Sedangkan di atas tempat tidurnya, teronggok tumpukan kotak produk, sampul majalah, potongan kardus, kemasan makanan berbagai bentuk. Sementara ia sudah sejak pagi ke Car Free Day bareng teman-temannya.
Sejak kuliah selesai, kesibukan barunya memang mendesain produk dan membuat website. Dan gara-gara itu semua, belakangan ia memang tak lagi sempat menyetor baju-bajunya ke mesin cuci. Begitu juga merapikan buku-buku dan barang-barang pribadinya.
Jika kita dihadapkan pada situasi seperti itu, apakah anak bisa berpeluang "terjangkit" HD-Hoarding disorder?. Atau mempunyai gejala ke arah sana?. Ataukah itu hanya kebiasaan yang bersifat sementara dan sebuah kreatifitas?. Apakah butuh antisipasinya sejak awal?.
Hoarding disorder adalah salah satu gangguan terkait mental yang membuat orang suka mengumpulkan atau menimbun barang-barang, bahkan yang tidak berguna sekalipun. Bisa dimulai dari kesukaan atau hobi terhadap benda tertentu, atau kesukaan tertentu---seperti desain pada kasus anak saya.
Meskipun sedang menjadi kebiasaan barunya, saya tetap merasa kuatir, apalagi banyaknya pernak-pernak yang menyemak dikamarnya. Mulai dari desain korek api jadul, kotak makanan sereal, hingga berbagai bentuk jar atau botol yang memiliki branding yang biasanya didesain menarik.
Semua benda itu masuk  kekamarnya, dan rasanya kamarnya berubah menjadi gabungan antara studio dan "kontainer sampah".
"Lagi sibuk banget Ma, nggak sempat beresin barang, maaf ya Ma", begitu alasannya saat saya tanya mengapa kamarnya berubah menjadi "Kontainer Sampah".
Memangnya Bagaimana Cara Mengenali HD Sebenarnya?
Sejak awal memang kita harus mencari tahu, karena bagaimanapun meski bersifat sementara--temporary, jika merupakan kebiasaan yang kurang baik, tetap harus diantisipasi sejak awal. Apalagi jika kelak ia bekerja di luar kota, tanpa kontrol orang tua. Kamarnya bisa menjadi tempat yang tidak sehat. Bisa-bisa malah akan keluar ongkos lain untuk obat atau berobat.
Hoarding disorder adalah perilaku gemar menimbun barang karena menganggap barang itu akan berguna di kemudian hari, mengingatkan pada suatu peristiwa, atau merasa aman ketika dikelilingi benda-benda tersebut.
Apalagi barang yang berhubungan dengan desain, seperti yang sedang digandrungi anak saya. Apapun jenis kemasan yang desainnya menarik akan disimpannya. Bahkan kemasan packing snack hasil "buruan belanja"di mall, disimpannya. Memang ia sedang fokus belajar kemasan langsung dari produknya, bukan versi visualnya.
Nah,karena kebiasaan ini membuat ia menyimpan banyak benda, yang membuat kamarnya menjadi sempit karena terisi penuh dengan benda-benda yang di-koleksinya.
Hanya saja dalam kasus HD sebenarnya, yang parah, si penderita menyimpan segala macam jenis barang bersih maupun kotor termasuk yang tidak berguna karena merasa bisa digunakan suatu ketika nanti.
Bayangkan kalau mau pakai baju, dicari dari timbunan barang dan sesudah dipakai dilempar lagi ke timbunan. Begitulah terus secara berulang, jelas saja tak cuma faktor kerapian dan kebersihan yang kita kuatirkan, bahkan kesehatannya juga bisa terganggu.
Hanya saja para pengidap Hoarding disorder terkadang sulit diobati karena mereka sebenarnya tidak menyadari bahwa perilakunya salah dan bermasalah. Nah, para pengidap HD biasanya tipe orang yang berkepribadian obsesif kompulsif.
Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif ditandai dengan keasyikan berlebihan terhadap keteraturan, perfeksionisme, yang akhirnya malah bisa memperlambat dan mengganggu tugasnya yang tak selesai-selesai. Apakah ini juga jenis Fake Productivity juga?, bisa jadi!.
Apakah gejala HD muncul sendiri atau bawaan?.  Banyak penelitian menyebut bahwa  penyebab hoarding disorder belum diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko seseorang mengalami kondisi ini. Termasuk juga pembiaran sejak dari rumah.
Namun dalam kasus yang lebih parah dan tinggi intensitasnya, bisa juga disebabkan oleh gangguan mental, seperti: depresi, skizofrenia, dan gangguan obsesif kompulsif (OCD), dibesarkan dalam keluarga yang tidak mengajari cara memilah barang, keluarga pengidap hoarding disorder.
Bahkan dalam versi lain juga disebabkan oleh; Pernah ditinggalkan oleh orang yang dicintai, kesulitan ekonomi, atau pernah mengalami kehilangan harta benda.
Antisipasi Sejak Awal Meskipun Cuma Gejala
Biasalah, sebagai ibu tentu kita merasa kuatir jika anak kita tiba-tiba berubah menjadi si pemberantak barang. Kamarnya berantakan tak terurus, sekalipun itu terjadi sementara. Karena jika tak diantisipasi, bukan tidak mungkin menjadi kebiasaan yang tidak baik nantinya.
Jika anak-anak kita atau kita sendiri, mulai suka menyimpan barang dalam jumlah berlebihan, bisa jadi pertanda adanya gejala awal hoarding disorder.
Bahkan tak jarang sebagian dari kita begitu sulit ketika harus memutuskan membuang barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan. Bahkan merasa cemas ketika hendak membuang barang yang tidak diperlukan itu. Intinya sulit mengambil keputusan. Bahkan ada yang justru mencari benda di luar rumah agar bisa ditimbun.
Bahkan si penderita HD, merasa tertekan saat benda miliknya disentuh orang lain. Menyimpan barang hingga mengganggu fungsi ruangan di rumah, dan melarang orang lain membersihkan rumahnya,serta menjauhkan diri dari keluarga dan teman. Termasuk memelihara binatang!. Wah, bukankah ini gejala mental yang aneh ya.
Dan dengan begitu banyak perilaku buruknya, si penderita hoarding disorder juga sering tidak mengurusnya dengan benar!. Jadi, misalnya memelihara kucing banyak, bukan karena penyayang binatang, tapi karena ingin memelihara saja!.
Bagaimana Cara Orang Tua Mengatasinya?
Sebenarnya tak mesti harus ke dokter jika masih berupa gejala atau berbentuk perilaku buruk keseharian di rumah. Orang tua atau anggota kelurga lain harus sigap bertindak, sebagai antisipasinya, minimal memberinya nasehat atau memberi contoh dengan kebiasaan yang baik. Karena pada dasarnya memang si penderita tak menyadari masalahnya.
Apakah memang harus turun tangan dokter atasi HD, padahal bukan jenis penyakit medis?, Ternyata  dokter menggunakan kriteria Diagnostic and Statictical Manual of Mental Disorders (DSM-5) untuk mendiagnosis hoarding disorder.
Terutama karena selain sulit membuang benda yang sudah tidak terpakai, ingin selalu menyimpan atau menimbun banyak benda, kamar atau tempat tinggalnya juga dipenuhi dengan benda yang rentan bahaya dan ancaman kesehatan.
Dan tak kalah penting adalah dampaknya secara sosial, dan personal terkait pekerjaan yang bisa terabaikan. Sehingga butuh terapi perilaku kognitif, dan obat-obatan untuk mengatasi depresi dan gangguan kecemasan. Obat-obatan yang biasanya diresepkan adalah jenis antidepresan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI).
Dengan kompleksnya masalah HD jika telah menjadi serius, sehingga para orang tua perlu lebih jeli memahami solusinya agar tak salah kaprah, dan memudahkan menemukan solusinya.
Penting lebih paham apa itu HD agar tak salah mendiagnosa
Orang tua perlu lebih sabar dan tidak buru-buru mengambil tindakan. Siapa tahu hanya sebuah kebiasaan sementara yang bisa "sembuh"dengan sendirinya. Orang tua mungkin sekedar mengawasi dan memberi teguran.
Pendekatan persuasif, sebagai pendengar yang baik
Daripada melakukan tindakan yang menyudutkan, pendekatan persuasif yang simpatik dan berempati  dengan menjadi pendengar yang baik untuk anak-anak bisa membuat mereka lebih terbuka dengan alasan-alasan logisnya, dan tidak menjadi pemberontak.
Respon itulah yang bisa menjadi alat diagnosa para orang tua nantinya.
Merapikan "sampah" justru bisa memicu HD-nya
Ketika para orang tua membantu membersihkan dan membuang barang-barang yang dijadikan sampah oleh anak-anak, justru tidak memotivasi mereka untuk membuang atau menyortir barang-barang yang menumpuk.Â
Dengan kata lain solusi itu bisa semakin memanjakan. Akan lebih baik melibatkan dalam proses membersihkannya secara bersama-sama.
Meskipun kekuatiran kita tentang HD bisa saja berlebihan, namun kebiasaan buruk bisa menjadi-jadi jika kita abaikan. Alah bisa karena biasa, begitulah kata orang bijak. Maksudnya, karena awalnya cuma aktifitas yang dianggap biasa tanpa teguran dan aturan, bisa menjadi kebiasaan. Semakin cepat di-diagnosa jika ditemukan gejalanya yang buruk, akan memperjelas masalah dan solusi penanganannya---HD atau hanya perilaku buruk sementara saja!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H