[Sebuah Catatan Hari Film Nasional ke-74, 30 Maret Kemarin]
Kemarin sempat teringat jika tanggal 30 Maret itu Hari Film Nasional. Memang tak banyak yang tahu, karena mungkin kita lebih asyik menikmati produk filmnya daripada mengulik ada apa ya dibalik dunia perfilman kita.
Apalagi di Aceh yang sejak lama tak memiliki bioskop. Gedung-gedung bioskop seperti Garuda Theater kini telah beralih fungsi menjadi bangunan perkantoran atau pusat komunitas siber milik para anak muda. Sedangkan bangunan bekas bioskop lainnya seperti Gajah Theater, Merpati Theater, Banda Theater, Puspa serta Pas 21 hanya tinggal kenangan.Â
Meredupnya bioskop juga karena faktor adanya konflik di Aceh, yang mempengaruhi keberadaan industri bioskop di Tanah Rencong.
Beberapa kali pernah digagas nobar oleh para pegiat LSM, namun lebih pada film-film festival dan itupun merupakan kerjasama dengan pihak donatur yang sedang melakukan program tertentu.
Sedangkan dari Aceh Documentary sudah rutin setiap tahun,terutama saat Pekan Kebudyaan Aceh (PKA) selalu menggelar berbagai acara lomba dan pameran bertajuk film sebagai cara merespon animo para sineas muda Aceh yang selalu menghadirkan film-film pendek yang bermutu.
Aceh Documentary menjadi lembaga atau komunitas pecinta film yang paling eksis mendorong lahirnya karya sineas Aceh tanpa kendala setiap tahunnya, meski Aceh tak punya bioskop.
Saya beruntung tak hanya menjadi penonton rutin acara mereka, tapi juga pernah menjadi juara pertama resensi atau review film mereka dalam Pekan Kebudayaan Aceh
Karena langkanya sumber langsung jika bicara bioskop di Aceh, ada baiknya bercerita juga melalui buku. Saat membongkar pustaka ada beberapa buku yang berkaitan dengan film yang menarik menjadi rujukan seperti buku Garin Nugroho, 100 tahun bioskop di Indonesia (1900-2000) edisi koleksi terbatas milik Cinemags-karya HM Johan Tjasmadi yang menyertakan bonus DVD Sejarah Perfilman Indonesia.
Buku-buku koleksi langka yang masih saya simpan baik dipustaka rumah.
Persisnya mengapa tanggal 30 Maret dijadikana momentum dimulainya perayaan Hari Film Nasional, karena pada tanggal itu menjadi hari pertama dilakukannya syuting film Darah dan Doa karya Usmar Ismail tepatnya pada tanggal 30 Maret 1950.
Hingga akhirnya diresmikan oleh presiden B.J. Habibie pada 30 Maret 1999 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 1999 tentang Hari Film Nasional.
Di Aceh tentu saja hari perayaan ini menjadi hari yang biasa, meskipun tema yang dipilih tahun ini "Beragam Filmnya, Ramai Penontonnya". Apalagi kini juga sedang ramadan. Biasanya pihak infokom Aceh menyelenggarakan rangkaian kegiatan mulai dari pameran hingga pemutaran terbatas film-film tertentu bekerjasama dengan LSM.
Terutama film-flm dokumenter seperti garapan Garin Nugroho, dan untuk film besar dan kolosal seperti Film Cut Nyak Dhien yang ketika sedang dirintis ulang turut saya hadiri dan mendapat kesempatan langsung bertemu para bintangnya. Namun sayangnya Christine Hakim berhalangan hadir ketika itu.Â
Bagi masyarakat Aceh sendiri selama ini tak ada gejolak atau dorongan yang intens untuk mendorong pemerintah membuka kembali bioskop, selain sebab konflik yang dulu pernah terjadi, pilihan kita bersyariat juga menjadi alasan lain karena membutuhkan aturan-aturan yang lebih khusus bagi para peontonnya. Alasan itu menyebabkan hingga kini Aceh tak punya bioskop.
Bagaimanapun dalam konteks pilihan bersyariah, kehadiran bisokop dinilai oleh sebagian kalangan lebih banyak mudharatnya atau ketidak bermanfaatannya, apalagi saat ini film telah dapat dikonsumi dengan lebih mudah dari ruang paling privat melalui gadget kita.Â
Khususnya dalam konteksdi Aceh, halitu menjadi sebuah hal yang tidak menghalangi setiap orang untuk bisa meng up date tontonan film terbaru yang ingin dinikmatinya.
Jikalaupun digagas, sebagai bentuk peringatan Hari Film Nasional ke-74, misalnya nobar film dokumenter sineas Aceh, nonton bareng di bioskop berbisik bersama teman-teman disabilitas, hingga ngabuburit bareng insan film di 10 kampus film yang tersebar di berbagai kota di Indonesia, semuanya hanya dinikmati oleh kalangan yang sangat terbatas.Â
Padahal di daerah lain tepat pada hari film tersebut ada bagi-bagi ratusan tiket bioskop yang bekerja sama dengan XXI, CGV, dan Cinepolis. Tiket gratis hanya diperuntukkan untuk menonton film Indonesia.
Cerita Dunia Film dari Buku
Sebagai pecinta buku saya beruntung bisa mengumpulkan banyak koleksi buku dan majalah tentang film seperti Cinemag yang memuat film terbaru secara lengkap berikut dengan hadiah poster dan berbagai pernik cenderamatanya.
Bahkan saat Film Harry Potter sedang heboh, saya mendapatkan bingkisan tongkat ajaibnya (sayangnya saat saya buat permintaan tak satupun yang bisa terkabul).
Begitu juga buku kumpulan esai milik bentara Kompas yangjuga banyak mengulik film, atau buku Garin, Kekuasaan dan HIburan yang bercerita tentang film Indonesia dari sudut pandang yang seru luar biasa.
Kekuasaan dan Hiburan buku karya Sutradara dan Produser asal Indonesia ini isinya kumpulan kritik Garin dalam melihat perkembangan media elektronik, televisi, bahkan perbandingan berbagai industri film dan festival di berbagai negara.Â
Bukan hanya itu saja, nilai-nilai ideologis, pandangan terhadap persoalan baik sains, estetika, tekonlogi, maupun etika, hingga sejarah perfilman pun di ungkapkan Garin dengan lugas.
Dunia tumpang tindih yang berhadapan dengan produk berbagai fase pramodern, modern hingga pascamodern telah melahirkan anak-anak yang kini hidup dan menikmati dalam revolusi interaktif multimedia.Â
Isinya masih relevan untuk menganggarkan kondisi perfilman kita dan tantangannya kedepan, ketika harus memilih film berkualitas atau film yang hanya sekedar menyenangkan hati penonton saja.Â
Apalagi saat ini Indonesia sedang dibombardir film genre horor yang menyita banyak penonton di banding film-filmberkualitas lainnya seperti milik Garin yang lebih banyak dinikmati di kelas penonton festival. Sebuah realitas yang sulit.
Menurut Johan dalam buku 100 tahun bioskop pun, sejak lama film yang berbau horor dan drama percintaan lebih menyerap banyak penonton daripada film drama kehidupan sosial. Johan membahasya dalam Arti film sebagai komoditi yang diulas sangat menarik dan rinci.
Sedangkan dalam pandangannya yang lain ia menceritakan bagaimana sulitnya dulu mengedarkan film paska produksi. Saat ini semuanya serba mudah, tinggal menggunakan medsos informasi film bisa menyebar luas dengan cepat. Tapi dulu menurut Johan, produser film ibaratnya sama dengan produsen rokok.
Menurutnya memproduksi film tidaklah terlalu sulit, tetapi yang lebih sulit adalah setelah film itu jadi. Banyak orang di dunia film kehilangan akal untuk bisa mengedarkan dan mempertunjukkan film di gedung bioskop.
Harus diedarkan dengan cara manual, sehingga jaman dulu kita masih sering melihat mobil pic up dengan bak terbuka berisi poster film dan dengan pengeras suara si pemilik mengajak masyarakat untuk menonton. Persis saat caleg mengundang masyarakat hadir di kampanye jaman dulu.
Jadi waktu si produser habis untuk berkeliling mengiklankan filmnya. Dulu di usaha bidang perfilaman bioskop ada circuit (jaringan bisokop yang dikelola oleh sebuah perusahaan daerah yang punya hubungan ke konsumen se-NUsantara).
Begitu juga ada Cinema Circuit yang harus punya hubungan dengan Film Distributor dan Periklanan untuk menjamin keberlangsungan pasokan dan promosisetiap judl film yang hendak diputar setiap tahun.
Begitulah seluk beluk dunia perfilaman kita yang diulas secara mendalam oleh Johan--orang film atau tepatnya orang bioskop yang telah menghabiskan lebih dari 50 tahun lebih sejak 1954 untuk berjuang di jagad bioskop Indonesia.
Mengawali karir sebagai penjaga sepeda di bisokop, penyobek karcis, hingga menjadi manager theater, dan akhirnya menjadi Ketua Komis B di MPR-RI 1987-1999.
Bagi saya yang memang bukan sepenuhnya film maniak, up date film terbaru saat inipun masih terbatas hanya melalui media sosial atau televisi.Â
Dan jika harus merekomendasikan film yang bagus untuk ditonton, mungkin butuh proses kurasinya dan jelas, karena penonton kita sukanya horor sedangkan, parameter untuk menjelaskan daya tariknya bagi saya sangat subjektif.
Namun dunia film kita telah jauh berubah, banyak kemudahan, tapi juga semakin besar tantangannya. Antara memproduksi film bermutu atau demi selera saja.
Apalagi di Aceh tak ada bioskop, tapi begitupun anak-anak di Aceh juga tak pernah ketinggalan berita, kan ada gadget dengan begitu banyak platform yang menyajikan film-fim terkini. Soal mana pilihannya itu semua tergantung citarasa saja. Dan masih ada Aceh documentary yang terus menggali pasion para sineas untuk terus semangat berkarya.
Selamat memperingati Hari Film Nasional ke-74, semoga terus menyajikan film yang semakin bermutu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H