Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ternyata Kita Lebih Suka "Menonton" daripada Membaca

26 April 2024   02:49 Diperbarui: 30 April 2024   02:11 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak menonton, bukan membaca. Sumber gambar: Shutterstock via KOMPAS.com

Kebiasaan membaca makin lama makin berkurang. Terutama membaca buku dalam bentuknya yang riel, bukan buku elektronik, apalagi berita di platform yang banyak tersedia di internet.

Mungkin karena kita semakin intens "membaca buku" tapi online!, sehingga kebiasaan membaca buku dalam wujud sebenarnya, makin ditinggalkan orang. Inilah tantangan yang kita hadapi-membangkitkan lagi minat baca. 

Dan di Hari Buku Sedunia, yang mungkin banyak dari kita tak familiar dan tidak mengingatnya, kita mencoba melakukan instrospeksi-kontemplasi, bagaimana mendorong insiatif agar membaca menjadi bagian dari budaya cerdas kita.

Hari Buku Sedunia, dikenal pula dengan Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia dan Hari Buku Internasional, merupakan hari perayaan tahunan yang jatuh pada tanggal 23 April yang diadakan oleh UNESCO untuk mempromosikan peran membaca, penerbitan, dan hak cipta.

Saat berkunjung ke toko buku 10 tahun lalu, toko-toko buku dan kitab di lantai dua Pasar Aceh di kotaku, masih ramai dikunjungi orang. Saya bahkan masih rutin mengunjunginya demi mendapatkan buku-buku yang menarik.

Ilustrasi membacakan buku untuk anak sumber gambar lifestyle kompas
Ilustrasi membacakan buku untuk anak sumber gambar lifestyle kompas

Sebuah buku Atjeh, karya H.C. Zentgraaff seharga Rp.12.500,- saya dapatkan di toko itu. Awalnya saya kira buku stensilan, karena tumpukan buku itu teronggok di lantai tanpa alas, dan ternyata buku asli cetakan yang diterbitkan pertama kali tahun 1938 dengan judul "ATJEH, Geschreven door een oud Atjehman". Kini toko-toko itu sebagian besar telah tutup.

Bahkan dalam sebuah pameran, saat ditawarkan setumpuk buku sejarah tua tentang Aceh seharga Rp.80 juta, dalam hitungan menit, saat terlihat oleh seorang asing yang sedang berkunjung di pameran tersebut, langsung diborongnya. Salah satunya buku langka, The Atjeh Oorlog versi asli yang konon katanya dicetak sangat terbatas.

Buku dalam bentuknya yang asli-hardcopy memang punya citarasa yang berbeda, itulah mengapa toko buku masih bertahan diantara gempuran buku online yang begitu masif. 

Direktur di tempat suami saya bekerja, "membaca" buku favoritnya, sambil bersepeda puluhan kilometer untuk menghabiskan sebuah buku dan diakhiri di sebuah kafe sambil menikmati sarapan pagi tanpa sekalipun menyentuh "bukunya".

Saat saya sampaikan ada sebuah bacaan baru, dengan antusias ia langsung cari di situs online, tapi saat tak ditemukannya, ia beranjak ke toko buku Gramedia, untuk mendapatkan versi cetaknya-langsung. 

Sayangnya segi kepraktisan yang ditawarkan buku online menjadi godaan yang luar biasa, terutama bagi "pembaca" yang tak mau direpotkan olah bentuk buku fisik. Bayangkan saja, seorang pecinta "buku" bisa membaca ribuan buku dalam gengaman. 

Begitupun buku dalam bentuk fisik-hardcopy tetap memiliki nuansa tersendiri--semacam romantisme yang sulit di gantikan.

anak membaca di pustaka sekolah sumber gambar republika news.com
anak membaca di pustaka sekolah sumber gambar republika news.com

Membaca, Bukan "menonton"

Faktanya, minat baca masyarakat Indonesia terbilang masih rendah. Survei UNESCO (2011), mencatat indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang rajin membaca.

Riset berbeda bertajuk World's Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). 

Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Syarat UNESCO untuk meningkatkan literasi, 1 orang Indonesia minimal membaca 3 buku setiap tahun apalagi rasio buku di Indonesia adalah 0,09 atau 1 buku untuk 90 orang

Jika diasumsikan 100 juta penduduk usia produktif membaca 3 buku, itu artinya dibutuhkan 300 juta buah. Namun realitasnya, sekarang Indonesia baru bisa mencetak 40 juta buku dalam setahun.

Sebaliknya orang Indonesia dinilai "rajin membacanya, namun Lanjutnya, menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001 persen, artinya dari 1.000 orang Indonesia, cuma satu orang yang rajin membaca. Indonesia urutan ke-60 dari 61 negara soal minat baca.

Ternyata, orang Indonesia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menonton dari pada membaca. Rata-rata orang Indonesia menghabiskan 8 jam bahkan lebih untuk berselancar di platform media sosial. Rendahnya minat baca memang bukan soal sepele dan tak bisa dibentuk dengan cepat.

Terutama karena pengaruh lingkungan, pembiasaan para orang tua atau pihak sekolah agar anak gemar membaca sejak dini masih belum menjadi prioritas dan belum dianggap penting.

Perkembangan teknologi yang pesat menciptakan disrupsi-perubahan yang cepat menyebabkan lahirnya generasi serba instan yang sering terganggu berupa clip thinking--sulit fokus dan menangkap esensi dari sebuah sumber informasi karena begitu banyaknya informasi yang tersedia dalam waktu yang cepat.

Disamping faktor ketersediaan buku yang kurang menarik, sehingga kesadaran membaca menjadi sangat minim.

Dari Sekolah dan Rumah Semuanya Harus Dimulai Lagi

Mendorong anak atau siswa untuk mencintai buku dan gemar membaca memang menjadi tantangan, terutama di tengah arus informasi yang cepat dan dominasi media sosial. Namun, ada beberapa aktifitas yang bisa kita diterapkan untuk meningkatkan minat baca mereka. 

Di rumah ketersediaan buku dan kebiasaan mengunjungi toko buku bisa menjadi alternatif pilihan saat jalan-jalan bersama keluarga di akhir pekan sebagai selingan. Dan keluarga mengalokasikan dana untuk membeli buku juga patut menjadi pertimbangan, sekalipun jumlahnya terbatas.

Dan menjadikan koleksi buku sebagai bagian dari pustaka rumah atau pustaka keluarga, agar anak dan anggota keluarga terbiasa memiliki akses terhadap buku di lingkungan rumah.

Apalagi jika orang tua berkesempatan membacakan buku untuk anak, saat quality time bersama, bisa membuat anak semakin mengenal dan semakin bisa mencintai buku.

Di sekolah saya saat ini ada beberapa alternatif yang coba kami gagas, meskipun bukan ide baru, namun masih relevan dan memiliki daya tarik. Apalagi selama masa belajar di sekolah tidak diperkenankan memakai gadget, sehingga peluang untuk mendorong siswa untuk memanfaatkan waktu untuk membaca buku menjadi terbuka.

Sekolah bersama siswa menginisiasi pojok baca yang dipertandingkan tampilan desainnya dan koleksi buku yang di up date setiap bulannya. Koleksi bisa berasal dari pinjaman wali kelas atau siswa sendiri. Atau sumbangan dari para alumni yang diorganisir siswa melalui para alumninya.

Begitu juga dengan gubuk pustaka, di beberapa titik di halaman sekolah yang tersedia gubuk juga dilengkapi dengan beberapa koleksi buku yang ringan sebagai bacaan alternatif saat jam istirahat.

Ini adalah langkah yang mencoba ditempuh sekolah untuk membuat lingkungan membaca yang lebih menyenangkan. Termasuk dengan menambah kenyamanan ruang baca yang diisi dengan berbagai jenis buku yang menarik, kursi yang nyaman, dan dekorasi yang menginspirasi.

Penting juga bagi pihak sekolah untuk menyediakan akses yang mudah dan luas ke berbagai jenis buku yang sesuai dengan minat dan tingkat baca anak atau siswa. 

Ini bisa dilakukan melalui perpustakaan sekolah yang terkelola dengan baik atau kerjasama dengan toko buku lokal atau memanfaatkan jaringan alumni yang jika dikelola dengan baik akan menjadi dukungan yang baik mendorong terbangunnya kebiasaan membaca di sekolah.

Sekolah juga bisa mengadakan kegiatan sesi membaca bersama di kelas atau di komunitas dengan cara yang menyenangkan untuk memperkenalkan buku baru dan membangun kebiasaan membaca secara kolektif.

Sekolah juga pernah menghadirkan pengarang atau pembaca tamu untuk berbicara tentang buku-buku mereka atau membacakan cerita dapat memberikan pengalaman yang menginspirasi dan memperluas wawasan anak atau siswa tentang dunia literasi.

Berkebetulan tetangga di satu kompleks merupakan seorang penulis dan editor sebuah penerbit besar di Bandung, yang secara sukarela bersedia diundang untuk membaca atau bercerita tentang buku karyanya dan proses membuatnya.

Sekolah meski dalam skala waktu yang terbatas beberapa kali membuat Program Reward untuk Membaca, program insentif atau reward untuk pencapaian membaca tertentu dapat menjadi dorongan tambahan bagi anak atau siswa untuk membaca lebih banyak.

Termasuk juga memberikan tantangan membuat resensi buku yang dilombakan di tingkat sekolah, sekali lagi hadiahnya juga kami peroleh dari para sponsor para alumni yang telah sukses.

Ditingkat sekolah yang dikaitkan dengan pembelajaran, para guru bisa menggunakan buku sebagai alat pembelajaran lintas mata pelajaran. Mengintegrasikan buku-buku ke dalam kurikulum atau kegiatan pembelajaran lintas mata pelajaran dapat membantu meningkatkan minat baca sambil memperluas pemahaman mereka tentang berbagai topik.

Dan sesekali saya menggunakan Laboratorium Komputer agar siswa bisa memanfaatkan media sosial untuk promosi literasi, berbagi ulasan buku atau rekomendasi sebagai cara yang efektif untuk menginspirasi orang lain untuk membaca.

Meskipun belum begitu banyak tersedia, namun saat ini ada beberapa komunitas buku di Aceh yang menyediakan ruang baca di akhir pekan--mibara (minggu baca rame-rame).

Formatnya bisa bervariasi, salah satunya para peserta menceritakan buku yang telah dibacanya kepada kelompok komunitas secara bergantian. Dengan cara ini, membaca tidak lagi menjadi aktifitas yang membosankan.

Dengan berbagai tawaran tersebut menjadi cara para orang tua atau guru dan pihak sekolah mendorong anak atau siswa agar semakin membiasakan diri menjadikan aktifitas membaca sebagai sebuah alternatif kegiatan. 

Meskipun tidak mudah dan membutuhkan proses, namun upaya yang tidak pernah berhenti harus terus didorong menjadi sebuah pembiasaan agar nantinya bisa menjadi sebuah budaya. Internalisasi kecintaan membaca harus dibentuk melalui proses yang intens dari rumah dan dari sekolah. Semoga ini bisa membantu mereka menjadi gemar membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun