Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menikmati Debat Capres Sebagai Acara Hiburan Politik

26 Januari 2024   11:04 Diperbarui: 28 Januari 2024   20:03 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudut pandang ini dari kacamata perempuan, penonton televisi, pengamat politik tahunan, tapi mencoba awas seperti mata ibu melihat anak-anaknya yang nakal!.

Debat capres sebenarnya sesuatu yang baru dalam Pemilu kita, terutama sejak reformasi. Tapi di negara lain debat ini hal biasa. Jadi masyarakat kita masih melihat debat sebagai sesuatu seperti "hiburan", "pertandingan", karena kalau bicara politik serius selalu bikin pusing dan banyak makan hati daripada pahamnya. Jadi mungkin belum sampai pada pencerahan dan pencerdasan politik.

Tapi dalam debat sekarang inipun ternyata tak jauh dari dugaan itu, saya malah menganggap debat capres belakangan ini mirip acara Lenong Betawi-lawak. Ada kocaknya, ada sindir-sindirannya, tapi juga ada koplaknya.

Secara bahasa arti koplak adalah perilaku yang lucu, konyol, tapi menghibur. Istilah ini biasanya digunakan kepada komedian atau pelawak mengenai tingkah atau lelucon mereka yang lucu.

Dan rasanya tak terbayang jika capres dan cawapres yang bakal memimpin negeri ini berlaku layaknya pemain "Lenong Betawi".

Terbayang sesekali si capres atau cawapres menyapa penontonnya,' Hei penonton!", terus dibalas para penonton dengan "Yeay....!. "Elu jual, gue beli dah" kata si pemain lenong sambil main pencak silat Betawi.

Baik debat capres maupun cawapres tenyata punya tokoh tukang banyolnya, maka sekarang di media sosial rame dengan gimmick-gimmick baru plus ada goyangnya juga.

Memang cara menarik minat orang banyak caranya, tapi, ini kan capres-cawapres, calon pemimpin negeri, masa iya memakai cara-cara ala "Lenong Betawi".

Dan dari sudut pandang perempuan yang ingin "ngomong politik", saya melihat setidaknya ada tiga hal yang menjadi sesuatu yang aneh dari debat capres-cawapres tersebut yang sudah 4 kali "ditanggap" di panggung lenong politik kita.

Ilustrasi seorang pemain pantomim sedang beraksi sumber gambar cakap
Ilustrasi seorang pemain pantomim sedang beraksi sumber gambar cakap

Pertama; Pilih Gimmick Daripada Substansi 

Beberapa kali cara-cara paslon dengan memanfaatkan gimmick politik "berbuah" hasil yang mencengangkan. Entah capres-cawapresnya yang memang memanfaatkan gimmick sebagai senjata untuk menarik perhatian warganet atau memang warganet yang dipenuhi dengan para influencer dan para pendukung yang bersaing yang memanfaatkannya.

Sesuatu yang dianggap sebagai ketidaksiapan capres-cawapres justru dijadikan senjata untuk menari simpati, seperti artikel di tribunews yang berjudul  bombastis "ngaku sedih dinilai 11, Prabowo Joget Saat Dinilai 100 oleh Komunitas Ojol Penggemar Erick Tohir".

Dalam debat capres paslon 2 memang seperti di keroyok oleh paslon 1 dan paslon 3, ketika isunya tentang pertahanan kemananan. Jika kita kritis, penilaian itu mestinya dibalas dengan data yang baik agar jelas duduk persoalannya, namun karena jawabannya mengambang maka kemudian berbuah "serangan".

Namun anehnya yang muncul  dari hasil Debat Capres 2024 yang digelar pada Minggu (7/1) kemarin yang berlangsung panas, banyak yang mengomentari serangan bertubi-tubi Anies Baswdan dan Ganjar Pranowo ke Prabowo Subianto. 

Apalagi ketika Ganjar memberikan skor 5 dan Anies memberikan skor yang 11 dari 100, kepada Prabowo sebagai Menteri Pertahanan (Menhan).

Dan anehnya malah banyak netizen yang membagikan video ekspresi Prabowo yang membuat netizen sedih yang membuatnya makin viral gara-gara kejadian itu. Substansi masalahnya malah tak dibahas.

Seperti di ulas dalam sebuah laporan Drone Emprit terbaru yang menganalisa media sosial X pasca Debat Capres 2024 menunjukkan secara keseluruhan, Anies memperoleh sentimen positif terbanyak yakni 71%. Lalu disusul Ganjar 69% dan Prabowo 31%. Sementara itu, sentimen negatif terbanyak diperoleh Prabowo sebesar 64%, disusul Anies 23% dan Ganjar 17%.

Sebaliknya, sentimen positif tertinggi yang diterima Prabowo berasal dari viralnya sejumlah video yang menangisinya karena diserang bertubi-tubi selama Debat Capres 2024, berdasarkan laporan Drone Emprit, dikutip Selasa (9/1/2024).

Justru ketidakmampuan capres menjawab permasalahan di panggung debat malah makin membuatnya capresnya populer. Anehnya politik ya begitu.

Dunia medsos juga memang aneh, semua fakta bisa dibalik atau terbalik dijadikan konten, yang betul bisa jadi salah, sebaliknya yang salah bisa jadi benar. Memang butuh kejelian netizen untuk memahami sebuah konten (masalah), supaya tidak terjebak.

Kedua; Cerdas Cermat versus Substansi Gagasan

Awalnya saat nonton debat, pikiran kita yang paling waras berpikir bahwa kita perlu tau bagaimana pola pikir atau wawasan dan gagasan kongkrit masing-masing capres-cawapres. Tapi suguhan yang kita terima justru lagi-lagi pertunjukkan yang kurang bernilai.

Setelah "insiden" singkatan yang membuat blunder--mengapa saya sebut blunder karena ketika kita berharap mendapat apa jawaban yang cerdas tentang SGIE, akronim SGIE yang memiliki kepanjangan  State of the Global Islamic Economy, kita malah disuguhi adegan cerdas cermat, ketika paslon "dikurangi nilainya" karena dianggap tak bisa menjawab.

Seorang kompasianer menulis,  akronim SGIE itu menjadi sangat terkenal di Indonesia saat ini karena bukan pemahaman substansinya, apa itu SGIE, tapi lebih karena dalam Debat Calon Wakil Presiden yang dilaksanakan Jumat(22/12/2023) malam, SGIE yang merupakan laporan indikator ekonomi Islam global yang dirilis Dinar Standart, sebuah lembaga ekonomi Islam berbasis di Uni Emirat Arab (UAE), dikenal karena dramanya.

Saat Gibran Rakabuming Raka calon wakil presiden dari pasangan calon no urut 02 menyampaikan pertanyaan tentang SGIE kepada Muhaimin Iskandar paslon capres no urut 01, yang agak crossing the line, kurang etis meskipun tak  melanggar aturan debat yang ada. Penonton dibuat kaget, karena soal ala cerdas cermat itu tak dijelaskan, sehingga si penjawab tak tahu apa maksud pertanyaannya.

Penonton merasa dirugikan karena tak mendapat jawaban memuaskan dari Cak Imin karena pertanyaan Gibran memang seolah digunakan untuk "menjebak". Dan saya yakin tak semua profesor pun bisa tahu semua istilah.

Dan lagi-lagi netizen (mungkin lebih tepatnya influencer timses) memanfaatkan situasi itu untuk menunjukkan ketidakmampuan cawapres lain tak siap atau tak memahami masalah.

Meskipun harus disadari ketika kita ingin mendapat sebuah jawaban yang baik, kita juga harus memberi pertanyaan yang jelas, sehingga sama-sama mendapat keuntungan. Si penanya jadi tau jawabannya dan yang ditanya tau cara menjawabnya.

debat perdana capres yang penuh dengan
debat perdana capres yang penuh dengan "kejujuran" sumber gambar antaranews

Ketiga; Joget dan Pantomin Capres-Cawapres

Memang akan terkesan bias dan memihak karena pembahasan terus-terusan tertuju pada paslon tertentu. Sayangnya kita tak bisa lepas dari fakta tersebut karena "ceritanya " berasal dari sana. Sudut pandang ini juga muncul karena dalam kebiasaan adat ketimuran perilaku yang muncul dalam debat dipandang sesuatu yang tidak biasa. Terutama soal "etika".

Barangkali ini juga mengapa netizen dan dunia medsos menganggap salah satu paslon memang bisa menjadi sumber konten. Medsos menjadi ruang "pertarungan dan persaingan" konten. Makin aneh makin membuat konten dilirik dan menarik.

Dan terlepas dari sengaja atau tidak sengaja, kelakuan para capres dan cawapres di panggung debat justru menjadi bahan konten baru. 

Saya menangkap esensi ini sebagai bahan untuk bisa menjangkau kelas bawah yang tak mau ambil pusing dengan urusan politik yang serius, dibawa santai saja, barangkali itu intinya. Dan konten medsos berhasil mencapai tujuan itu.

Faktanya, ketika menunjukkan sisi kelemahan ketika berdebat dan beretorika, namun disisi lain justru  respon kekurangannya dengan emosi atau berkelakar, menjadi daya tarik baru di medsos.

Saya terkejut ketika capres nomor urut 2, Prabowo berjoget santai ketika menjawab pertanyaan serius soal kasus naiknya cawapresnya melalui jalur cepat MK. Saya menangkap substansi jawaban bahwa kondisi politik kita memang sangat buruk, sehingga salah kaprah melangkahi konstitusi dianggap sebagai sesuatu yang biasa, "tau sama tau".

Padahal politik nakal tidak prosedural itulah yang semestinya harus kita perbaiki, bukan dilanggengkan, sehingga saya malah makin kuatir, ketika penonton dan netizen tidak menangkap esensi demokrasi yang rusak, tapi malah tertarik dengan "jogetnya".

Dan persis seperti kenehan salah tangkap substansi (atau disengaja), jogetnya jadi konten, tapi substansi MK tidak prosedural malah diabaikan.

Begitu juga ulangan kejadian dari debat cawapres tahap kedua, ketika lagi-lagi soal ala cerdas cermat dan kali ini ditambah versi bahasa indonesianya muncul--greenflation--"inflasi hijau sesederhana itulah artinya", ujar  sang cawapres -Gibran santai. Tapi kita tak mendapat jawaban yang akurat gara-gara soal jebakannya.

Untungnya moderator debat sudah dapat masukan soal mekanisme baru, agar soal singkatan dilarang dan harus dijelaskan agar mendapat jawaban yang kongkrit,dan bukan sekedar terjemahan.

Saya melihat situasi ini berasal dari "persaingan" sebelum debat dimulai ketika "anak sekcil itu melawan Mahfud" (judul sebuah artikel di kompasiana) yang mungkin bisa mewakili munculnya sebuah upaya "perlawanan" yang diseting masing-masing paslon, ketika Gibran kelak harus berhadapan dengan Prof Mahfud dan Cak Imin yang berpengalaman banyak dalam debat cawapres.

Pada akhirnya jurus gimmick dan pertanyaan ala cerdas cermat sukses menghasilkan konten yang menarik di medsos, tapi tak menghasilkan substansi jawaban yang menarik dari sisi kontektual debat capres-capres yang bermutu.

Saya melihat jawaban dari lawan usai pertanyaan singkatan lebih bernuansa "kesal" dengan tak memberikan jawaban yang diharapkan karena telah terpancing emosi. Tentu kita mafhum jika seorang senior seperti Prof Mahfud juga tak mau dipancing dengan gimmick recehan (istilah ini langsung dari prof Mahfud sendiri di acara debat itu).

Dan ternyata responnya dari jawaban justru lebih "seru" lagi dengan bermain pantomim, untuk membalas lawan debat bahwa "jawaban itu sama sekali tidak jelas". 

Sampai disini saya tak mau berkomentar lagi, karena saya pikir semua akan kembali menjadi konten baru di medsos. Dan benar, tak lama debat usai, aksi teateratikal pantomim itu merajai konten di medsos, sebuah kampanye gratis yang menarik. 

Sehingga di debat berikutnya yang terakhir apa perlu disarankan agar capres membuat gimmick baru agar ramai di medsos?.

Intinya adalah bahwa sebagai pemilih yang cerdas tadinya kita berharap akan mendapat pencerahan dari debat capres-cawapres. Mendapatkan jawaban visi dan misi yang kongkrit tentang banyak isu.

Ternyata sebaliknya ini hanya menjadi sebuah kampanye belaka, seperti sebuah infoteinment. Barangkali debat ini memang dimaksudkan sebagai "infotainment politik" agar kita tak pusing terus dengan urusan politik yang bikin pusing.

Jadilah Netizen Pemilih dan Pemilah!

Saran terbaik dari seorang pakar komunikasi, tetaplah menjadi netizen yang cerdas, menjadi pemilih dan pemilah informasi yang baik, tak harus pintar.

Terutama ketika memahami masalah, apalagi di tahun politik ketika begitu banyak influncer, pendukung masing-masing paslon bertindak tidak objektif memberikan penilaian pada masing-masing paslon capres-cawapres demi bisa merebut hati publik dan memenangkan pemilu.

Tetaplah berpartisipasi dalam pemilu 2024 apapun jadinya nantinya, akan lebih baik memilih dripada jatah pilihan diambil orang lain. "Soal siapa presidennya, pasti sudah Tuhan atur, tinggal dijalani dengan ikhlas",  begitu pesan emak saya kalau bicara soal politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun