Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dilema Makan Siang Gratis, Antara Manfaat dan Tantangan

22 Juli 2024   12:39 Diperbarui: 29 Juli 2024   21:22 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika benar program Makan Bergizi Gratis atau Siang Makan Siang Gratis (Maksitis) bergizi, untuk anak-anak Indonesia terus diturunkan nilainya demi mencukupkan dengan anggaran, bagaimana kita mengukur tingkat kecukuan gizi dalam takaran makanannya.Padahal harga-harga bahan pangan terus melambung saat ini?.

Apalagi menurut kabar, saat awal program ini dipromosikan sebagai program untuk mendukung kecukupan gizi anak-anak Indonesia, ditaksir per porsi Rp25.000, kini nilainya terus menurun setelah dikalkulasi dengan ketersediaan budget milik negara yang tersedia. Sehingga dari angka Rp15.000, berubah menjadi Rp9.000. 

Dan  beberapa hari belakangan ini, program maksitis ketika kembali santer dibincangkan. Menteri Airlangga menyebut anggaran maksitis dipangkas agas anggaran negara tidak defisit dan kesepakatan mengerucut pada angka Rp7.500 per porsi. 

Sebenarnya sudah sejak lama kita memperdebatkan soal ini, menjadi polemik sampai di medsos, dan publik tahu semua. Bahkan dalam beberapa uji coba, terlihat contoh menunya yang memang disesuaikan dengan takaran gizi tumbuh kembang anak. Betapa membahagiakan membayangkan anak-anak kita akan disuguhi makanan seperti itu.

Sampai-sampai ada yang membahas 4 sehat 5 sempurna, plus susu. Mengaitkan dengan swasembada beras, kemungkinan pemberdayaan peternak, pemberdayan pertanian, bahkan sampai menyoal pemberantasan stunting. Amboi, betapa indahnya program yang luar biasa ini, jika tidak mau kita menyebutkan sebagai program dahsyat.

Suasana di posyandu atasi stunting/ sumber gambar kilas pendidikan kompas.com
Suasana di posyandu atasi stunting/ sumber gambar kilas pendidikan kompas.com

Menyoal Maksitis dan Stunting

Jika benar maksitis atau makan siang gratis yang kemudian dikoreksi dengan tambahan "bergizi" memang ditujukan mula-mula untuk mengatasi problem stunting. Menjadi semacam payung sosial yang bisa membantu mengatasi sulitnya ekonomi. Paling tidak makan siang anak-anak dari keluarga tidak mampu yang masih bersekolah di tingkat dasar terpenuhi unsur gizinya.

Jika di rumah selama ini makanan dan variasinya itu-itu saja. Tahu, tempe, (itupun sepenuhnya karena pilihan harga murahnya, bukan karena kandungan gizinya), ikan asin (jika ada ikannya), sayur-sayuran.

Dalam perdebatan soal maksitis di awal yang bahkan juga menyasar ibu hamil menyusui karena jika dimaksudkan untuk mengatasi stunting, kadar kecukupan gizi juga harus bisa dinikmati pula oleh para ibu yang sedang mengandung  atau hamil agar jabang bayi yang lahir nantinya tidak kekurangan gizi atau malnutrisi.

Dengan wacana pengembangan program maksitis yang terus berubah, dari level 4 sehat lima sempurna plus susu, kini hanya menyisakan sekedar makan siang--bahkan bukan tak mungkin jika terdesak nantinya dalam pelaksanaannya akan ada menu tambahan baru "mie instans" menu dobel karbo. Nasi berlauk pangan gandum.

Meskipun ini tidak menjadi problem jika kita kaitkan dengan upaya membantu mengatasi problem ekonomi sulit, paling minimalis hasilnya bisa membantu mengisi perut anak-anak kita saat siang hari daripada (mungkin) ada yang makan hanya sekali sehari. Lain halnya jika sudah bicara unsur kecukupan gizi.

Kita tidak bisa main-main jika harus mengaitkan maksitis sebagaimana rencana awal dengan stunting. Stunting 

sebaga bantu sandungan masalah kesehatan anak, terkait pertumbuhan anak yang terhambat. Walhasil tumbuh kembang anak-anak tidak sempurna, bahkan anak tidak mencapai tinggi badan yang optimal untuk usianya akibat dari gizi buruk dan infeksi yang kronis selama masa pertumbuhan mereka, terutama dari masa kehamilan hingga usia 2 tahun. 

Begitu juga rendahnya produktivitas di kemudian hari, dan kesulitan dalam mencapai potensi kognitif maksimal. Ini poin penting yang harus dijaga keterkaitanya dengan kecukupan gizi.

Kementerian Kesehatan Indonesia saja sudah menyuguhkan data bahwa prevalensi stunting di Indonesia masih cukup tinggi. Di tahun 2021 saja, prevalensi stunting nasional mencapai sekitar 27,7% dari total anak di bawah lima tahun. Angka ini menunjukkan bahwa hampir satu dari tiga anak di Indonesia mengalami stunting.

Simulasi makan siang
Simulasi makan siang "bergizi" gratis atau maksitis/ sumber gambar banten tribunews.com

Ini belum kita kritisi prevalensi stunting di masing-masing daerah setiap provinsi di Indonesia berbeda-beda. Beberapa provinsi memiliki angka stunting yang lebih tinggi daripada yang lain, tergantung pada faktor-faktor seperti akses terhadap gizi yang baik, sanitasi, dan pelayanan kesehatan.

Apalagi penyebab stunting itu kompleks dan multifaktorial, melibatkan faktor gizi buruk, sanitasi yang buruk, infeksi yang berulang, serta asupan makanan yang tidak memadai selama masa kritis pertumbuhan anak. Jadi sebenarnya kita tak bisa main-main.

Apalagi jika alasan penurunannya dikaitkan dengan perbedaan harga porsi makan siang yang berbeda-beda. Standar gizinya yang mestinya menjadi ukuran.

Karena sejak lama kita telah berpraduga, bahwa program ini akan menemukan banyak kendala--entah teknis, apalagi sampai pada rencana pemberdayaan pertanian dan peternakan. (dengan kondisi dan situasi Indonesia yang belum matang soal urusan program yang selalu bermasalah dan penuh manipulasi). Apalagi kita selama ini masih "membeli" beras luar.

standar BSA untuk makan bergizi -isi piringku/sumber gambar kompas.com
standar BSA untuk makan bergizi -isi piringku/sumber gambar kompas.com

Pada tahun ajaran 2023/2024 ini saja, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencatat jumlah siswa tingkat sekolah dasar di Indonesia sebanyak 24,04 juta siswa.

Kemudian sebanyak 3,73 juta anak menjalani fase pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK); sebanyak 2,44 juta anak pada Kelompok Bermain; sebanyak 1,6 juta anak pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat; dan sebanyak 614.033 anak pada Pendidikan Usia Dini (Paud).

Di tingkat ini saja urusan menyediakan maksitisnya sangat kompleks, paling tidak dana yang dibutuhkan pemerintah sebesar Rp224,85 miliar per hari. Atau kurang lebih mencapai Rp1,124 triliun per pekan. Itu artinya butuh Rp58,461 triliun dalam setahun masa pemerintahan. 

Saya sempat membayangkan sekolah menjadi seperti dapur saat bencana alam, ada dapur siaga setiap hari. Asal tepat sasaran dan dikelola baik apalagi untuk menambah kecukupan gizi anak-anak ya sudahlah dijalani saja. Namun jika kadar gizinya terus disunat menjadi ala kadarnya bingung juga jadinya.

Mungkin nanti programnya akan berubah menjadi "program maksitis plus swadaya", sekolah menyediakan nasi gratis, lauknya bawa sendiri dari rumah. Bagaimana nanti kela smenengah -bawah, apa anak-anaknya harus "bersaing" agar tak malu dengan teman-temannya yang mungkin membawa lauk ayam tiap hari, sementara ia hanya berlau mie instan yang praktis dan mudah disediakan kelas sosial paling darurat?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun