Suasana yang terbangun di dalam mall yang bekerjasama dengan jaringan pengusaha baru UMKM lebih terasa seperti pameran busana. Terutama karena setiap produk tak hanya memajang koleksi busana baru hasil UMKM tersebut, tapi juga  berikut nama desainernya dan portofolio yang dimilikinya.Â
Disatu sisi ini menjadi sugesti bagi para konsumen untuk tak sekedar membeli produk yang juga tak kalah menarik dari sisi desain dibanding barang pabrikasi atau butik.
Konsumen juga membeli karena rasa empati dan bentuk kepedulian mendukung pengembangan bisnis UMKM. Ini adalah sisi yang positif dalam pengembangan bisnis UMKM dengan memfaatkan jaringan toko ritel atau super market untuk perluasan jangkauan pasar dan pengenalan produk.
Meski menjadi salah satu kewaspadaan agar kita tetap berhati-hati tak belanja jor-joran, produk debutan para desainer dari UMKM patut menjadi rujukan pilihan produk outfit untuk ramadan atau lebaran.
Sebagai konsumen kita patut mendukung produk asli Indonesia ini di pasaran, dengan cara membeli produknya tapi jangan lupa tetap cermat berbelanja.
Risiko Jika Terjebak Promo dan jadi Maniak Belanja
Kembali kepada soal belanja yang sembarangan dan asal beli, jika tak hati-hati, kita bisa-bisa akan masuk kategori para shopaholic. Banyak orang yang belum mengetahui tanda dan cara mengatasi shopaholic. Padahal, perilaku kecanduan belanja ini umum terjadi.Â
Jika dibiarkan, shopaholic bisa menimbulkan banyak masalah bagi si gila belanja tersebut, baik secara ekonomi maupun sosial.
Kecanduan belanja atau shopaholic termasuk salah satu jenis gangguan kontrol impuls dalam membeli sesuatu. Kondisi ini diakui sebagai gangguan mental di awal abad ke-20, dan hingga kini penderitanya semakin meningkat sering dengan perkembangan belanja online.
Orang yang tergolong sebagai shopaholic biasanya menjadikan acara belanja menjadi cara utama untuk mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan, walaupun cuma bersifat sementara.
Perilaku banyak orang saat berbelanja, di tengah serbuan promo yang habis-habisan cenderung akan membuat kita menjadi si impulsive buying atau si pembelanja impulsif yang kini makin sering muncul dan menjadi salah satu prioritas pencarian solusi dalam pembahasan para perencana keuangan.Â
Sebuah riset menarik dari The Trade Desk pada tahun 2021 menunjukkan 64% orang Indonesia yang terbiasa berbelanja online beberapa kali dalam seminggu sebenarnya mengaku sebagai pembeli yang berencana.Â
Tapi saat muncul promo spesial seperti tanggal kembar, sebagian besar pembeli berencana ini berubah menjadi pembeli impulsif, di mana 42% di antaranya mengakui berbelanja lebih banyak pada saat musim diskon. Tak hanya menyimpan di "keranjang belanja" tapi langsung membelinya tanpa pikir panjang.
Nah, berbeda dari pemahaman kita tentang perilaku konsumtif yang berarti mengonsumsi barang atau jasa secara berlebihan, impulsive buying atau belanja impulsif artinya belanja berdasarkan keinginan sesaat dan tanpa pikir panjang. Pokoknya asal melihat barang sedang diskon setengah harga, langsung membeli padahal sedang tidak butuh produknya.
Pengalama yang pernah terjadi di sekolah saat akhir pekan, biasanya datang pedagang yang membawa barang promo (tentu saja mereka menegosiasi pihak sekolah soal izin), begitu masuk mereka menggelar semacam demo produk. Sebagiannya langsung menghasilkan produk (seperti kuliner) dan hasilnya dibagikan gratis kepada para guru.