Ketika mencermati wacana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mencantumkan label warna khusus kadar kandungan gula dalam produk dalam kemasan sebenarnya sebuah langkah yang krusial dan patut diapresiasi. Namun penting untuk diingat bahwa pelabelan gula bukan solusi instan.Â
Sehingga perlu upaya komprehensif dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran, mengubah pola makan, dan menciptakan lingkungan yang mendukung gaya hidup sehat.
Apalagi konsumsi gula berlebih pada masyarakat Indonesia memang tergolong tinggi, dan hal ini bisa meningkatkan risiko berbagai penyakit kronis seperti diabetes, obesitas, dan penyakit jantung.Â
Sehingga persoalannya menjadi tidak sesederhana itu. Apalagi industri produk kemasan mungkin tidak menyambut baik aturan ini, kesehatan masyarakat harus menjadi prioritas utama. Konsumen berhak mendapatkan informasi yang akurat tentang produk yang mereka konsumsi.
Faktanya, prevalensi diabetes di Indonesia terus meningkat, dengan perkiraan mencapai 10,3 juta penderita pada tahun 2017 dan diprediksi mencapai 28,57 juta pada tahun 2045. Faktor risiko utama diabetes adalah obesitas dan gaya hidup tidak sehat, termasuk konsumsi gula berlebih. Konsumsi gula yang tinggi dapat meningkatkan resistensi insulin dan kadar gula darah, sehingga meningkatkan risiko diabetes.
Obesitas dan kegemukan juga masih menjadi masalah serius di Indonesia, dengan prevalensi mencapai 30,9% pada orang dewasa dan 10,7% pada anak-anak.Â
Lagi-lagi karena konsumsi gula berlebih, terutama dalam bentuk minuman manis, sebagai salah satu faktor utama obesitas dan kegemukan. Kelebihan kalori dari gula dapat menyebabkan penumpukan lemak tubuh, yang meningkatkan risiko berbagai penyakit kronis.
Penyakit jantung saat ini juga masih menjadi penyebab kematian nomor satu di Indonesia.Â
Konsumsi gula berlebih dapat meningkatkan kadar trigliserida dan kolesterol jahat (LDL) dalam darah, serta menurunkan kadar kolesterol baik (HDL).
Hal ini dapat meningkatkan risiko pembentukan plak di arteri, yang dapat menyebabkan serangan jantung dan stroke.
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara konsumsi gula berlebih dan peningkatan risiko kanker tertentu, seperti kanker pankreas, payudara, dan kolorektal.Â
Mekanisme yang mendasarinya masih belum sepenuhnya dipahami, namun diduga terkait dengan peradangan kronis dan stres oksidatif yang dipicu oleh konsumsi gula berlebih.
Fakta menarik lainnya adalah bahwa Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) 2018 menunjukkan bahwa konsumsi gula masyarakat Indonesia masih di atas batas aman, yaitu mencapai 57 gram per hari. Minuman manis merupakan penyumbang gula terbesar dalam pola makan masyarakat Indonesia, dengan rata-rata konsumsi 200 ml per hari.Â
Nah wacana pelabelan khusus kandungan gula setidaknya akan memberikan informasi yang jelas dan mudah dipahami kepada masyarakat tentang jumlah gula yang terkandung dalam produk minuman kemasan. Ini bisa membantu konsumen dalam membuat pilihan yang lebih sehat ketika membeli dan mengonsumsi minuman.
Namun, pelabelan kandungan gula saja tidak cukup. Penting juga untuk meningkatkan edukasi masyarakat tentang bahaya konsumsi gula berlebih dan kadar gula yang aman untuk dikonsumsi.
Berapa Kadar Konsumsi Gula yang Aman?Â
Sangat penting untuk membedakan antara gula tambahan dan gula alami seperti pada buah dan sayuran. Kandungan gula alami umumnya mengandung air, serat, dan berbagai mikronutrien. Sedangkan gula tambahan umumnya menjadi bahan utama dalam permen dan terdapat pada makanan olahan, seperti minuman ringan dan produk roti.Â
Tidak semua orang mengetahui berapa sebenarnya batas wajar konsumsi gula dalam sehari. Menurut American Heart Association (AHA), jumlah maksimum gula yang dikonsumsi dalam sehari, Â bagi pria: 150 kalori per hari (37,5 gram atau 9 sendok teh). dan bagi wanita, 100 kalori per hari (25 gram atau 6 sendok teh).
Sebagai perbandingan, satu kaleng minuman bersoda 12 ons mengandung 140 kalori dari gula, sementara Snickers ukuran biasa mengandung 120 kalori dari gula. Untuk seseorang yang makan 2.000 kalori per hari, ini sama dengan 50 gram gula, atau sekitar 12,5 sendok teh.Â
Nah, dengan membaca label makanan menjadi salah satu cara terbaik untuk memantau asupan gula tambahan. Sehingga kita bisa mengetahui kandungan jenis gulanya, seperti: gula merah, Â pemanis jagung, sirup jagung, konsentrat jus buah, sirup jagung fruktosa tinggi, madu, Â gula malt, Â gula tetes, molekul gula sirup yang diakhiri dengan "osa" Â seperti (dekstrosa, fruktosa, glukosa, laktosa, maltosa, atau sukrosa).
Biasanya kadar gula total, yang termasuk gula tambahan, sering kali dicantumkan dalam gram. Perhatikan jumlah gram gula per porsi serta jumlah total takarannya.Â
Dan seperti dilansir dari lifestyle Kompas, penting untuk menyadari masalah ini dengan serius apalagi jika kita dalam kondisi hamil! Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa makan terlalu banyak gula bisa meningkatkan risiko diabetes gestasional dan risiko asma pada bayi. Begitu juga dengan kemungkinan kesehatan lain yang buruk seperti obesitas, alergi, intelegensi dan komplikasi lainnya seperti jantung.
Dan peting juga kita mengetahui mengapa setiap makanan dan minuman dalam kemasan penting dilengkapi dengan informasi nilai gizi atau nutrition facts pada kemasan. Informasi nilai gizi merupakan label yang mencantumkan keterangan mengenai nilai atau kandungan gizi dari produk dalam kemasan tersebut.
Salah satu kompoten yang bisa dibaca dalam label informasi gizi adalah angka kecukupan gizi (AKG). Menurut Kementrian Kesehatan (Kemenkes) RI, AKG merupakan suatu nilai yang menunjukkan kebutuhan rata-rata zat gizi tertentu.
Nah yang menarik adalah mengapa gula tidak memiliki persentase AKG dalam makanan kemasan? Sebuah jawaban yang menarik yang dilansir dari health kompas, bahwa menurut Dokter dan Ahli Gizi Masyarakat, Dr. dr. Tan Shot Yen, M. Hum, hal itu bisa terjadi karena tubuh kita tidak memerlukan gula. Jadi, gula bukanlah zat gizi yang esensial. Di mana, kita masih mungkin hidup tanpa memakan gula. Gula sendiri adalah karbohidrat yang struktur kimianya paling sederhana.
Namun bukan berarti kita tak harus mewaspadai kanduangan gula dalam makanan yang kita konsumsi setiap hari, apalagi jika kandungannya adalah gula tambahan, bukan gula alami.Â
Mengapa juga perlu diberi label jika begitu? Perlunya kadar gula perlu dicantumkan di tabel informasi gizi adalah untuk menjadi panduan sehat. Sesuai saran dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa anjuran asupan gula orang dewasa sebaiknya tidak lebih dari 25 gram dalam sehari.Â
Apalagi ada beragam jenis gula alami dan pemanis buatan yang dapat kita peroleh sehari-hari seperti Sukrosa yang berasal dari tebu atau bit. Maltosa atau gula gandum. Dan pemanis buatan seperti Aspartam Steviol glikosida Natrium siklamat.
Dan yang peting juga kita ketahui ada kandungan gula yang "tersembunyi". Banyak dari kita kurang menyadari bahwa ada sumber gula tersembunyi di balik makanan atau minuman yang kita konsumsi sehari-hari.Â
Gula itu tersamarkan oleh bahan makanan lain, atau ditulis dengan nama berbeda. Karenanya kita harus mengetahui makanan apa saja yang sebenarnya mengandung gula. seperti dalam condiments atau saus. Muffin, minuman manis bersoda, minuman berenergi, dan minuman buah dalam kemasan.
Banyak juga smoothie yang dibuat dengan tambahan sirup atau pemanis buatan untuk meningkatkan rasanya. Granola, protein bars dan breakfast bars Protein bars atau Oatmeal instan atau pre-flavored Oatmeal instan, juga banyak mengandung gula tambahan yang cukup tinggi. Begitu juga dengan Yogurt karena mengandung kalori ekstra ketika yogurt dibumbui dengan selai, sirup, gula, atau topping.
Dan beberapa jenis buah yang banyak mengandung lebih banyak gula daripada yang lain. Sebagai contoh, sebuah apel besar bisa mengandung 25 gram gula, dan mangga mengandung 46 gram gula. Jadi kita harus makin hati-hati.
Memahami Pelabelan untuk Tujuan Hidup Lebih Sehat
Wacana Kemenkes untuk melabelkan kadar gula pada minuman kemasan bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, langkah ini bertujuan meningkatkan kesadaran dan mendorong konsumsi yang lebih sehat. Tapi di sisi lain, muncul pertanyaan, apakah konsumen benar-benar memahami makna label tersebut?Â
Memang benar, pelabelan gula bisa membantu konsumen dalam membuat pilihan yang lebih bijak. Namun, tanpa edukasi yang memadai, label ini bisa menjadi senjata tumpul.Â
Bayangkan jika konsumen melihat label "tinggi gula" pada minuman favoritnya. Tanpa pemahaman yang jelas tentang gula yang bermanfaat dan berbahaya abgi kesehatan, mereka mungkin hanya fokus pada rasa dan mengabaikan dampak kesehatannya.Â
Di sinilah peran edukasi menjadi kunci. Edukasi perlu dilakukan secara berkelanjutan dan komprehensif, menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Bukan hanya mencantumkan label, tapi juga menjelaskan batas konsumsi gula yang aman dan sesuai standar kesehatan.Â
Dengan edukasi yang tepat, konsumen tidak hanya memahami makna label gula, tetapi juga mampu membuat pilihan yang lebih sehat untuk diri mereka dan keluarga. Â Label gula bukan sekadar informasi, tapi pintu gerbang menuju gaya hidup yang lebih baik. Intinya bahwa label gula adalah pengingat, bukan penentu.
Dan terkait wacana Kemenkes, kita juga harus memeprtimbangkan efektivitas pelabelan jika kelak wacana ini direalisasikan. Studi menunjukkan bahwa pelabelan gizi yang jelas dan mudah dipahami bisa mempengaruhi pilihan konsumen dan mendorong konsumsi produk yang lebih sehat. Sehingga konsumen dengan tingkat literasi kesehatan yang lebih tinggi lebih mungkin terpengaruh oleh label informasi gizi.
Masyarakat juga perlu terus diedukasi tentang cara membaca dan memahami label informasi gizi, termasuk kadar gula yang aman untuk dikonsumsi. Dan pelibatan industri, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil, sangat penting dalam upaya edukasi ini. Pemerintah perlu memastikan konsistensi dan penegakan regulasi terkait pelabelan gizi.
Seperti yang selama ini telah diberlakukan seperti pada produk rokok.
Dan jika bisa berlaku secara efektif kampanye melalui pelabelan ini, maka pelabelan kandungan gula yang efektif bisa membantu menurunkan konsumsi gula dan meningkatkan kesehatan masyarakat.Â
Dan dalam jangka panjang bisa mengurangi beban penyakit kronis dan biaya kesehatan yang terbuang untuk jenis penyakit yang berkaitan dengan gula. Sehingga konsumen menjadi lebih berdaya dalam membuat pilihan yang lebih sehat.
Kemenkes juga perlu mempertimbangkan untuk memperluas pelabelan gizi ke produk makanan lain selain produk kemasan dan penting untuk memperkuat regulasi terkait iklan produk makanan dan minuman yang tidak sehat, terutama yang ditujukan kepada anak-anak.
Referensi: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H