Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dilema Makan Siang Gratis, Antara Manfaat dan Tantangan

22 Juli 2024   12:39 Diperbarui: 29 Juli 2024   21:22 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Simulasi makan siang "bergizi" gratis atau maksitis/ sumber gambar banten tribunews.com

Begitu juga rendahnya produktivitas di kemudian hari, dan kesulitan dalam mencapai potensi kognitif maksimal. Ini poin penting yang harus dijaga keterkaitanya dengan kecukupan gizi.

Kementerian Kesehatan Indonesia saja sudah menyuguhkan data bahwa prevalensi stunting di Indonesia masih cukup tinggi. Di tahun 2021 saja, prevalensi stunting nasional mencapai sekitar 27,7% dari total anak di bawah lima tahun. Angka ini menunjukkan bahwa hampir satu dari tiga anak di Indonesia mengalami stunting.

Simulasi makan siang
Simulasi makan siang "bergizi" gratis atau maksitis/ sumber gambar banten tribunews.com

Ini belum kita kritisi prevalensi stunting di masing-masing daerah setiap provinsi di Indonesia berbeda-beda. Beberapa provinsi memiliki angka stunting yang lebih tinggi daripada yang lain, tergantung pada faktor-faktor seperti akses terhadap gizi yang baik, sanitasi, dan pelayanan kesehatan.

Apalagi penyebab stunting itu kompleks dan multifaktorial, melibatkan faktor gizi buruk, sanitasi yang buruk, infeksi yang berulang, serta asupan makanan yang tidak memadai selama masa kritis pertumbuhan anak. Jadi sebenarnya kita tak bisa main-main.

Apalagi jika alasan penurunannya dikaitkan dengan perbedaan harga porsi makan siang yang berbeda-beda. Standar gizinya yang mestinya menjadi ukuran.

Karena sejak lama kita telah berpraduga, bahwa program ini akan menemukan banyak kendala--entah teknis, apalagi sampai pada rencana pemberdayaan pertanian dan peternakan. (dengan kondisi dan situasi Indonesia yang belum matang soal urusan program yang selalu bermasalah dan penuh manipulasi). Apalagi kita selama ini masih "membeli" beras luar.

standar BSA untuk makan bergizi -isi piringku/sumber gambar kompas.com
standar BSA untuk makan bergizi -isi piringku/sumber gambar kompas.com

Pada tahun ajaran 2023/2024 ini saja, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencatat jumlah siswa tingkat sekolah dasar di Indonesia sebanyak 24,04 juta siswa.

Kemudian sebanyak 3,73 juta anak menjalani fase pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK); sebanyak 2,44 juta anak pada Kelompok Bermain; sebanyak 1,6 juta anak pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat; dan sebanyak 614.033 anak pada Pendidikan Usia Dini (Paud).

Di tingkat ini saja urusan menyediakan maksitisnya sangat kompleks, paling tidak dana yang dibutuhkan pemerintah sebesar Rp224,85 miliar per hari. Atau kurang lebih mencapai Rp1,124 triliun per pekan. Itu artinya butuh Rp58,461 triliun dalam setahun masa pemerintahan. 

Saya sempat membayangkan sekolah menjadi seperti dapur saat bencana alam, ada dapur siaga setiap hari. Asal tepat sasaran dan dikelola baik apalagi untuk menambah kecukupan gizi anak-anak ya sudahlah dijalani saja. Namun jika kadar gizinya terus disunat menjadi ala kadarnya bingung juga jadinya.

Mungkin nanti programnya akan berubah menjadi "program maksitis plus swadaya", sekolah menyediakan nasi gratis, lauknya bawa sendiri dari rumah. Bagaimana nanti kela smenengah -bawah, apa anak-anaknya harus "bersaing" agar tak malu dengan teman-temannya yang mungkin membawa lauk ayam tiap hari, sementara ia hanya berlau mie instan yang praktis dan mudah disediakan kelas sosial paling darurat?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun