"Siapa tau nanti kita perlu", "Mungkin nanti ada orderdil yang bisa dipakai", "siapa tau bisa jadi barang vintage". "Mungkin bisa jadi kreatifitas baru?". Banyak sekali yang bisa dijadikan alasan kita agar barang yang semakin lama semakin tertimbun dirumah menjadi sampah tersembunyi tapi urung kita buang. Jangan-jangan kita jenis Hoarding Disorder?
Sebagian barang yang kita timbun tapi ternyata tak kita simpan dengan baik pada akhirnya menjadi sampah yang sama sekali tak berguna. Beberapa sampah koran dan buku yang tersimpan di gudang belakang rumah, belakangan ternyata rusak akibat atap gudangnya bocor.
Sedangkan baju-baju apkiran anak-anak sejak bayi atau seragam sekolah yang tidak terpakai, selalu saya bagikan kepada saudara atau mantan murid yang membutuhkan dan berkebetulan main ke rumah. Atau sengaja saya kabari bagi yang memerlukan.
Tapi khusus barang koleksi yang masih kategori hobi tetap saya simpan meski rencana untuk menjadikan hiasan dinding belum kesampaian. Barangnya saya simpan baik dan rapi di rumah.
Dibuang Sayang
Banyak orang memang sayang membuang barang jika kondisinya masih baik. Sebagian orang mungkin menganut gaya frugal living atau menjalankan ekonomi sirkular sehingga enggan membuang barang meski telah menumpuk di rumah. Sehingga selalu merasa sayang jika membuangnya.
Frugal living adalah tentang mengelola keuangan dengan bijak. Orang yang menjalani gaya hidup frugal membeli barang dan layanan yang dibutuhkan, memperhatikan kualitas, dan mencari cara untuk menghemat uang tanpa mengorbankan kebutuhan dasar.Â
Gerakan ini dirintis oleh seorang ahli finansial bernama Vicki Robin dan Joe Domingues, dan di tahun 2007, tepatnya setelah krisis ekonomi global di Amerika Serikat, masyarakat dituntut untuk bisa bertahan hidup dengan sedikit pengeluaran.
Sedangkan Ekonomi sirkular, ekonomi berdaur, atau ekonomi melingkar adalah sebuah alternatif untuk ekonomi linier tradisional di mana pelaku ekonomi menjaga agar sumber daya dapat dipakai selama mungkin. Alih alih membeli barang baru, lebih baik memperbaiki atau mengalihkannya untuk pemanfaatan lain.
Di banyak negara, sampah bukan hanya sekedar limbah rumah, tapi barang yang sudah tidak lagi terpakai dan dianggap memenuhi rumah menjadi barang yang sering di apkir atau dibuang.
Dengan cara menempatkannya di pinggir jalan dan memberi keterangan kondisi barang agar dapat segera diambil oleh orang lain dan bisa dimanfaatkan. Semakin lama barang berada di pinggir jalan juga akan ada ancaman pelanggarannya.
Sehingga tak heran bagi banyak mahasiswa Indonesia yang memanfaatkan banyak barang jenis tersebut. Misalnya seperti lemari pakaian, lemari buku, filling kabinet, meja belajar hingga komputer ukuran besar dan abrang elektronik lainnya seperti televisi.
Dan saat mereka selesai studi barang-barang tersebut di bagikan kepada teman lainnya. Termasuk buku yang mungkin bisa bermanfaat bagi orang lain.
Saat tsunami dulu, banyak tetangga yang membuang barang dalam kondisi yang baik,seperti sepeatu roda, akuarium, kursi atau perlengkapan rumah yang layak pakai dan perkakas dapur layak pakai, sehingga bisa dimanfaatkan banyak orang yang membutuhkan.
Seringkali barang di rumah kita yang terus bertambah sementara barang lama juga enggan kita buang. Sebagian kita tak menyadari jika rumah semakin lama terasa sempit.Â
Setiap keputusan untuk menyimpan sesuatu yang mungkin dibutuhkan akan dengan cepat membuat ruangan kita dipenuhi oleh barang yang tidak memiliki tempat atau kegunaan untuk saat ini. Kita sebenarnya tidak perlu bergantung pada kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Apalagi jika yang selalu mengikut tren. Pada awalnya kursi tamu yang berbeda-beda bisa menjadi gaya layaknya vintage atau trend baru. Sofa berwarna-warni menyajikan nuansa yang tidak membosankan. Tapi saat jumlahnya terus bertambah dan dipindah ke ruangan lain, bahkan hingga menyesaki kamar tidur, maka membuat rumah makin sempit.
Seorang teman memanfaatkannya menjadi dudukan keren di kafenya. Tapi bagaimana bagi yang hanya bisa memutar tempat di dalam rumah saja. Mengapa sebagian kita "sayang" membuangnya dan mempertahankan tetap menyesaki rumah?.
Padahal tumpukan barang sebagiannya justru membuat kita stres karena harus memikirkan tempat dan menjaganya.
Alasan yang paling umum, bahwa barang tersebut "dibeli" sehingga akan menghabiskan uang jika "dibuang" dari rumah. Apa yang sebenarnya terjadi sebenarnya adalah sunk cost fallacy.
Biaya yang telah dikeluarkan dan tidak dapat diperoleh kembali. Biaya hangus dikontraskan dengan biaya prospektif, yang merupakan biaya masa depan yang dapat dihindari jika tindakan diambil.Â
Bahkan karena sulitnya untuk memutuskan membuang barang, ada orang  yang membutuhkan buku panduan,karena berpikir bahwa mungkin mereka membutuhkannya kelak. Kita hanya perlu menyimpan salinan fisik dari beberapa hal yang lebih penting, seperti dokumentasi pribadi atau akta.Â
Apalagi jika yang dibuang adalah lukisan atau karya seni anak. Meski menyayangi mereka, kita mungkin bisa selektif memilihnya. Apalagi jika  terbawa rasa sentimental terhadap barang tertentu.
Gejala Hoarding Disorder?
Memangnya apa itu Hoarding Disorder?. Perilaku seseorang yang memiliki kebutuhan kuat untuk menyimpan barang dalam jumlah besar.
Hoarding disorder adalah gangguan mental yang tidak boleh diremehkan karena bisa membuat penderitanya mengalami banyak masalah. Gangguan ini dianggap sebagai masalah jika muncul banyak kekacauan yang kemudian mengganggu kehidupan sehari-hari dan menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas hidup penderitanya dan keluarganya.
Dalam beberapa kasus, menimbun barang adalah kondisi tersendiri dan sering dikaitkan dengan pengabaian diri. Penderita gangguan perilaku ini biasanya seperti, Â hidup sendiri, belum menikah, memiliki masa kanak-kanak yang buruk, seperti kekurangan materi atau memiliki hubungan yang buruk dengan anggota keluarga lainnya dan memiliki riwayat keluarga yang juga gemar menimbun barang serta dibesarkan di rumah yang berantakan dan tidak pernah belajar memprioritaskan dan menyortir barang.
Alasan orang menimbun barang masih belum bisa dipastikan. Seseorang bisa menimbun barang karena keterbatasan fisik yang gak memungkinkan orang buat beresin rumah. Bisa juga karena berbagai gangguan mental, seperti depresi, skizofrenia, dan OCD.
Beberapa orang yang punya hoarding disorder juga mungkin sedang berusaha untuk mengatasi peristiwa hidup yang penuh tekanan atau trauma.Â
Buang-buang barang juga bisa membuat seseorang merasa overwhelming, jadi seseorang lebih menghindari keputusan untuk membuang barang.
Hoarding beda dengan koleksi, karena perbedaan mencolok antara mengoleksi dan menimbun, yaitu bagaimana barang-barang itu disusun. Kalau menimbun, barang berantakan, sulit dicari dan ditemukan. Sementara kalau koleksi, barang ditata dengan rapi, gak menganggu, dan mudah ditemukan. Barang yang biasanya ditimbun seperti buku, pakaging, nota, dan masih banyak lagi.
Solusinya Apa Jika Begitu?
Meskipun akan sedikit sulit, karena tak seperti sekedar membuang sampah, barang yang akan diapkir bisa jadi hanya karena sudah memenuhi rumah, sedangkan kondisinya bisa jadi masih sangat layak, misalnya buku.
Jadi benar  kalau hanya mengandalkan buku panduan pun juga bisa tak berguna karena sebenarnya rasa berat saat hendak membuang barang saat bebersih rumah seperti saat menjelang lebaran saat ini, ada dalam pikiran dan mental kita.
Jika sudah ada niat ikhlas berbagi, seperti kata orang tua kita, "kan bukan barang yang akan dibawa mati, jadi abgikan saja bisa bermanfaat lebih banyak bagi orang lain". Benar memang, tapi?. Kita butuh pembiasaan dan penguatan mental "ikhlas" dulu bias semuanya lebih mudah dilakukan.
Bahkan jika sudah jadi penyakit semacam  gangguan penimbunan atau hoarding disorder, yang tidak menyadari dampak negatif dari penimbunan pada kehidupan mereka., harus dengan  terapi perilaku kognitif.Â
Kita harus membiasakannya dengan belajar mengidentifikasi dan menantang pemikiran dan keyakinan yang terkait dengan memperoleh dan menyimpan barang. Termasuk juga belajar menahan keinginan untuk menyimpan lebih banyak barang.
Jika masih berat juga terpaksa harus belajar untuk mengatur dan mengkategorikan harta benda untuk membantu memutuskan mana yang harus dibuang dengan menggunakan keterampilan pengambilan keputusan dan sistem koping.
Merapikan rumah harus menjadi kebiasaan yang rutin, jika sudah begitu akan mulai memudahkan untuk mengambil keputusam. Apakah akan membagikan ke saudara atau teman atau tetangga yang lebih membutuhkan.
Atau membagikannya ke komunitas yang membutuhkan meubiler, buku atau yayasan sosial yang butuh pakaian layak pakai. Beberapa tahun lalu, dari kantor LSM seorang teman pernah meminta bantuan kepada saya untuk mencarikan donasi sepatu untuk warga kurang mampu.
Saat saya meminta ke toko sepatu tak diduga ada ratusan pasang sepatu dan sendal yang mereka berikan secara gratis. Jadi sebenarnya diluar sana banyak orang yang juga "ingin" membuang barang dan tinggal dibutuhkan "orang yang bersedia membantunya".Â
Begitu juga dengan "sampah" di rumah kita. Jika kita tahu diluar sana banyak membutuhkan, mungkin akan memudahkan kita menjadi lebih ikhlas dan mau berbagi. Rumah lebih lega saat bebersih dan bisa berbagi kepada orang lain, saat ramadan lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H