Seperti biasa sepekan sebelum lebaran, ada saja kerjaan dirumah yang harus dituntaskan. Dari beberes rumah, belanja keperluan lebaran, hingga persiapan kue dan masakan spesial lebaran.
Akhirnya tarawih kita "berpindah" ke Mall atau ke rumah, tak lagi ke masjid meskipun bagi perempuan berjamaah di rumah lebih afdal, namun kala ramadan yang spesial tetap menjadi kebutuhan bisa berjamaah di masjid, shalat tarawih dan witir beramai-ramai.
Meskipun begitu, tetap saya usahakan saat itu bisa bertarawih di sepuluh malam terakhir, apalagi sekolah sudah mulai libur.
Ada pertanyaan menarik saat tausiah tarawih, Apa parameter yang bisa dijadikan ukuran, bahwa puasa kita dianggap berkualitas dan berhasil?.
Mengapa?, karena ada sebagian dari kita saat melaksanakan puasa juga melakukan banyak pantangan yang mengurangi pahala atau bahkan membatalkan puasa. Sehingga kita hanya menahan haus dan lapar tapi tak mendapat esensi dari pahala puasa.
Secara bahasa, puasa itu sendiri berarti menahan. Secara istilah, merupakan ibadah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, dengan menahan makan, minum, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan hawa nafsu, dari mulai terbitnya fajar sadiq hingga terbenamnya matahari di ufuk barat.
Apa esensi dari menahan tersebut? . Menurut Toni Ervianto, dari pascasarjana Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia, ibadah puasa merupakan perpaduan alat ukur yang sempurna untuk mengetahui seberapa besar "intellectual quotion, emotional quotion dan spiritual quotion" setiap orang agar seimbang kehidupan personal dan sosialnya dalam perkembangan yang cepat.
Lantas bagaimana kita bisa mengukur atau mengetahui apakah puasa yang kita jalankan selama sebulan penuh dianggap berhasil dan berkualitas mengantar kita sebagai seorang Muttaqin-orang yang bertaqwa atau insan kamil-manusia yang paripurna?. Bukankah puasa itu "rahasia" antara Tuhan dan kita?.
Menurut penceramah yang juga seorang pemimpin dayah yang selalu mendorong menjadi jamaahnya menjadi Muslim produktif, dengan mengetahui 7 parameter kita bisa memperoleh gambaran yang kompehensif, apakah puasa kita "bermutu" atau hanya sekedar menahan lapar dan dahaga saja.
Pertama;Â Apakah kita menjadi lebih sehat dengan berpuasa. Maksudnya, puasa yang baik adalah yang bisa mengubah pola makan seseorang menjadi lebih sehat dan teratur.
Ketika  orang menjadi lebih taqwa karena berpuasa akan berpengaruh pada kesehatannya. Karena orang yang bertaqwa sejatinya orang yang bisa mengendalikan dirinya, termasuk gaya hidupnya menjadi lebih sehat.
Jadi ada dua hal yang membuat orang berpuasa menjadi sehat. Pertama,sehat karena selamapuasa mendukung proses tubuh bekerja sesuai prosedur. Sehingga terjadi proses penyehatan tubuh, mulai dari peluruhan racun di dalam tubuh (detoksifikasi), peremajaan sel-sel (rejuvenasi) dan penyeimbangan kembali sistem kesehatan (stabilisasi).
Berikutnya yang kedua, dengan tetap menjaga ritme pola hidup sehat seperti saat ramadan, menjaga keseimbangan dan kestabilan kesehatan kita, melalui pembiasaan atau internalisasi pola hidup sehat seperti saat berpuasa ramadan.
Kedua; Lebih Bisa Menahan Emosi. Karena puasa juga menjadi cara kita meredam emosi, apalagi saat lapar dan haus yang rentan godaan emosional.
Emosi adalah wujud dari ego kita. Itulah mengapa apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah aku sedang berpuasa (dengan mengulang ucapannya dua kali)." (HR. Al-Bukhari No. 1894; HR. Muslim No. 1151).
Ketiga; Pikiran Menjadi Lebih Jernih. ini ada kaitanya dengan dua hal di atas. Pikiran jernih karena makan tak berlebihan dan tidak menganggu kerja otak karena mengantuk. Dan emosi yang dikendalikan karena hanya akan merusak mood atau suasana jika dituruti.
Pikiran jernih mengantarkan kita pada orientasi yang positif. Apalagi saat ramadan. Jadi dengan usainya ramadan mestinya pikiran kita menjadi lebih jernih dan tenang.
Keempat; Menjadi Pribadi yang Lebih Bijak. Ketika  pikiran kita jernih, kita bisa memandang persoalan dengan lebih bijak. Menjadi bijak menurut penceramah tersebut tidak bisa dipaksa. Karena munculnya kesadaran,  keikhlasan dan keimanan yang terbentuk selama menjalani puasa ramadan.
Ketika kita berpuasa tanpa paksaan, tapi karena ikhlas, jejak itulah yang mestinya terbawa hingga kita usai ramdan dan masuk dalam kehidupan dalam 11 bulan selain ramadan. Dan inilah tantangan berat sesungguhnya.
Kelima; Hati Kita Menjadi Lebih Peka dan Lembut. Apakah kita merasakan hal tersebut setelah ramadan?. Semakin peduli dan peka dengan kondisi orang lain di sekitar kita. Karena ternyata itu juga pertanda kita semakin bertaqwa.
Keenam; Ibadah Kita Menjadi Lebih Penuh Makna. Kebiasaan mengontrol diri selama berpuasa, jika ter-internalisasi dengan baik akan menjadi bagian dari keimanan kita yang makin menguat.
Atas dasar itu ada dua hal yang menjadi kebiasaan baru kita yang positif. Pertama, menguatkan keyakinan pada Tuhan, dan Kedua, membiasakan kita menjaga kestabilan ibadah.Â
Wujudnya seperti di tegaskan penceramah di hari terakhir tarawih tersebut, berupa "rasa bertambah dekat dengan Tuhan". Ibadah yang makin fokus dan ikhlas tanpa rasa terpaksa.
Ketujuh; Ibadah Kita Menjadi Lebih Tenang. Ketika semua kebiasaan baik membuat kita ikhlas, kita menjadi tawadhu. Berikhtiar, berusaha, dengan segala sumber daya, berdoa menyerahkan hasilnya pada Tuhan,dalam wujud sikap tawadhu- berserah diri.
Nah, apakah ketujuh parameter itu telah kita rasakan dan kita lakukan seusai ramadan?. Jika iya, ibadah puasa kita semoga termasuk yang berhasil.Â
Namun pada akhirnya seperti sebuah hadist Diriwayatkan dari Abi Hurairah RA. Beliau berkata Rasulullah SAW bersabda: "Allah SWT berfirman: Semua amal ibadah anak Adam untuk mereka sendiri kecuali puasa. Sesungguhnya puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya." Biarlah Tuhan yang akan menilai kita, yang penting kita menjalankan ke-7 parameter itu dengan sebaiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H