Apa dampak berikutnya?, mulailah para ibu kasak kusuk untuk membeli barang dengan alasan, kapan lagi kan lagi promo. Lagipula banyak yang tiba-tiba menjadi seolah "butuh" produk tersebut. Beberapa lantas membeli, karena melihat teman lainnya meng-order.
Seminggu berlalu, mulai ada yang tanya-tanya soal bagaimana sih cara pakainya produknya (misalnya oven listrik). Rupanya setelah digunakan hasilnya tak maksimal. Apalagi yang biasanya pakai oven kompor minyak, yang menurut para ibu meski sedikit ribet tapi hasilnya tak pernah mengecewakan.
Begitulah perilaku belanja impulsif berlaku di kalangan para ibu guru di sekolah saya yang diawali karena adanya godaan promo, plus tambahan produk lain jika membeli selama masa promo. Hasilnya beli oven listrik dapat hadiah dispenser mini plus sendok nasi (lumayan gratisan).
Tapi lucunya setelah terbeli, malah pada bingung, karena mereka baru menyadari bahwa produk itu ternyata tak terlalu penting untuk sekarang ini, apalagi bonusnya cuma centong nasi. Setiap kondangan hajatan di komplek saja, selalu dapat hadian centong nasi sampai bisa dikoleksi karena ragam warna dan material berbeda-beda, mulai dari plastik hingga logam.
Mengapa sudah tau tak butuh tapi tetap terbeli juga?
Lagi-lagi masih menurut riset, ada 48% orang yang rutin berbelanja online ternyata menemukan promo dan informasi diskon dari iklan yang tayang di platform over-the-top (OTT).Â
Begitu nonton dan si pembawa acara bilang, "ayo buruan keburu abis, cuma dapat promo saat tayang", membuat orang terdorong untuk belanja.
Apalagi kalau sudah bilang," check out..check out!--istilah yang artinya merupakan tahap saat pembeli mengkonfirmasi barang-barang yang telah ditempatkan pada keranjang belanja mereka dan menyelesaikan transaksi dengan melakukan pembayaran.
Saat check out, pembeli akan diminta memeriksa kembali detail pesanan mereka, memilih metode pengiriman, memasukkan informasi pembayaran, dan menyelesaikan transaksi. Dan pesanan kita diproses!.
Yang jelas, banyak faktor eksternal juga yang ikut menggoda kita untuk berbelanja. Cobalah amati barang yang dijajakan secara online di tivi saat jeda iklan sinetron di jam tayang padat (traffic jam).
Harganya murah, bentuk dan warna kemasan produk menarik, dan tentu saja promonya berdiskon besar. Bahkan untuk penjual barang interior di toko khusus selama masa promo, interior ruang produknya dibuat menarik, area produk luas seperti pameran.Â
Bahkan yang jual perangkat set meja makan atau tempat tidur lengkap dengan dekor kamar seolah sebuah realitas sungguhan, bukan sedang di toko. Ditambah lagi toko berpewangi dan ber-AC yang bikin betah para pembelanja.Â
Selebihnya mungkin berkaitan dengan kebiasaan pamer di medsos--flexing!. "Hi guys, menurutmu gimana outfitku keren kan?", sebuah unggahan muncul di medsos dengan produk keluaran baru. (sebagian sebeanrnya ada yang tidak cocok dengan si pemakainya, tapi "maksa" karena barang branded).
Flexing adalah praktik memamerkan kekayaan material, prestasi, atau gaya hidup mewah di platform seperti Instagram, Twitter, atau TikTok. Ini melibatkan berbagi foto atau video yang menampilkan barang-barang mewah, perjalanan mewah, atau pencapaian pribadi yang mengesankan.
Faktor lainnya yang bisa bikin kita keblablasan berbelanja adalah, gengsi, Â mental kita yang tak kuat iman lihat medsos apalagi milik tetangga, rendahnya pertimbangan atas kondisi dan perencanaan keuangan.Â