Solusi versus aksi dermawan, Jadi Apa Tindakan Tegasnya?
Jika membahas soal kedermawanan dan sedekah, menurut sebuah penelitian, orang Indonesia itu jenis orang yang dermawan. Maka tak sedikit "kebaikan" itu juga dijadikan konten acara entertainment.
Apalagi kalau bicara soal anjuran agama, bersedekah itu bahkan akan semakin menambah kekayaan kita, bukan justru mengurangi, karena Tuhan akan mengganti semua kebaikan kita dengan rezeki yang berlimpah. Nah, kalau di bulan Ramadhan pahala itu akan semakin berlipat ganda. Apakah kita akan melewatkan kesempatan itu?.
Lalu, bagaimana urusannya jika dengan pengemis jalanan?. Apa iya, kita juga mau dituduh ikut menyuburkan praktek pengemis jalanan?.
Meskipun sebenarnya kedermawanan alias berbagi dalam konteks agama mestinya lebih diprioritaskan kepada saudara-saudara kita yang terdekat dahulu yang kondisinya secara ekonomi kekurangan, barulah beranjak kepada prioritas berikutnya.
Jadi soal pengemis jalanan sebenarnya juga sudah jelas ada "solusinya" secara agama.
Terkait dengan formalitas aturan negara, bagaimana Pemerintah menjalankan regulasi terkait gepeng ini?. Menurut keterangan dari kepala Satpol PP DKI Jakarta, selama ini penanganan para gepeng selain dengan solusi rehabilitasi di rumah sosial juga dengan memberikan penguatan capacity building dengan memberikan pembekalan ketrampilan.
Selebihnya akan sangat tergantung pada personal masing-masing gepeng tersebut setelah mendapat rehabilitasi. Jika kembali lagi kejalanan, layaknya seorang penjahat kambuhan atau residivis, maka ia akan berisiko di "digaruk" kembali saat penertiban dan mendapat sanksi yang lebih tegas.
Bagaimana dengan "aksi dermawan" yang memberi sedekah bagi para pengemis. Apakah bukan menyuburkan fenomena gepeng di perkotaan.Â
Seperti fenomena yang terjadi di setiap hari Kamis dan Minggu malam, waktu yang ditunggu-tunggu penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) gelandangan yang bekerja sebagai pemulung, yang banyak mendiami Jalan KH Hasyim Ashari, Jakarta Pusat. Sebab, saban malam itu bakal melintas mobil dermawan yang memberi sedekah berupa makanan dan uang.
Kini ratusan gelandangan bercokol di sana. Termasuk Oneng, dan anaknya yang berusia empat tahun sudah menjadi gelandangan di sekitar pusat perbelanjaan ITC Roxy Mas sejak dua tahun lalu. Setelah mereka diusir dari rumah kontrakan karena tak mampu membayar.
Dulunya bekerja sebagai buruh garmen di daerah Tambora, Jakarta Barat. Namun, mereka di-PHK karena alasan efisiensi imbas pandemi Covid-19. Â Merantau ke Jakarta sejak 2016. berbekal ijazah lulusan SD.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah total PMKS di wilayah DKI Jakarta, seperti anak jalanan, gelandangan, pengemis, anak telantar, bekas warga binaan lapas, dan lain-lain pada 2020 sebanyak 2.169 orang. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2018, yakni 1.992 orang. Kini di tahun 2024 sudah mencapai angka 3.000-an.
Fenomena itu membengkak disebabkan dampak ekonomi akibat pandemi.Selain melakukan monitoring dan penghalauan PMKS dengan pendekatan persuasif, dengan  langkah strategis penertiban.
Persoalan PMKS seperti gelandangan tak cukup diselesaikan dengan penangkapan. Akan tetapi, perlu disertai peningkatan keahlian dan menciptakan peluang kerja di daerah asal mereka. Karena rata-rata yang menjadi PMKS kan tingkat pendidikannya rendah.