Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pilkada 2024 di Ujung Tanduk, Demokrasi Kita Bukan Cuma Milik Senayan

22 Agustus 2024   23:20 Diperbarui: 23 Agustus 2024   03:22 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo mahasiswa di senayan/sumber gambar kompas.id

Menulis tentang politik memang riskan dan memusingkan. Apalagi dengan perlakuan para elit yang belakangan makin menjadi-jadi nakalnya.

Berbagai platform media sosial, sampai dipenuhi unggahan gambar Garuda biru dengan tulisan "Peringatan Darurat" bahkan banyak yang menyertakan tagar #KawalPutusanMK dan #Kawaldemokrasi. 

Dari kemarin diskusi dirumah juga ikut-ikutan ramai membahas soal tingkah polah elit di DPR yang makin aneh sehingga memancing demo. 

Bahkan di meja makan juga membahas urusan politik yang jauh dari urusan makanan, meskipun jika urusan politik dan pemerintahan memburuk bisa berpengaruh pada harga sembako yang bisa melambung tinggi. 

Kamis (22/8/2024), mahasiswa dan banyak kalangan, malah termasuk didalamnya para komika juga ikut dalam gelar  aksi demo di depan Gedung DPR RI, Jakarta, menyusul "Peringatan Darurat" tersebut. 

Bahkan BEM di kampus Aceh juga ikut riuh menyikapinya, bukan hanya yang ada di Jakarta. Aksi demo kelihatannya terus menjalar di berbagai daerah. Apaalgi jika keputusan DPR  nantinya berlawanan dengan harapan dan tuntutan publik yang sedang mengawal Pilkada agar tetap berada di jalur yang demokratis.

Pertanyaan besarnya adalah mengapa sampai muncul peringatan darurat Indonesia?. Apakah kondisi negara kita memang sudah begitu parah dan rusak demokrasinya?. Dan apa dampak serius jika putusan MK soal Pilkada diabaikan, dan mengapa DPR dan Pemerintah melawan Putusan MK terkait Pilkada?.

Meskipun riskan membicarakannya, namun ini telah menjadi  isu nasional . Ternyata gambar Garuda Pancasila bertuliskan "Peringatan Darurat" dengan latar belakang biru itu berasal dari tangkapan layar tayangan analog horor buatan EAS Indonesia Concept. 

Sebagai warga negara yang baik, ketika demokrasi kita dijadikan objek kepentingan, wajar jika kemudian kita juga ikut bersikap, bukan karena latah atau ikut-ikutan. 

Bagaimanapun DPR memang dinilai telah melakukan tindakan inkonstitusional karena mengabaikan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas syarat pencalonan kepala daerah.

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang melakukan revisi UU Pilkada dinilai merancang pembangkangan atas dua putusan MK sebelumnya. 

mahasiswa pendemo di senayan/ sumber gambar kompas.com
mahasiswa pendemo di senayan/ sumber gambar kompas.com

Pertama, mengembalikan ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah pileg sebelumnya, suatu beleid yang dengan tegas sudah diputus MK bertentangan dengan UUD 1945. 

Kedua, mengembalikan batas usia minimal calon kepala daerah terhitung sejak pelantikan. Padahal, MK kemarin menegaskan bahwa titik hitung harus diambil pada penetapan pasangan calon oleh KPU. 

Sebagai awam kita mencoba melihat lebih jernih dengan bantuan dari paparan para pakar hukum, Apakah penolakan DPR atas Putusan MK soal syarat usia maju pilkada Putusan MK bisa dibatalkan oleh  DPR?.

Oce Madril, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM),  mengungkapkan, putusan MK bersifat final dan tidak bisa dibatalkan oleh DPR. Menurutnya, putusan MK memiliki kekuatan eksekutorial, begitu dibacakan oleh hakim konstitusi.

Putusan MK juga bersifat erga omnes-- bermakna mengikat untuk semua pihak tanpa terkecuali. Oleh karena itu, DPR, KPU, Bawaslu, partai politik, dan masyarakat luas harus mematuhi isi putusan MK tersebut. 

Nah, penolakan dari DPR inilah yang menjadi pangkal masalah.  Bagaimanapun putusan MK tidak dapat dianulir dengan revisi Undang-Undang yang sebelumnya dibatalkan oleh MK. Jika putusan hendak diubah, MK seharusnya mengeluarkan putusan lagi. Dan prosesnya juga tidak sederhana.

Banyak pihak yang menyoroti peristiwa ini dikaitkan dengan banyak kepentingan politik. Tentu saja hal itu sangat mungkin, mengingat Putusan MK mengenai syarat usia dan ambang batas pencalonan kepala daerah ini berdampak pada Pilkada 2024. 

Dengan putusan MK ini, peluang untuk Anies Baswedan maju di Pilkada Jakarta 2024 kembali terbuka. PDI-P juga masih berpeluang bisa mencalonkan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tanpa berkoalisi dengan partai lain. 

Artinya dengan MK menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah dari 20 persen kursi DPRD menjadi 7,5 persen pada pemilihan legislatif. Peluang itu pencalonan dari PDIP terbuka kembali. Apalagi, PDI-P sendiri meraup 14,01 suara pada Pileg 2024. 

Namun yang lebih menarik, tentu saja karena putusan MK ini juga berdampak pada pencalonan Kaesang Pangarep bersama Ahmad Luthfi pada Pilkada Jawa Tengah 2024. 

Kaesang sendiri telah mendapat dukungan dari beberapa partai, seperti Nasdem, Gerindra, dan PKS untuk maju di Pilkada Jateng 2024. Dengan putusan MK, putra bungsu Presiden Joko Widodo itu berpeluang gagal maju Pilkada 2024. Sebab, usianya belum mencapai 30 tahun ketika penetapan paslon. 

Terlepas dari politik yang jelimet dan memusingkan, semua analisa itu sangat masuk akal, terutama karena kita banyak belajar demokrasi yang rasanya makin amburadul usai pilpres kemarin.

Bahkan jika penundaan sidang hari ini ternyata hanya untuk mengulur waktu dan meredakan para pendemo, rasanya kita merasa sangat prihatin dengan kondisi demokrasi dan pendidikan demokrasi politik kita.

Sebagai awam, saya tak punya bayangan yang realistis akan dibawa kemana ya kira-kira Indonesia kita oleh para elit, jika mereka telah begitu sesuka hati memainkan aturan dan melanggar sendiri mantra demokrasi yang sedang kita dewasakan dengan susah payah usai reformasi.

Bagaimanapun Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah, tentu saja akan semakin membuka peluang bagi partai-partai bisa mengakomodir kadernya untuk maju. 

Ini akan membangun dinamika baru agar pilkada 2024 lebih fair. Semua bisa berpeluang untuk maju tanpa sikapsaling menjegal karena takut kalah dan tak bisa membangun jaringan kekuasaan.

Intinya kita berharap, jangan gara-gara kepentingan, bahkan dalam pilkada pun "kotak kosong" ikut dilibatkan menjadi mainan politik. Memangnya tak ada calon lain?. Tentu saja ini menjadi aneh, apalagi bagi yang awam politik.

Kita tunggu esok, mungkinkah para elit masih bisa bersikap waras ditengah perhatian kita yang sedang sepenuhnya tertuju padanya, atau justru masih keras kepala mempertahankan kepentingan mereka. Ingat bahwa DPR adalah representasi alias keterwakilan kita. Bahwa negara kita sangat luas, bukan cuma selebar senayan.  Jika mereka lupa atau khilaf mungkin sudah saatnya kita mengingat. Semoga ada itikad baik dan jalan keluar dari kemelut ini .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun