Dan muaranya tentu saja sifat materialisme yang ingin membangun citra diri melalui barang kepemilikan. Bahkan di medsos pernah ada seseorang yang berbelanja banyak produk cuma karena alasan  suasana hati yang buruk!.Â
Fantastis bukan?, meskipun soal fulus mungkin sangat personal, karena tidak tahu harus disalurkan kemana, namun perilakunya menjadi sesuatu yang tidak umum.
Tapi jika dimaksudkan untuk menghadiahi diri sendiri setelah bekerja keras (self-reward), itu sih boleh-boleh saja, asal tak berlebihan juga.
Bagaimanapun berbelanja tanpa perhitungan apalagi karena berburu promo saat ramadan misalnya, selalu punya sisi buruk atau risiko.Â
Bentuk pertahan terbaik tentu kita harus "tetap waras", dalam merencanakan keuangan yang matang. Termasuk membuat anggaran yang isinya prioritas belanja.
Meskipun ini tak semudah yang kita bayangkan, karena butuh kedisiplinan diri untuk tatap waras saat berbelanja. Sehingga anggaran untuk alokasi harian, mingguan, hingga tahunan tak sia-sia sekedar jadi resolusi atau rencana unsich!.
Bahkan jika memang serius finansial bisa aman terkendali, kita harus bisa melacak pengeluaran dan mengevaluasi keuangan secara berkala. Seperti keuangan perusahaan saja.
Dan pastinya harus jelas mana uang untuk belanja kebutuhan atau keinginan. Kebutuhan rumah dan segala tetek bengek-nya tentu menjadi prioritas, agar uang pemberian suami atau hasil kerja keras keringat sendiri tak sia-sia menjadi sampah atau barang penghuni garasi.
Untung kalau laku dengan harga bagus saat garage sale, seperti kebiasaan di luar negeri, yang menjual barang seken di depan garasi rumah kepada para tetangga atau pejalan  yang melewati garasi mereka..Â
Tanamkan bahwa kebiasaan impulsive berkedok 'self-reward' bisa menyusahkan diri sendiri. Karena siapapun bisa jadi korban, apalagi kalau berhadapan dengan barang bagus dan promo di mal atau medsos. Rasanya tiba-tiba semua barang menjadi sangat "dibutuhkan", padahal intinya kita cuma tak mau kehilangan momen bisa beli barang dengan harga murah (tapi sekali lagi bukan barang kebutuhan tapi cuma keinginan belaka!).
Intinya, baik impulsive buying maupun perilaku konsumtif baru disadari oleh kita jika telah berbelanja barang terlalu banyak, tapi kita sendiri tak tahu apa gunanya (untuk saat itu).
Belum lagi dampaknya yang bikin jebol kantong--budget sebulan hilang untuk produk yan kita sendiri tak paham manfaatnya, dan sudah terbeli karena promo.
Jadi waspadalah sebelum menyesal kemudian, karena dampak fatalnya selain bisa menyebabkan terhambatnya aliran kas dan utang konsumtif, apalagi di saat ekonomi sulit saat ini.
Barangkali ini juga alasan mengapa kelas menengah susah naik kelas, apalagi dengan maraknya godaan "pasar online" dengan segala macam kemudahan.