribadi atau berbagi secara terbatas dalam lingkup keluarga saja.
Mengedukasi Diri tentang Keamanan Digital
Penting bagi orangtua untuk terus memperbarui pengetahuan mereka tentang keamanan digital. Mengikuti perkembangan teknologi dan memahami bagaimana informasi bisa disalahgunakan adalah langkah preventif yang bijak.
Menggunakan Platform yang Lebih Aman
Jika tetap ingin berbagi perkembangan anak, orangtua bisa mempertimbangkan platform yang lebih aman, seperti grup keluarga tertutup atau aplikasi berbagi foto dengan enkripsi tinggi. Beberapa aplikasi menyediakan fitur berbagi yang hanya bisa diakses oleh individu yang telah diverifikasi secara pribadi.
Menerapkan Kebijakan Penghapusan Jejak Digital
Orangtua juga bisa secara berkala meninjau dan menghapus unggahan yang sekiranya tidak lagi relevan atau berpotensi membahayakan anak di masa depan. Selain itu, mengajarkan anak tentang cara melindungi privasi mereka sendiri saat mereka mulai menggunakan media sosial juga sangat penting.
Intinya adalah bahwa dibalik kegembiraan kita dengan kelucuan, tingkah polah anak-anak yang menggemaskan, para orangtua juga tidak boleh sembrono membeberkan seluruh informasi penting itu ke publik tanpa batas.Â
Tak semua orang menanggapi kegembiraan kita itu dengan cara yang positif, bahkan para predator, pedofil justru bisa menggunakan informasi tersebut untuk sekedar kesenangan atau bahkan lebih buruk menjadikannya fantasi seksual. Jika hal itu yang terjadi, siapa yang harus disalahkan?.
Sharenting telah menjadi fenomena yang semakin umum di era digital, namun harus diikuti dengan sikap bijak dan waspada dari para orangtua, agar tidak mengancam privasi dan keamanan anak.
Tanggung jawab orangtua semakin besar dalam kondisi yang makin dipenui ancaman dan bahaya dari semaraknya media sosiak. Orangtua harus semakin berhati-hati melindungi data pribadi anak dan memastikan bahwa praktik berbagi informasi di media sosial dilakukan dengan penuh kesadaran akan risikonya.Â
Dengan memahami ancaman yang ada dan menerapkan langkah-langkah preventif yang tepat, sharenting tetap masih bisa dilakukan secara lebih etis dan aman tanpa mengorbankan hak anak atas privasi dan keamanan mereka.
Dalam dunia yang semakin terhubung, kesadaran dan literasi digital menjadi kunci utama bagi orangtua dalam mengasuh anak-anak mereka di era digital dengan lebih aman.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI