Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Berperan Jadi Guru Adaptif, Mengajar, Mendengar dan Terus Belajar dari Murid

4 Maret 2024   16:10 Diperbarui: 5 Maret 2024   14:55 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru sedang mengajar di kelas sambil "belajar". (Sumber gambar: Shutterstock via Kompas.com)

Suatu ketika Philip Kotler pernah bilang kepada Hermawan Kartajaya, si pendiri Mark Plus."Hermawan, kita tidak boleh kalah dengan anak-anak muda. Kita memang harus mengajari mereka. Tetapi, mengajari mereka itu datangnya dari mana? Ya, mau tidak mau, dengan belajar dari mereka".

Sejak kejadian itu, Hermawan tahu, mengapa Kotler lebih sering mendengar daripada berbicara. Bahwa untuk menjadi guru yang baik itu harus lebih dulu menjadi murid yang baik.

Dalam banyak hal saat saya sebagai guru berinteraksi dengan para siswa, saya juga menyadari begitu banyak informasi dan pengetahuan baru tentang banyak hal yang bisa saya peroleh dari para murid saya.

Tentu saja, selain belajar kesabaran dari sikap mereka yang sedang tumbuh dan berkembang, namun berbagai masalah yang dihadapi para siswa ternyata juga menjadi ilmu yang berharga.

Termasuk membantu saya sebagai guru ketika harus memutuskan menggunakan metode apa yang cocok untuk setiap materi pembelajaran yang akan saya berikan. Apalagi saya adalah guru pengampu mata pelajaran ekonomi akuntansi.

Tak semua siswa menyukai pelajaran sosial yang semi matematis ini. Apalagi jika sudah menyangkut analisis keuangan.

Atau teknis bagaimana membuat pembukuan dengan kolom-kolom debet-kredit, apalagi jika diajarkan usai istirahat dan anak-anak dilanda kebosanan.

Ilustrasi guru belajar dan mengajar di kelas bersama siswa sumber gambar kompas.id
Ilustrasi guru belajar dan mengajar di kelas bersama siswa sumber gambar kompas.id

Menjadi murid seperti apa persisnya?

Jika mengikuti apa yang disarankan Kotler, dalam aplikasinya sebagai guru seperti saat melakukan proses pembelajaran, melakukan proses diskusi berbasis masalah, dan saat saya sebagai guru bertindak sebagai mentor, saya menemukan banyak pembelajaran.

Bagaimana anak-anak bekerja kelompok, bagaimana mereka memutuskan siapa yang menjadi ketua kelompok, siapa yang akan melakukan presentasi, siapa yang menjadi tim utama saat melakukan tanya jawab.

Suatu ketika dalam sebuah diskusi pembahasan tentang modal, para siswa yang kreatif memberikan pembelajaran baru bagi saya agar bagaimana bisa memudahkan siswa menghafal rumus berkaitan dengan modal.

Ternyata mereka mendapatkannya dari YouTube. Ilmu tersebut sangat menarik karena berbentuk permainan.

Dan dalam diskusi yang sebenarnya bisa membosankan, ternyata kemudian berubah menjadi sangat seru.

Apa yang bisa saya peroleh saat bertindak menjadi mentor dalam diskusi tersebut, bahwa pemilihan metode pembelajaran yang tepat dapat membantu memancing gairah dan motivasi siswa terhadap mata pelajaran ekonomi akuntansi yang "membosankan" menjadi sesuatu yang menarik.

Bahwa setidaknya ada dua pembelajaran yang sebenarnya bisa selalu diperoleh para guru saat berinteraksi dengan siswa.

Pertama; Pembelajaran non akademis

Bahwa banyak tindakan dan perilaku siswa saat di sekolah, jika dipahami dengan lebih sabar dan jernih saat melihat persoalan, bisa menjadi ilmu yang sangat penting bagi para guru.

Bahwa di balik setiap siswa mereka memiliki karakter dan problematika yang sangat kompleks. Persoalan-persoalan inilah yang sering kali bisa memicu timbulnya persoalan yang melibatkan siswa dan guru.

Bisa berwujud konflik fisik atau perbedaan pemikiran dan perbedaan cara melihat masalah dalam mengatasi problem siswa.

Persoalan kesenjangan, hingga status sosial, termasuk persoalan internal keluarga masing-masing individu siswa namun dampaknya di sekolah bisa menjadi pemicu masalah yang tidak dapat dipahami oleh semua guru dengan baik.

Maka dampaknya saat memberikan solusi atau jalan keluar juga bisa berdampak negatif karena adanya ketidaksepahaman dalam melihat masalah dan segala sesuatu yang melatarbelakanginya.

Maka tidak heran jika sampai dengan saat ini, kita masih terus mendengar timbulnya masalah kekerasan disekolah. Termasuk hal-hal yang dimulai dari hal-hal sepele ketika seorang guru "meremehkan" para siswanya.

Dalam banyak kasus meskipun persoalannya terlihat sangat sederhana, namun dampaknya menjadi sangat kompleks dan luar biasa. Termasuk pemukulan murid oleh guru atau sebaliknya.

Dengan memahami banyak persoalan tentang sekolah, kehidupan para siswa, termasuk faktor psikologisnya menjadi bagaian dari pembelajaran yang sangat penting bagi kita sebagai seorang guru.

Kedua; Pembelajaran Akademis

Pernah suatu ketika, kami membahas perhitungan yang kami peroleh dalam kasus soal akuntansi. Soal itu mengharuskan saya sebagai guru memahami bagaimana proses matematika dasar.

Penghitungan dilakukan berjenjang, melalui tahapan proses hingga sepuluh langkah secara matematis.

Namun salah seorang siswa yang pernah mengikuti kursus belajar online di ajari oleh mentor les-nya bagaimana menyelesaikan soal dengan metode yang singkat.

Hanya dengan lima langkah saja, kita bisa langsung mendapatkan jawaban dari soal akuntansi yang harus diselesaikan secara matematis.

Jika di era guru klasik Oemar Bakri, seorang guru bisa jadi menjadi tumpuan satu-satunya karena dianggap paling memahami pelajarannya.

Anak-anak cenderung bergantung dan berharap pada guru sebagai pen-transfer ilmu, dan para siswa menjadi penerimanya.

Namun kini dengan berbagai perkembangan digital, para siswa bisa jadi melihat atau memperoleh informasi lebih banyak dari para gurunya sendiri. Apalagi jika guru "seniornya gagap teknologi (gaptek).

Para siswa mungkin tidak asing dengan masalah Bitcoin, mata uang crypto, atau sistem perdagangan online seperti e-commerce.

Guru-guru yang gaptek atau tak familiar dengan proses digital, mungkin akan terlambat atau tertinggal dalam perolehan informasi, dibanding para siswa.

Sehingga tak perlu malu dan sungkan untuk belajar dari para siswanya, paling tidak dengan menjadi lebih sering up date informasi agar tidak ketinggalan berita dibandingkan para siswanya.

Menurut cerita dari dosen saya saat kuliah, pernah suatu ketika beliau menjelaskan informasi baru berkaitan dengan uang digital.

Seorang mahasiswanya yang memiliki data kerja kelompok yang sangat lengkap dan memahami konteks masalahnya, dimintanya menjadi "dosen", sementara ia bersedia untuk duduk sebagai murid untuk mendengarkan pemaparan tersebut.

Belajar dan Terus Belajar

Baik Philip Kotler (yang dijuluki The Father of Modern Marketing) maupun Hermawan Kartajaya, sebagai duo pakar manajemen dan marketing dunia, keduanya mendapatkan banyak informasi dan pembelajaran dengan menyerap informasi dari para generasi muda.

Mereka kemudian melakukan analisis, lalu melahirkan pemikiran-pemikiran kritis mereka dalam bentuk karya buku tentang perilaku konsumen muda.

Hermawan mengenalkan gagasan yang memaparkan soal komunitas subkultur yang berpengaruh ketika "belajar" dari para anak muda, yaitu Youth, Woman, dan Netizen (YWN). Youth itu ujung tombak dari mindshare, women itu marketshare, dan netizen itu heartshare. Bukankah hal itu luar biasa?.

Dengan berusaha menjadi murid, mengumpulkan berbagai informasi dari banyak sumber, mereka lantas bisa membantu menawarkan solusi terbaiknya.

Bahwa dengan terlebih dulu menjadi murid yang baik, barulah seorang guru kelak juga diharapkan bisa menjadi seorang guru yang baik. Lebih memahami siswa, memahami masalah-masalah yang dihadapi mereka di balik kehidupannya yang kompleks, beradaptasi dengan berbagai perkembangan dan perubahan yang ada.

Termasuk berbagai pengetahuan baru yang didapatkan oleh para siswa yang dapat menjadi masukan bagi kita sebagai guru.

Hanya dengan mendengar dan memahami para siswa, kita bisa menjadi seorang guru adaptif yang bisa memahami kontekstualnya lebih mendalam lagi.

Jika dikaitkan dengan program guru penggerak yang batas usianya sempat menjadi polemik, sebenarnya menjadi "guru pembelajar" tak boleh dibatasi oleh usia.

Karena selama seorang guru berinisiatif untuk meningkatkan kapasitas keilmuannya, termasuk dengan berbagi atau sharing sebagai caranya menguatkan penalaran dan wujud pendalaman penguasaan materi pada dasarnya ia sedang trus belajar dan sedang menjadi "murid" dalam konteks sebagai guru pembelajar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun