Begitu lampu merah menyala, badut kecil itu langsung bergerak lincah menari, mengangguk, menggeleng berusaha menarik perhatian pada setiap pengendara mobil dan sepeda motor yang berhenti di perempatan jalan di tengah kota itu.
Tangannya terus menengadah kesetiap pengendara atau mengetuk jendela mobil sesekali, mengharap mereka menurunkan kaca jendela dan memberinya beberapa receh atau selembar uang seribuan.
Begitu lampu berganti hijau, ia kembali duduk. Saya terkejut ketika kemudian menyadari bahwa bocah pengamen dengan baju badut itu ternyata seorang gadis kecil.
Ketika duduk di median jalan, gadis kecil itu membuka tutup kepalanya, mengipasi mukanya dengan tas selempang kecil tempatnya menyimpan uang. Keringatnya mengucur deras di siang terik itu.
Setiap orang pasti terenyuh dan prihatin melihatnya, apalagi ia hanya sendirian. Apakah ia memang bekerja sendiri, atas inisiatif sendiri mencari uangnya, ataukah karena dipaksa orang tuanya?.
Atau lebih dari itu ada sindikasi yang memaksa ia menjadi seorang pengemis sebagai bagian anggota jaringannya. Jika itu benar patut disayangkan.
Sewaktu kunjungan ke Jakarta di tahun 2022, jalanan sepi karena waktu menunjukkan hampir pukul 23.00 wib, saat tiba-tiba mobil yang saya tumpangi di ketuk kacanya di lampu merah. Saya terkejut dan sedikit ketakutan pada awalnya, namun saat melihat gadis kecil yang mengetuknya saya merasa sangat sedih.
Teman saya melarang membuka jendela kaca, tapi dengan terpaksa saya turunkan beberapa senti kaca jendela dan menyelipkan uang lembaran ribuan untuknya. "Jangan dibiasakan, berbahaya", kata teman saya.
Menurutnya tindakan saya dianggap berbahaya, karena sebagian dari oknum pengemis jahat menggunakan modus tersebut untuk menarik barang milik penumpang atau sopir kendaraan, seperti halnya gadget atau kalung dan gelang.
Atau jika tidak diberi, mereka akan menggores badan kendaraan dengan benda tajam sebagai cara melampiaskan kekesalannya. Ini sesuatu yang tidak pernah terjadi di daerah saya, sehingga sama sekali saya tak menyadarinya.
Lingkaran Setan Masalah Sosial
Fenomena sosial keberadaan para gepeng-gelandangan dan pengemis, bukan sesuatu yanag aneh dan hampir bisa kita jumpai di kota-kota besar. Bagaimana sebenarnya kita sebagai masyarakat harus bertindak?.
Bagaimana kita mesti mengambil sikap?, apakah tetap berbagi kepedulian dan belas rasa kasihan, atau justru mengikuti himbauan pemerintah menahan diri tak memberi sumbangan dijalanan agar praktik seperti itu bisa berakhir?.
Jika itu dilakukan, bagi sebagian orang hal itu rasanya bertentangan dengan hati nurani, apalagi kala ramadan, orang sedang senang bersedekah. Dan dalam kasus seperti yang saya alami, gadis kecil dijalanan, saat hujan dan hampir menjelang tengah malam. Semua kenyataan itu mengingatkan saya pada gadis kecil saya di rumah.
Bagaimana seharusnya pemerintah dalam mengatasi persoalan kesejangan sosial seperti ini. Mengapa seolah masyarakat tidak mengetahui apa saja yang telah dilakukan oleh Pemerintah, mengingat tetap masih ada saja temuan gepeng-gelandangan dan pengemis di jalanan.
Jika merujuk pada amanat Undang-Undang Dasar saja, terutama tentang tanggungjawab dan perlindungan anak oleh Pemerintah, tentu saja tanggungjawab tersebut mestinya dijalankan pemerintah dengan "benar".
Namun dalam praktiknya apa yang sebenarnya terjadi, benarkah pemerintah selama ini tak pernah peduli dan tak bertanggungjawab, atau ada fenomena lain yang terjadi di balik itu semua?.
Dalam praktiknya sering kita temui kasus dimana seorang pengemis dengan profesinya, bisa mengumpulkan uang hingga puluhan juta rupiah hanya berbekal belas kasihan dan kepedulian orang lain.
Fenomena itulah yang ternyata menjadi akar masalah mengapa gepeng terus ada dan bahkan berkembang di perkotaan. Sumbangan orang di jalanan membantu menyuburkan praktik para pengemis tersebut.
Suatu ketika, seorang pengemis di tangkap petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang sedang bertugas menertibkan para gepeng.
Setelah ditangkap dan diangkut ke tempat penampungan milik dinas sosial untuk mendapat penanganan dan rehabilitasi, saat ditawarkan pekerjaan sebagai petugas kebersihan di DLHK3 , para gepeng tersebut menolak, dengan alasan bahwa penghasilan mereka jauh lebih besar daripada yang ditawarkan oleh Pemerintah. Nah, lho!
Hal itulah yang menjadi salah satu sebab, ketika para gepeng di tangkap, saat dilepas kembali mereka akan kembali ke "habibat" semula berprofesi menjadi pengemis. Selain alasan pekerjaannya sangat mudah, hasilnya juga fantastis.
Solusi versus aksi dermawan, Jadi Apa Tindakan Tegasnya?
Jika membahas soal kedermawanan dan sedekah, menurut sebuah penelitian, orang Indonesia itu jenis orang yang dermawan. Maka tak sedikit "kebaikan" itu juga dijadikan konten acara entertainment.
Apalagi kalau bicara soal anjuran agama, bersedekah itu bahkan akan semakin menambah kekayaan kita, bukan justru mengurangi, karena Tuhan akan mengganti semua kebaikan kita dengan rezeki yang berlimpah. Nah, kalau di bulan Ramadhan pahala itu akan semakin berlipat ganda. Apakah kita akan melewatkan kesempatan itu?.
Lalu, bagaimana urusannya jika dengan pengemis jalanan?. Apa iya, kita juga mau dituduh ikut menyuburkan praktek pengemis jalanan?.
Meskipun sebenarnya kedermawanan alias berbagi dalam konteks agama mestinya lebih diprioritaskan kepada saudara-saudara kita yang terdekat dahulu yang kondisinya secara ekonomi kekurangan, barulah beranjak kepada prioritas berikutnya.
Jadi soal pengemis jalanan sebenarnya juga sudah jelas ada "solusinya" secara agama.
Terkait dengan formalitas aturan negara, bagaimana Pemerintah menjalankan regulasi terkait gepeng ini?. Menurut keterangan dari kepala Satpol PP DKI Jakarta, selama ini penanganan para gepeng selain dengan solusi rehabilitasi di rumah sosial juga dengan memberikan penguatan capacity building dengan memberikan pembekalan ketrampilan.
Selebihnya akan sangat tergantung pada personal masing-masing gepeng tersebut setelah mendapat rehabilitasi. Jika kembali lagi kejalanan, layaknya seorang penjahat kambuhan atau residivis, maka ia akan berisiko di "digaruk" kembali saat penertiban dan mendapat sanksi yang lebih tegas.
Bagaimana dengan "aksi dermawan" yang memberi sedekah bagi para pengemis. Apakah bukan menyuburkan fenomena gepeng di perkotaan.Â
Seperti fenomena yang terjadi di setiap hari Kamis dan Minggu malam, waktu yang ditunggu-tunggu penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) gelandangan yang bekerja sebagai pemulung, yang banyak mendiami Jalan KH Hasyim Ashari, Jakarta Pusat. Sebab, saban malam itu bakal melintas mobil dermawan yang memberi sedekah berupa makanan dan uang.
Kini ratusan gelandangan bercokol di sana. Termasuk Oneng, dan anaknya yang berusia empat tahun sudah menjadi gelandangan di sekitar pusat perbelanjaan ITC Roxy Mas sejak dua tahun lalu. Setelah mereka diusir dari rumah kontrakan karena tak mampu membayar.
Dulunya bekerja sebagai buruh garmen di daerah Tambora, Jakarta Barat. Namun, mereka di-PHK karena alasan efisiensi imbas pandemi Covid-19. Â Merantau ke Jakarta sejak 2016. berbekal ijazah lulusan SD.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah total PMKS di wilayah DKI Jakarta, seperti anak jalanan, gelandangan, pengemis, anak telantar, bekas warga binaan lapas, dan lain-lain pada 2020 sebanyak 2.169 orang. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2018, yakni 1.992 orang. Kini di tahun 2024 sudah mencapai angka 3.000-an.
Fenomena itu membengkak disebabkan dampak ekonomi akibat pandemi.Selain melakukan monitoring dan penghalauan PMKS dengan pendekatan persuasif, dengan  langkah strategis penertiban.
Persoalan PMKS seperti gelandangan tak cukup diselesaikan dengan penangkapan. Akan tetapi, perlu disertai peningkatan keahlian dan menciptakan peluang kerja di daerah asal mereka. Karena rata-rata yang menjadi PMKS kan tingkat pendidikannya rendah.
Butuh koordinasi dengan Pemda daerah asal, karena permasalahan PMKS gelandangan sangat kompleks dan tak bisa hanya diselesaikan pemangku kepentingan di Jakarta saja. Solusinya tidak bisa sektoral, karena jumlahnya kian bertambah lantaran tak ada penanganan komprehensif dari pemerintah.
"Mereka sudah terperangkap dalam kehidupan kota yang memang tidak memberikan mereka kesempatan," ujar pihak Kepala Satpol PP DKI Jakarta.
Bahkan di bulan Ramadan 2023, ada 2.086 Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) yang terjaring razia Satpol PP DKI sejak 9 Februari hingga 10 April 2023. Jakarta dikepung pengemis yang memanfaatkan momentum bulan Ramadan (dengan meminta-minta),padahal tak semua pengemis merupakan orang yang tidak mampu. Berdasarkan temuan Satpol PP DKI, pendapatan para pengemis justru jauh lebih tinggi daripada pekerja di Ibu Kota.
Sampai dengan saat ini, pilihan menjadi pengemis tetap marak, karena instan mendapatkan uang di pinggir jalan, di tempat keramaian, di sentral ekonomi, pasar belanja kemudian juga tempat ibadah, masjid memanfaatkan kebaikan hati orang.Â
Dan setelah lari lintang pukang di kejar satpol PP dan terjaring razia, para PPKS itu diserahkan ke Dinas Sosial (Dinsos) DKI Jakarta untuk diasesmen.Â
Asesmen itu bertujuan untuk mendata apakah para pengemis tersebut memiliki keluarga atau tidak punya, hingga mengecek pengemis itu berKTP DKI atau bukan.
Lantas tinjauan dari sisi hukum bagaimana?. Gelandangan adalah mereka yang hidup tanpa rumah, pekerjaan tetap, dan kehidupan yang layak di masyarakat. Sedangkan pengemis adalah mereka yang hidup dengan meminta belas kasihan kepada orang lain di tempat umum.
Gelandangan dan pengemis digolongkan ke dalam Pasal 504 dan 505 KUHP yang miskin telah menyatakan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh para gelandangan dan pengemis tersebut diancam dengan pidana penjara dan denda. Sepertinya jika ini yang terjadi, para gepeng akan memilih bayar denda daripada dilarang mengemis.
Sebaliknya, UUD 1945 dalam Pasal 34 telah menegaskan bahwa orang miskin dan anak terlantar diurus oleh negara dan negara akan membina sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan pemberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu berdasarkan nilai dan martabat kemanusiaannya.Â
Penegakan hukum untuk penanganan gelandangan dan pengemis belum berjalan secara optimal karena hukum pidana lebih banyak terkait dengan pemidanaan daripada pembelaan.Â
Penegakan hukum untuk penanganan gelandangan dan pengemis harus diselaraskan dengan hukum yang lebih tinggi dan nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.Â
Pasal 504 dan Pasal 505 Peraturan Perundang-undangan tidak mengikat karena bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi, padahal gelandangan dan pengemis tidak melakukan perbuatan melawan hukum.
Dan pada akhirnya lagi-lagi mereka kembali ke jalanan, dan kembali menjadi "buruan" satpol PP. Lari tapi nanti kembali lagi. Fulus para dermawan terlalu menggiurkan untuk dilewatkan!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H