"Saya mau belajar masak soto seenak ini", tiba-tiba mertua saya berkomentar seusai kami makan malam bersama . Gara-garanya ibuku "pamer" kalau saya yang menyiapkan hidangan soto spesialnya. Karuan saja saya panik dan kikuk, karena sebenarnya saya juga cuma chef pembelajar dari ibu saya.
Meski bisa masak, tapi kalau urusannya menyangkut mertua ternyata tak biasa juga. Ternyata begitulah ya, relasi menantu-mertua meskipun akrab, tetap saja ada rasa sungkannya. Serba salah, takut salah, takut di komen jelek.
Apalagi mertua saya yang awalnya tak suka masak, sejak kenal ibu-ibu di komplek dan di ajak jadi tim masak untuk acara nikahan, akhirnya jadi hobi masak.Â
Kebetulan di tempat saya kalau ada nikahan, para ibu lebih senang masak bareng daripada cateringan. Tradisi di kampung yang sebenarnya sangat arif karena membangun persaudaraan dan keakraban antar warga. Sayangnya sekarang sudah kurang.
Bagi saya kuliner dan dapur ternyata menjadi "icebreaker"kebuntuan saya untuk bisa mengambil hati mertua. Meskipun sudah mengenalnya lama, ternyata kikuk juga saat harus berinteraksi berdua.
Sebenarnya wajar jika hubungan mertua-menantu kikuk dan tak biasa, apalagi saat masih awal mula sekali. Meskipun ada sebagian yang sudah mengenal baik sebelum "jadian" tapi tetap saja ada tembok pembatas. Ternyata berkomunikasi tidak mudah dan "butuh alat bantu". Termasuk dari masakan, meskipun itu hanya salah satunya.
Buktinya, meskipun suka masak, tetap saja saya merasa kurang percaya diri dihadapan mertua yang baik hati sekalipun. Kuatir masakannya tidak sempurna, apalagi kebiasaan saya saat masak selalu memakai takaran rasa.Â
Sejumput garam, air secukupnya, santan secukupnya mengikuti rasa dan hati karena sudah terbiasa. Kalau pakai takaran pun saya harus lihat merek bumbunya--beda bumbu kadang-kadang beda rasa--sehingga harus dicicip dulu.
Menurut saya, dapur bisa menjadi "ice breaker", media yang bisa membantu berkomunikasi untuk memecah kebuntuan kikuknya hubungan mertua-menantu, apalagi yang baru berinteraksi intens sejak resmi menjadi menantu.Â
Meskipun mungkin mertua tidak suka masak, paling tidak ia mungkin suka makan. Jadi jika kita punya kebisaan masak, apalagi hobi akan sangat membantu nantinya.
Apalagi sekarang, dengan banyaknya pilihan resep di banyak kanal internet bisa menjadi alasan untuk bisa berinteraksi. Jika dulu mungkin hanya bagian dari "modus", kini menjadi bagian dari memperkuat ikatan kekeluargaan dan keakraban.
Tapi bagi sahabat lain yang punya hobi berbeda, seperti penyuka buku, mungkin akan jauh lebih mudah bisa berinteraksi. Bisa diskusi soal buku, atau sekedar memberitahu ada buku keren keluaran terbaru. Atau sesekali ikutan jalan-jalan ke toko buku, dan mencari tahu apa kesukaannya. Jadi deh, acara "quality time" bareng mertua. Intinya, banyak jalan menuju roma.
Komunikasi untuk membangun kekompakan mertua-menantu agar harmonis
Membangun relasi mertua-menantu sejatinya gampang-gampang susah, karena tergantung bagaimana kita berkomunikasi, meskipun mungkin sulit memulainya--serba canggung.
Jika sejak awal sudah saling kenal, mungkin membangun relasinya akan lebih mudah, apalagi jika hubungannya memang sudah baik. Tapi setidaknya yang pernah saya peroleh dari pengalaman sendiri dan nasehat dari para orang tua, membangun hubungan memerlukan pendekatan yang persuasif dan komunikasi yang baik.
Berusaha lebih saling kenal baikÂ
Bagaimanapun ini bisa menjadi kunci penting, seperti yang saya lakukan dengan pendekatan kesukaan memasaknya. Bahkan jika tinggal berjauhan pun, kita bisa mengirimi makanan kesukaannya apalagi masakan buatan kita sendiri.Â
Menghormatinya itu pastiÂ
Sikap sopan baik perilaku maupun tutur kata, seperti nasehat para orang tua kita, memang menjadi"alat" yang paling tepat untuk membangun tumbuhnya harmonisasi antara menantu dan mertua. Baik sebagai orangtua pasangan, orang yang kita tuakan. Sekalipun mertua kita sangat akrab dan menganggap kita sebagai anaknya sendiri sekalipun, sikap hormat harus tetap dijaga dan dirawat.
Jangan sungkan untuk memujinya dengan tulus
Bukan modus, tapi memberi pujian tulus mestinya memang harus kita lakukan. Bahkan untuk hal-hal sederhana yang bisa memberikan nilai baik kepada kita. Kebetulan mertua saya juga suka berkebun, ada kalanya beliau memberi hadiah bibit tanaman tertentu yang sebenarnya tidak spesial.Â
Namun pemberian sederhana itu menjadi sebuah hadiah spesial, karena ada nilai perhatian dan kasih sayang di dalamnya. Sehingga wajar jika saya sebagai menantu memberinya pujian tulus atas kebaikan hatinya.
Berkomunikasi yang baik itu kuncinya
Banyak orang menganggap bahwa "bahasa tubuh" atau sekedar rasa bisa menjadi penyampai pesan. Padahal komunikasi adalah bentuk interaksi yang penting, karena melibatkan kontak dan hubungan kedua belah pihak yang penting menjadi cara membangun hubungan yang baik secara personal maupun kekeluargaan.
Dahulu, saat dikantor masih menggunakan faksimili, setiap kali mengirim pesan, harus selalu disertai cek dan ricek, serta komunikasi untuk memastikan semuanya berjalan baik. Dengan cara itu, pihak kantor yang dikirimi pesan merasa bahwa kita memiliki perhatian pada apa yang menjadi isi pesan atau komitmen yang sedang dibangun.
Always positive thinking
Tak selamanya hubungan antar menantu-mertua berjalan mulus, kerikil dan ganjalan selalu ada. Entah karena kita sendiri atau karena orang lain yang bisa menimbulkan kesalahpahaman.
Saat kita selalu berusaha untuk berpikiran positif paling tidak bisa membuat suasana hati kita tak dipenhi prasangka. Apalagi keluhan soal hubungan menantu-mertua, apalagi kalau bukan soal kritik atau nasihat yang tidak diminta dari ibu mertuanya. Sesuatu yang paling sering bisa bikin "perang dingin".
Semoga dengan komunikasi yang baik--semuanya akan baik-baik saja ;),
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H