Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Setiap Tahun Mudik, Tapi Tak Mudik!

1 April 2024   23:13 Diperbarui: 6 April 2024   02:15 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari hari ramadan tinggal dalamhitungan jari. Jika orang sudah sejak lama kasak kusuk kapan harus mudik, saya justru masih menikmati hari-hari libur sekolah yang sudah dimulai full sejak tanggal 28 Maret 2024 kemarin. "Nggak mudik bu", tanya tetangga saya yang tinggal di propinsi lain. Biasanya saya jawab," nanti kampus kosong nggak ada yang jaga", jawab saya berseloroh.

Agaknya mudik baru benar-benar dirasakan oleh para penduduk atau pekerja yang berada di Pulau Jawa, sementara di daerah lain mungkin tak seheboh di Pulau yang satu itu.

Saya tak bisa membayangkan bagaimana mudik yang sebenarnya,  meskipun saya juga "mudik" atau pulang kampung alias wo gampong biasa kami menyebutnya, tapi karena tak heboh seperti yang sering kita saksikan di televisi, mungkin saya cuma kategori "pemudik semu".

Ilustrasi suasana mudik sumber gambar ideas
Ilustrasi suasana mudik sumber gambar ideas

Ilustrasi arus balik lebaran sumber gambar kompas.com
Ilustrasi arus balik lebaran sumber gambar kompas.com

Hebohnya mudik untuk tahun ini saja menurut proyeksi oleh Kementerian Perhubungan, jumlahnya diperkirakan akan mencapai sekitar 196 juta atau 71,7 persen dari total penduduk, jumlah yang jelas lebih banyak dari tahun sebelumnya. 

Penduduk sebanyak 196 juta akan memadati seluruh jalan-jalan dan transport laut  dan udara di Indonesia dalam hari-hari menjelang hari raya.

Pemandangan di terminal bus terbesar di Batoh yang pernah saya saksikan langsung cuma berisi deretan bus-bus ukuran jumbo yang seluruh penumpangnya dengan santai dan masih bisa melenggang memasuki setiap bus. Itupun masih bisa bercipika cipiki dulu saat bus mau berangkat tanpa keburu waktu.

Begitu juga di pelabuhan, yang membedakannya dari hari biasa cuma deretan kendaraan yang jauh lebih banyak dan antrian menunggu kapal merapat yang terlihat ramai, tapi saat masuk mereka masih bisa antrian manis.

Apalagi di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, masih bisa bersantai membeli kopi pesanan sebelum check in dan boarding. Masih sempat ngobrol santai di ruang tunggu yang penuh tapi tak sesak.

Ilustrasi pemudik bersepeda motor sumber gambar dekannews
Ilustrasi pemudik bersepeda motor sumber gambar dekannews

Fenomena Mudik Cuma Milik Indonesia?

Ada yang bilang fenomena dan budaya mudik cuma heboh di Indonesia. Karena karena mayoritas jumlah penduduknya yang beragama Islam, banyak pekerja urban yang bekerja di kota atau propinsi  atau pulau lain. 

Di negara lain bukan tidak ada mudik, tapi tidak seheboh di Indonesia.

Sehingga momentum libur saat lebaran yang panjang menjadi kesempatan bagi mereka untuk bisa pulang dalam setahun sekali.

Bahkan menurut cerita teman, jumlah yang terprediksi itu sudah terpilah sebagiannya ada pemudik yang pulang duluan. Jika si kepala keluarga adalah pekerja di sebuah kantor yang hanya bisa mudik di H-1, maka jauh-jauh hari ia sudah "memulangkan" anggota keluarganya agar tidak beradu  waktu dengan jutaan pemudik lain.

Ilustrasi pemudik yang overload sumber gambar suara.com
Ilustrasi pemudik yang overload sumber gambar suara.com

Kecuali jika terpaksa hanya keluarga kecil, maka dengan kendaraan satu-satunya yang juga dipakai kerja akan dijadikan moda trasnportasi untuk pulang. 

Maka di jalur Pantura yang sangat kesohor saat waktu mudik ada jutaan kendaraan roda dua yang dipenuhi para pemudik, apalagi di malam lebaran.

Keriuhan itu ditambah dramatis karena di saat mudik, selalu saja ada proses perbaikan jalan yang dilakukan (bukan dadakan) tapi karena jalur yang harus diperbaiki panjang, maka hingga hari H lebaran masih saja ada proses pengerjaan.

Dan yang lebih fatalnya lagi, kondisi itu selama ini juga turut menyumbang jumlah kecelakaan yang dialami para pemudik. Sungguh potret  realitas yang memprihatinkan. Tapi itulah bagian dari dinamika fenomena mudik tahunan di negara kita.

Catatan kecelakaan selama mudik di tahun 2023 misalnya, meskipun PT Jasa Raharja mencatat angka kasus kecelakaan lalu lintas pada masa mudik Lebaran 2023 menurun jika dibandingkan masa mudik Lebaran tahun lalu.

Namun seperti dilansir media, Direktur Hubungan Kelembagaan PT Jasa Raharja Munadi Herlambang menyampaikan bahwa ada total 7.633 kasus kecelakaan lalu lintas dengan 1.121 korban jiwa pada masa mudik Lebaran 2022. dan pada masa mudik Lebaran 2023, dari 18 sampai 28 April, Jasa Raharja mencatat sebanyak 5.894 kasus kecelakaan lalu lintas dengan 726 korban jiwa.

insiden kecelakaan di tol cipali saat mudik lebaran sumber gambar media indonesia
insiden kecelakaan di tol cipali saat mudik lebaran sumber gambar media indonesia

Dengan berbagai catatan itu kita patut ikut prihatin, meskipun pihak keamanan--kepolisian biasanya telah menyiapkan posko khusus selama lebaran seperti Operasi Ketupat,(untung nggak ada Operasi Lontong, Lodeh dan sebagainya).

Maka jika memutuskan memakai moda transport milik pribadi atau sewaan sekalipun menjaga performa kendaraan laik pakai harus menjadi prioritas, apalagi yang membawa muatan berlebih. Termasuk juga harus ada persiapan logistik selama mudik.

Terutama sepeda motor yang dipaksa tartig (tartig) atau tarpat (tarik empat) karena ada ayah, bunda dan dua putranya.

Sekalipun berisiko, pilihan mudik seperti itu bukan hal yang jarang terlihat, pihak keamanan hanya bisa menyarankan atau menegur agar lebih berhati-hati.

Untuk rencana mudik yang lama, para pemudik juga harus memastikan rumah yang ditinggal terjamin keamanannya, sehingga tidak menjadi bancakan para pencuri selama ditinggalkan.

Hal penting lainnya yang tak kalah penting adalah menjaga kesehatan pemudik. Siapa tahu ada yang punya riwayat sakit, sudah bersiapantisipasi obatnya. Seperti Asma, maag, apalagi yang menderita penyakit kronis.

Fenomena Arus Balik dan Masalah Sosial Baru

Itu baru saat mudik, nanti akan ada cerita lain saat arus balik. Masih kata saya, yang mudik 5 orang waktu arus balik sudah berlipat tiga sampai 15 orang. Maka tak heran jika razia saat arus balik lebaran bukan pada sekedar pemeriksaan surat-surat kendaraan.

Pernah dalam sebuah siaran televisi, sebuah mobil pick uap yang penuh dimuati sayuran tapi justru dibawahnya berisi puluhan orang yang berdesakan, termasuk perempuan dan anak-anak. 

Mengapa bisa terbongkar pihak polisi?, saat mobil berhenti karena macet, si penumpang gelaptidak menyadari bahwa di sekitar mereka banyak polisi berjaga. Polisi yang curiga karena ada "keramaian" dalammobil pick yang berisi sayuran curiga dan kemudian membongkarnya.

Ternyata mereka adalah anggota keluarga baru bawaan si pemudik yang akan menjadi penduduk gelapkota besar yang baru!. Dan itulah sekelumit serunya cerita tentang arus balik saat lebaran yang hebohnya cuma ada di negara kita.

suasana mudik di terminal Batoh Banda aceh sumber gambar disub aceh
suasana mudik di terminal Batoh Banda aceh sumber gambar disub aceh

tempat yang bisa disinggahi sambil lalu menuju kampung halaman di indrapuri sumber gambar sarah beekmans
tempat yang bisa disinggahi sambil lalu menuju kampung halaman di indrapuri sumber gambar sarah beekmans

Tak Pernah Serius Mudik

Meskipun memiliki kampung, artinya bukan orang kota tulen tapi acara mudik di Aceh tak seheboh di tempat lain (mungkin itu hanya versi saya).

Biasanya saya baru pulang atau mengunjungi kampung saat lebaran hari pertama di sore hari (sambil JJS-Jalan-Jalan Sore) atau di H+2 saat tetangga kanan kiri sudah dikunjungi atau berkunjung, barulah kami putuskan untuk menikmati kampung.

Jika itu disebut mudik atau wo gampong, rasanya seperti JJS saja karena, bisa jadi malamnya kami langsung pulang atau menginap jika ada keseruan di kampung seperti ramainya pedagang keliling yang menambah semarak. 

Apalagi jika ada yang memasang meriam bambu yang masih ada dikampung-kampung (dan diperbolehkan lagi setelah konflik), maka acara "mudik singkat" itu menjadi lebih seru.

Itulah mengapa saya hanya bisa merasakan hebohnya suasana mudik dari televisi yang menyampaikan laporan pandangan mata dari situasi terkini di setiap titik mudik yang dianggap rawan atau  paling padat. 

Sementara laporan di daerah lebih melaporkan kemeriahan jalanan di jalur Timur dan Barat yang biasanya sunyi dari kendaraan, dimalam lebaran menjadi ramai dan meriah. Laporan justru menceritakan ramainya warung kopi di jalur Barat dan Timur yang dipenuhi pemudik yang istirahat.

Atau si daerah Saree,dimana pemudik di jalur Timur membeli oleh-oleh Tape Lembah Seulawah yang terkenal nikmat serta keripik pisang yang langsung bisa dioder langsung begitu di entas dari penggorengan. Selebihnya tak ada jalur macet. Semuanya aman terkendali.

Suasana "pulang kampung atau jak Wo Gampong alias mudik" menjadi liputan kemeriahan menyambut lebaran saja. Itulah mengapa saya tak sepenuhnya bisa merasakan bagaimana "mudik"yang sebenarnya. Entahlah jika nanti berkunjung ke Bandung, Jakarta atau Jogja saat lebaran?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun