"Jangankan tidur, istirahat aja nggak punya waktu, kecuali ishoma!", gerutu teman guru saat kami sama-sama sibuk menyelesaikan tugas, sambil ikutan webinar dan membimbing siswa ikut lomba.
Saat sibuk mengerjakan ini itu disekolah selain mengajar, sebagian dari kita merasa kesibukan itu begitu membebani dan sebagian kita sampai merasa tak punya waktu istirahat.Â
Benarkah kita tak bisa istirahat meski sejenak?. Jangan-jangan kita memang salah memahami istirahat harus "total"--dan mungkin sebagian dari kita mengartikannya harus "tidur cukup"?.
Padahal, cukup dan tidaknya istirahat juga relatif. Lantas apa yang bisa disebut "istirahat", agar bisa mengobati over work kita, meski sejenak?.Â
Selama rehat makan siang dan ibadah, biasanya saya sempatkan untuk "menikmati" ruangan dengan penyejuk sebisanya. Dan sejauh ini, sedikit banyak bisa membantu mengurangi rasa penat dan memberi tubuh dan pikiran energi baru, meski setengah jam-an.
Bagi sebagian orang, mungkin sulit bisa "menikmati" jeda sejenak dalam kesibukan sebagai istirahat. Padahal, pengalaman saat kita berkendara dan merasa mengantuk, berhenti sejenak di pinggir jalan dan "menikmati" lelap beberapa menit bisa mengobati kantuk, daripada memaksa untuk bertahan terus berjalan atau dengan bantuan minum.
Mengapa tak semua orang bisa beristirahat dengan cukup dalam waktu yang singkat?. Bisa jadi dalam asumsinya yang disebut istirahat adalah harus libur dari aktifitas, atau paling tidak harus tidur!.Â
Pemahaman ini membuat kita seringkali terjebak, saat melakukan rutinitas yang pararel dan memaksa kita lembur.
Coba kita ingat-ingat, apakah saat istirahat kita juga "menikmati" penggunaan gawai?,meskipun gawai bisa membantu rileks, tapi dengan begitu banyak fokus perhatian pada konten dalam gawai atau gadget, kita sebenarnya justru tak bisa istirahat.Â
Termasuk sekedar memeriksa notifikasi, yang mau tak mau kadang-kadang harus kita balas dan akhirnya berbalas pantun.