Rasanya menjadi hal yang biasa jika di kantor seorang "bos"atau atasan memerintah anak buahnya atau karyawannya untuk bekerja ekstra dengan tiba-tiba. Tentu saja karena relasi kuasa yang berbeda, memungkinkan seorang pimpinan bisa sesuka hati mendelegasikan tugas.Â
Banyak faktor yang bisa menjadi alasannya, selain sikap otoriter juga faktor personal, sistem manajemen yang buruk, bahkan bagian dari intimidasi agar karyawan tahu bagaimana kekuasaan seorang bos.
Intinya bahwa ukuran-ukuran menyangkut personal ternyata juga menjadi pertimbangan, entah karena pekerjanya terlalu lemah, mudah diintimidasi, si bos tahu ia sangat bergantung pada perusahaan dan takut dipecat, atau karena tak bisa menolak ancaman atau rayuan si bos. Hanya sayangnya bisa merugikan dalam ruang lingkup kerja profesional dan wujud manajemen yang baik.
Kurang lebih begitulah dinamika kerja di kantor, selalu ada bentuk "pemaksaan" perintah, meskipun tidak selalu dalam bentuk tekanan yang membuat stres berat. Serba salah jadinya karena bisa menjadi toxic relationship dengan "bos" yang dalam konteks ini bisa dipahami dampaknya selain marah besar,  bisa menjadi "ancaman", mutasi, pengurangan bonus, bahkan mungkin pemecatan!.
Meski sering dikaitkan dengan hubungan asmara, tetapi sebenarnya hubungan beracun atau toxic relationship bisa ada di hampir semua konteks, dari ruang rapat atau kantor hingga hubungan percintaan.
Toxic adalah istilah untuk menggambarkan individu, hubungan, atau lingkungan yang memberikan dampak negatif kepada orang lain. Meski tidak dianggap sebagai gangguan mental, perilaku ini perlu dihilangkan atau dijauhi karena bisa memengaruhi kondisi fisik dan mental individu yang terlibat.
Dinamika Dunia Kerja Memang Tidak Mudah
Dalam dunia kerja yang dinamis, kita sering menghadapi skenario di mana beban kerja begitu  besar, deadline terus mendesak, dan atasan memberikan tuntutan tambahan. Disinilah sebenarnya tantangan kita untuk bisa bersikap, meskipun ini tidak mudah. Sikap, ketegasan dan profesionalisme bisa menjadi "senjata" kita agar kita tidak diperlakukan dengan semena-mena. Termasuk dengan memahami rentang tanggung jawab kita.
Pengalaman para pekerja di Australia misalnya, seorang pekerja dianggap profesional jika ia bekerja dalam rentang tanggungjawabnya. Dan pimpinan juga mudah dikoreksi karena sistem kerja yang telah diatur demikian. Berbeda halnya dengan di Indonesia, seorang karyawan bisa saja bekerja di bagian marketing, namun ia juga dibebani tugas tambahan bahkan untuk hal sepele seperti urusan pribadi. Dan rasa sungkan yang tidak didasarkan pada tanggungjawab pekerjaan membuat masalah seperti "pemaksaan" tugas bisa terjadi.
Sebenarnya tantangannya bukan hanya terletak pada pemenuhan tugas itu, tapi juga pada pengelolaan tugasnya, bagaimana agar tak membebani kita dan membuat relasi dengan atasan menjadi buruk.
Ketika atasan datang dengan permintaan mendesak padahal beban kerja sudah melimpah, tentu saja bisa menimbulkan rasa kewalahan. Dalam kondisi kantor yang penuh tekanan, bisa jadi sebagai pekerja, reaksinya hanya diam menerima perintah, takut dampaknya bisa buruk untuk karir, atau malah dianggap tidak kompeten dan tidak kooperatif.
Meskipun kita tahu bahwa penentuan prioritas dan komunikasi bisa menjadi jalan keluar, namun seringkali hal itu sulit disampaikan apalagi jika relasi kuasanya jomplang  dan atasannya juga garang .
Memahami Rayuan Bos Untuk Menyiapkan Solusinya
Dengan relasi kuasa yang beda jauh, seorang bos bisa melakukan apa saja terhadap anak buahnya,sekalipun risikonya akan kehilangan sumber daya yang terbaik sekalipun.