catatan: artikel ini awalnya ikutan ramadhan ke 20, tapi karena double dengan artikel FOMO, jadi tiga artikel muncul bersamaan akhirnya saya hapus satu, tapi ternyata dua artikel tinggal dengan isi yang sama-akhirnya saya buat jadi dua artikel baru dengan isi beda ;), semoga bermanfaat meskipun berdekatan topiknya--selamat membaca.
Begitu masuk ramadan intensitas anak bergaul dengan gadget ternyata justru meningkat pesat. Apalagi selama ramadan banyak waktu luangnya.Â
Sebagian sekolah bahkan meliburkan para muridnya agar bisa fokus puasa. Sementara sekolah lain membuat Pesantren Kilat atau sejenisnya, sebagai pengganti masa belajar di hari biasa. Meskipun hanya berlangsung selama 15 hari.
Kondisi ini menimbulkan masalah yang dilematis bagi para orang tua, terutama yang berharap anak-anaknya bisa lebih fokus ibadah saat ramadan. Tapi sebagian anak justru menjadikan alasan berpuasa sebagai alasan dan meminta prasyarat agar akses ke gadgetnya menjadi lebih besar. Bahkan disertai ancaman tak mau "belajar puasa"..
Meskipun orang tua memahami situasinya namun juga didera oleh perasaan yang sulit untuk menolaknya. Sehingga tak aneh ketika sedang bertarawih pun saya melihat ada anak kecil asyik bermain gadget di samping ibunya yang sedang mendengarkan ceramah menunggu shalat tarawih.
Bagi sebagian orang tua  gadget memang telah menjadi solusi untuk mengatasi berbagai masalah, meskipun kadang-kadang bisa memancing bahaya jika tak diawasi dengan ketat karena ada penjahat yang mengintai dan memanfaatkan situasi tersebut.
Seorang anak teman saya mengalami speech delay, gara-gara lebih akrab dengan gadgetnya daripada berkomunikasi langsung. Akibatnya saat anak-anak seusianya sudah lancara berbicara, ia justru mengalami kesulitan berkomunikasi.
Dan pada akhirnya membutuhkan sekolah khusus terapi wicara. Anehnya saat berinteraksi dengan hape ia dapat mendengar dengan baik dan dapat mengikuti lagu yang muncul dari hape, namun saat berkomunikasi untuk menjawab pertanyaan sederhana seperti, "siapa namanya?", ia kebingungan.
Namun begitu ia tetap mendapat porsi menggunakan hape meskipun kini di batasi. Pada kasus tertentu solusi yang ditawarkan para orang tua agar anak tidak rewel atau bermasalah seperti mengamuk atau tantrum justru membawa dampak lain yang tidak diduga atau tidak kita sadari.
Termasuk kebiasaan berinteraksi dengan orang lain.
Namun dalam realitasnya gadget tetaplah menjadi cara termudah untuk mengatasi anak bermasalah. Di ruang publik menjadi pemandangan yang umum anak-anak bermain gadget, sementara orang tuanya mengobrol atau mengerjakan pekerjaan lainnya.
Anak-anak asyik dengan dunianya sendiri, pun orang tua juga merasa tidak diganggu dengan kerewelan anak-anak.
Jika di hari biasa mungkin kita tak seintens saat ramadan memberikan keleluasaan pada anak untuk menggunakannya. Namun disitulah sebenarnya masalahnya, karena  selama ramadan sebaiknya menjadi saat yang baik untuk mengajarkan anak tambahan ilmu agama, termasuk belajar puasa.
Namun anak juga menuntut  agar diberi waktu lebih banyak bermain hape agar bisa mengisi waktu kosongnya selama berpuasa atau belajar puasa.
Fenomena ini menjadi paradoks yang sulit dihilangkan.Padahal bulan Ramadan adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu, dan menjadi kesempatan untuk fokus pada ketaatan spiritual. Namun, era kekinian banyak dari kita justru terjebak dalam paradoks sulitnya mengurangi penggunaan gadget untuk hal yang tidak perlu.Â
Sebaliknya, daripada meninggalkan media sosial, sebagian dari kita justru menggunakan platform-platform tersebut lebih intensif untuk mengisi waktu kosong selama berpuasa.
Bagaimana Solusinya?
Memang akan sangat sulit sekali mengatasi masalah ini, anak-anak kita sejak pandemi telah terbiasa berinteraksi dengan gadget. Untuk kebutuhan belajar dan berkomunikasi karena pembatasan sosial. Dan sejak saat itu, kebiasaan itu bahkan telah menjadi candu bagi  sebagian anak-anak kita.Â
Cara yang paling mungkin dilakukan adalah membuat kesepakatan atau komitmen sejak awal kapan masa pakai gadget dan berapa lama durasinya. Berikut syarat-syarat mudah yang bisa ditetapkan dikaitkan dengan jadwalibadah yang mungkin bisa  kita harapkan dari anak-anak kita.
Seperti berhenti menjelang waktu shalat dan setelah usai mengaji sehabis shalat. Butuh kedisplinan dari para orang tua saatmenetapkan keputusan ini, agar anak juga mengikuti aturan dan bisa patuh.
Orang tua juga bisa memberikan alternatif selingan seperti belajar tata aturan ibadah selama jangka waktu tertentu dan memberikan kesempatan bermain gadget setelahnya.
Sehingga ada masukan imbal balik yang saling menguntngkan antara orang tua dan anak selama ramadan. Dan orang tua juga tidak terlalu merasabersalah karena memberikan intensitas lebih banyak menggunakan gadget selama ramadan.
Termasuk dengan menetapkan waktu khusus untuk menggunakan media sosial, atau  bermain gadget, dan tetap disiplin dalam mematuhi jadwal tersebut.
Atau mengatur notifikasi, karena dengan menonaktifkan notifikasi dari aplikasi media sosial bisa menghindari gangguan yang tidak perlu dan mempertahankan fokus selama beribadah.
Membatasi konten dengan menghindari konten yang bersifat negatif atau memicu perbandingan sosial. Sebaliknya, ikuti akun-akun yang memberikan konten yang positif, mendidik, atau menginspirasi.
Dan jika memungkinkan sesuai dengan komitmen kita terhadap diri sendiri, temukan aktivitas lain yang dapat mengisi waktu kosong selama berpuasa, seperti membaca Al-Quran, berdzikir, atau berolahraga ringan.
Kerjasama dan komitmen menjaga kedisiplinan itu menjadi kuncinya antara orang tua dan anak, agar selama ramadan baik orang tua maupun anak sama-sama mendapat manfaat. Anak tetap dapat belajar dan beribadah serta fokus pada puasanya, orang tua juga tetap merasa bertanggungjawab karena memberikan keleluasaan pada anak menggunakan gadget lebih banyak saat ramadan.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H