Masih ingat dengan kisah dongeng Folklor Tangkuban Perahu? Begitu Sangkuriang menyanggupi permintaan Dayang Sumbi untuk membuat danau dan perahu dalam satu malam, ia mengerahkan semua mahluk gaib untuk membantunya. Dan dalam sekejap, semuanya bisa diselesaikan. Meskipun akhirnya tetap gagal karena kecerdikan Dayang Sumbi.Â
Nah, bisa mengerjakan pekerjaan yang luar biasa banyak hanya sekejap, jelas itu mustahil, dan hanya bisa terjadi dalam kisah dongeng seperti Dongeng Tangkuban Perahu (karya Bujangga Manik--abad 15, dalam bahasa Sunda kuni yang versi aslinya masih tersimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris).
Bagaimana dengan kita yang punya begitu banyak tugas, merasa sudah mencicilnya setiap hari sampai harus begadang dan lupa makan, bahkan hingga sakit tipes, tapi hasilnya ternyata tak optimal?
Lagi-lagi,ternyata tak sedikit orang terjebak fake productivity alias produktivitas palsu, tapi tak menyadari jika sudah merasa super sibuk tapi hasilnya tetap begitu-begitu saja.
Saya bahkan kadang-kadang berpikir, barangkali dalam kehidupan kita yang kompleks pun sebenarnya kita juga pernah, atau sedang melakukan tindakan fake productivity.Â
Sehingga kesuksesan kita berjalan lambat, atau kita selalu merasa telah bekerja keras namun rezekinya tak pernah bisa terkumpul sesuai harapan. Tentunya setelah kita berikhtiar dan berdoa sebagai intinya.
Apanya yang salah? Apakah hanya orang tertentu yang tidak terjebak produktivitas palsu? Apakah orang perfeksionis termasuk jenis orang yang gampang terjebak produktivitas palsu, karena ia lebih memilih mengurus detail pekerjaannya, daripada substansi hasilnya? Dan apakah kita telah salah merencanakan hidup kita?
Banyak yang Tak Menyadari Produktivitas Palsu
Bahwa ada sebagian dari kita mengalami produktivitas palsu, sebenarnya bukan tak bisa mengatasi, tapi lebih karena ia tak menyadari kesalahan apa yang telah dilakukan, bahkan tak mengetahui dimana titik kesalahannya.
Bayangkan, kita bekerja sejak pagi hari hingga petang, dengan rutinitas yang sama. Atau, kita merasa telah bekerja dengan luar biasa, namun hasilnya seperti "menguap" entah kemana.Â
Seperti kata para pakar kita mungkin harus "memanajemeni diri kita sendiri". Mengatur pola hidup yang lebih baik, dalam semua hal, termasuk modalitas tenaga, waktu dan materi (uang).
Menata ulang produktivitas dengan berusaha fokus pada rencana hidup
Sebenarnya membedakan produktivitas palsu dari produktivitas yang riil, tidaklah sulit, namun membutuhkan peninjauan ulang untuk memastikan bahwa kerja-kerja (termasuk untuk menghidupi keluarga kita) yang sedang kita lakukan telah sesuai rencana.
Artinya bahwa banyak orang yang bekerja tanpa perencanaan, atau sudah memiliki rencana namun tidak fokus pada substansi hasilnya, sehingga justru mengerjakan pekerjaan lain yang melenceng dari tujuan semula, atau masih dalam satu tujuan, namun memutar terlalu jauh.
Saya teringat dengan sebuah ide brilian tentang "amplop tabungan". Jika kita fokus menabung secara teratur kedalam 100 amplop, berdasarkan angka urutan dari 1-100, maka setidaknya akan terkumpul uang kurang lebih Rp 5 jutaan. Apa yang menarik dari ide itu adalah, bagaimana mengatur kedisiplinan, keteraturan dan fokus pada sebuah tujuan.
Nah, begitu juga dalam kehidupan kita, semestinya dan sejatinya memang harus menata ulang prioritas pekerjaan atau tugas kita, dan juga harus fokus pada rencana. Seperti saat kita membuat resolusi di awal tahun sebagai rencana pemandu agar tujuan dalam setahun bisa tercapai melalui tahapan-tahapan.
Melakukan breakdown rencana besar agar lebih realistis
Belajar dari pengalaman membuat resolusi, sebenarnya sebuah "rencana besar" harus di breakdown kedalam rencana-rencana detail yang lebih kecil untuk kebutuhan bulanan atau mingguan, bahkan harian agar terlihat realistis untuk dijalankan setiap tahapannya, tanpa merasa terbebani dengan tujuan akhir yang berat.
Bayangkan, kita harus membersihkan seluruh bagian rumah saat lebaran, waktunya terbatas. Jika membayangkan akan memulai darimana, bisa-bisa tak akan selesai karena kita merasa pekerjaannya terlalu banyak.Â
Tapi jika sasarannya agar rumah bersih saat lebaran, dengan membuat rencana kerja bertahap, dan fokus ruang per ruang, meskipun satu ruangan akan memakan waktu lebih lama, namun hasilnya akan terlihat langsung.Â
Dan mungkin di ruang lain, tingkat pekerjaannya tak sebanyak ruang yang sudah kita selesaikan. Sehingga kita merasa ada pekerjaan yang telah selesai.Â
Begitu juga saat mencapai target membangun rumah, dengan segala keterbatasan. Mungkin dengan ide sederhana "amplop tabungan" bisa menjadi solusi memulai sebuah gagasan besar sebuah keluarga--intinya dengan kedisiplinan dan fokus, disertai kerja keras.
Memahami 3 komponen '"produktivitas sebagai pengukur capaian
Menurut Mohammed Faris, penulis buku "Muslim Produktif", produktivitas terdiri dari tiga unsur yaitu fokus, energi, dan waktu. Kehilangan salah satu unsur membuat suatu pekerjaan tidak bertujuan, malah timbul lelah dan terbebani saat menyelesaikan tugasnya.
Ternyata produktivitas bukan hanya berarti super sibuk, tanpa ada tujuan yang dicapai dan hanya membuang waktu dan kesempatan. Produktivitas menurut Faris juga bukan tujuan, melainkan proses. Nah, barangkali kita melupakan hal ini, dan menganggapnya hal yang lumrah dan biasa saja.
Artinya seseorang yang benar-benar produktif, menyadari kapan ia harus bekerja keras, bersenang-senang, serius, atau rileks. Produktivitas juga tidak bisa dilakukan secara terus menerus, karena manusia bukan robot atau manusia seperti Sangkuring.
Apa saran terbaik dari Faris?. Pertama, pilih satu kebiasaan yang akan diubah dalam waktu 1 bulan. Kedua, lakukan pengecekan putaran kebiasaan, yaitu pemicu, rutinitas, dan imbalan. Ketiga, ganti kebiasaan lama dengan kebiasaan baru dengan yang lebih baik dan produktif.
Memahami sebuah pekerjaan kecil tak berarti membuang waktu dan tidak produktifÂ
Terkait dengan ide "amplop tabungan", meski dimulai dimulai dari Rp.1 dan diakhiri dengan Rp.100 ribu, ternyata hasilnya luar biasa hingga Rp.5 jutaan.Â
Siapa sangka kerja yang terlihat sederhana namun fokus dan berdisiplin tinggi bisa mencapai hasil optimal. Bagaimana jika bisa dilakukan setiap bulan, dan di kali 12 kali dalam setahunnya. Bukankah bisa menjadi DP untuk membangun rumah tumbuh, misalnya?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2HDengan melakukan beberapa langkah tersebut, kita tak hanya harus "bekerja keras", namun juga harus "bekerja cerdas", sehingga jelas mana yang menjadi prioritas kita saat ini, kerja menghasilkan atau kerja berdampak? karena memang kita bukan robot dan juga bukan si Sangkuriang! Dan menyadarinya sekarang lebih baik daripada terlambat sama sekali.