Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Mengapa Praktik Bullying Masih Sulit Kita Deteksi di Lingkungan Sekolah?

12 Juni 2024   17:27 Diperbarui: 28 Juni 2024   16:27 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilsutrsi perundungan sumber gambar kompas.com

Kekerasan bullying yang terus terjadi dan berulang menimpa anak-anak,  siswa di sekolah membuat kita tak hanya merasa prihatin namun juga harus memikirkan kembali solusi terbaik untuk bisa mengatasinya. Masalahnya karena kekerasan Bullying atau perundungan dan kejahatan yang yang sebenarnya, sering tak bisa dibedakan.

Kasus yang menimpa siswi SMK di Cimahi merupakan bagian dari puncak gunung es (iceberg theory) masalah bullying yang banyak terjadi di di lingkungan sekitar kita dan di "rumah kedua" sekolah-sekolah kita.

Dan dalam banyak kasus yang ada, bullying memang sering "tersembunyi", diantara kenakalan anak-anak, dan kekerasan verbal atau fisik yang real terjadi. 

Jika kita melihat kembali kasus di Cimahi, Bandung Barat, perundungan yang menimpa seorang siswi ternyata telah berlangsung selama 3 tahun. Pada akhirnya setelah penyelidikan intensif paska meninggalnya korban, tak sedikit teman-temannya yang ternyata tahu tentang kekerasan itu.

Mungkin pertanyaan yang timbul, Mengapa siswa lainnya tidak melapor atau mencegah?. Mengapa anak tidak mengadu kepada orang tuanya?.  Sehingga patut menjadi kecemasan kita bahwa kasus bullying sering dianggap seperti kasus kenakalan anak biasa. Begitu juga barangkali siswa lain juga berasumsi sama.

Ataukah karena Efek pengamat (bystander effect), teman-temannya beranggapan akan ada orang lain yang menolong karena mereka merasa tidak mampu atau takut?. 

Ilustrasi perundungan sumber gambarmegapolitan kompas.com
Ilustrasi perundungan sumber gambarmegapolitan kompas.com

Bystander effect adalah fenomena sosial dimana kecenderungan seseorang untuk enggan menolong orang lain dalam situasi darurat ketika terdapat banyak orang lain di sekitarnya yang diharapkan bisa membantu.

Tak banyak yang menyadari bahwa ancaman bullying yang sesungguhnya lebih menyerang psikologis si korban. Merasa kalah, sendirian, tak berdaya, terancam, tertekan, disakiti. Dalam situasi ketika korban tidak menemukan tempat untuk berbagi, akan menjadi malapetaka yang fatal.

Ilustrasi anak korban bullying yang tertekan sumber gambardetik.com
Ilustrasi anak korban bullying yang tertekan sumber gambardetik.com

Siapa yang Harus DiSalahkan?

Meskipun terjadi secara kasuistis, bullying selalu membuat kita terkejut dan cemas. Apalagi bagi yang memiliki putera-puteri yang sedang bersekolah. Jika terjadi kasus kita mendadak menjadi perhatian dan bersikap kritis terhadap putera-puteri kita. Jika intensitas kasus menurun maka kita kembali lalai. 

Dan pada saat yang sama, para pelaku bullying yang melakukan kekerasan perundungan agar tak terdeteksi, mungkin akan mengurangi intensitas kekerasannya kepada para korbannya, sebelum akhirya kembali pada perilaku semula, atau sebaliknya menjadi jera.

Sekolah juga tak sepenuhnya bisa disalahkan, meskipun kasusnya terjadi di lingkungan sekolah. Mengingat sekolah-sekolah saat ini sangat tegas soal bullying dan mengkampanyekan anti bullying sebagai salah satu program sekolah. Namun, dalam banyak kasus dimana bullying sering diperlakukan layaknya kenakalan anak-anak biasa, maka menjadi sulit mendeteksi kepastian sebuah kejahatan bullying.

Seperti anggapan, mungkin anak (korban bullyingnya) yang dianggap terlalu sensitif, atau memang perilaku teman yang nakal layaknya anak-anak, sehingga membuat kasus sering terlambat diantisipasi .

Sebagian dari kita mungkin jarang melihat dampaknya secara langsung atau mencermatinya lebih mendalam secara personal pada setiap siswa yang mengalaminya. Apalagi jika para siswa yang menjadi korban menutup mulut, begitu juga dengan para saksi yaitu teman-teman lainnya yang tahu masalahnya. Sehingga seperti kasus di Cimahi selama 3 tahun penderitaan itu ditanggungnya sendiri tanpa sepengetahuan guru dan orang tuanya di rumah.

Meskipun sekolah menjadi rumah kedua dan pihak sekolah juga bertanggungjawab atas nasib siswanya, namun dalam kasus tertentu sekolah merasa sulit membantu penyelesaian kasus atau pencarian solusinya, karena ketidakjelasan wujud kejahatannya.

Apalagi jika pihak sekolah mempertimbangkan keharusan adanya buktinya untuk memproses kasusnya, sehingga responnya tidak seperti yang diharapkan oleh si korban karena tidak ada buktinya secara langsung. Sehingga saat kasus berujung kematian, sekolah justru merasa menjadi pihak yang paling disalahkan karena tidak dapat mendeteksi, atau bertindak terlambat mengatasinya sejak awal.

Ilsutrasi bullying sumber gambar kompas.com
Ilsutrasi bullying sumber gambar kompas.com

Efek Pengamat Bisa Memicu Bahaya Bullying 

Begitu juga ketika pihak sekolah menemukan kasus atau mendapatkan laporan adanya tindak kekerasan. Sekolah kemudian bertindak menjadi penengah (mediator) antara korban dan pelaku dan kasusnya dianggap selesai. Apakah dalam setiap kasus berakhir dengan sesederhana itu?.

Ternyata dalam temuan kasus yang berujung kematian korban bullying, penyelesaian yang tanggung, "tidak tuntas" dan tidak diikuti dengan tindak lanjut berupa pengawasan yang serius, justru menjadi ancaman baru yang lebih berbahaya bagi si korban.

Selain ancaman yang lebih keras, si pelaku melakukannya secara diam-diam dan lebih terencana, bahkan jika si korban dianggap rentan, bullying verbal dilakukan lebih gencar yang akhirnya bisa meruntuhkan moral si korban lebih dalam lagi. Ini yang harus menjadi kewaspadaan dan kajian kritis kita.

Akibatnya yang sering kita saksikan adalah timbulnya korban yang terlambat kita antisipasi, seperti kasus di Cimahi tersebut dan kasus-kasus lain yang selama ini telah pernah terjadi. Dan sekali lagi kita terlambat menemukan akar masalah dan solusi kasusnya meskipun kita berada diantara pelaku dan korban bullying, seperti di sekolah.

Kini saat publik bereaksi keras atas perundungan tersebut, dan si pelaku menjadi bahan serangan, semuanya telah terlambat. Bahkan pihak orang tuanya juga merasa begitu bersalah dan tertekan dengan kasus yang menimpa putrinya tersebut karena merasa tak bisa berbuat banyak saat puterinya mengalami kekerasan bullying dari teman sekolahnya selama 3 tahun.

Apalagi menurut berita, bahwa korban (N) pernah mengungkapkan jika  ia selalu dibuat tidak nyaman oleh teman sekelasnya (AN) dengan disuruh-suruh terus. Akibatnya ia merasa tertekan. Ungkapan itu menunjukkan tekanan psikologis yang dialaminya dan berujung depresi berat akibat memendam perasaan tertekan yang berat sendirian.

Saat keluarga mulai mencurigai kondisi yang dialami N dan memutuskan membawanya berobat, sayangnya terlambat. Pada akhirnya terkuak, satu persatu teman sekelas korban mulai berani buka suara soal kekerasan yang dialami N. Bahkan mereka juga bisa menunjukkan bukti isi percakapan WhatsApp yang memperlihatkan betapa buruknya perilaku AN kepada N.

Sehingga banyak pihak yang menyayangkan mengapa hal itu tidak pernah terdeteksi oleh pihak sekolah dan orang tuanya, sehingga perundungan itu bisa berlangsung lama. Pada akhirnya hanya bukti-bukti itu yang menjadi saksi saat kekerasan yang menimpa korban.

Sehingga kita harus meningkatkan kewaspadaan kita terhadap anak-anak kita, terutama dengan membangun komunikasi yang lebih hangat. Apalagi sejak hadirnya teknologi yang makin membuat kita jarang bisa berkomunikasi dengan baik secara langsung, atau hanya dalam kesempatan yang singkat.

Bahkan kesempatan berkomunikasi dengan anak-anak kita di rumah juga semakin kurang karena hilangnya quality time di setiap rumah saat ini. Pada akhirnya kewaspadaan dikembalikan kepada masing-masing keluarga. Membangun komunikasi lebih baik dan lebih peduli dengan keberadaan anak-anak, termasuk saat di sekolah.

Begitu juga dengan dukungan lingkungan sekitar kita yang juga harus lebih peduli dan responsif ketika melihat gelagat  atau tanda telah terjadinya bullying pada anak-anak, apalagi melihat langsung kejadiannya. Apalagi kejahatan bullying nyaris sulit dibedakan dengan kenakalan biasa, sehingga tak boleh lagi kita hanya sekedar menjadi by stander  effect- efek pengamat, dan berharap orang lain yang akan bertindak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun