Sudut pandang ini dari kacamata perempuan, penonton televisi, pengamat politik tahunan, tapi mencoba awas seperti mata ibu melihat anak-anaknya yang nakal!.
Debat capres sebenarnya sesuatu yang baru dalam Pemilu kita, terutama sejak reformasi. Tapi di negara lain debat ini hal biasa. Jadi masyarakat kita masih melihat debat sebagai sesuatu seperti "hiburan", "pertandingan", karena kalau bicara politik serius selalu bikin pusing dan banyak makan hati daripada pahamnya. Jadi mungkin belum sampai pada pencerahan dan pencerdasan politik.
Tapi dalam debat sekarang inipun ternyata tak jauh dari dugaan itu, saya malah menganggap debat capres belakangan ini mirip acara Lenong Betawi-lawak. Ada kocaknya, ada sindir-sindirannya, tapi juga ada koplaknya.
Secara bahasa arti koplak adalah perilaku yang lucu, konyol, tapi menghibur. Istilah ini biasanya digunakan kepada komedian atau pelawak mengenai tingkah atau lelucon mereka yang lucu.
Dan rasanya tak terbayang jika capres dan cawapres yang bakal memimpin negeri ini berlaku layaknya pemain "Lenong Betawi".
Terbayang sesekali si capres atau cawapres menyapa penontonnya,' Hei penonton!", terus dibalas para penonton dengan "Yeay....!. "Elu jual, gue beli dah"Â kata si pemain lenong sambil main pencak silat Betawi.
Baik debat capres maupun cawapres tenyata punya tokoh tukang banyolnya, maka sekarang di media sosial rame dengan gimmick-gimmick baru plus ada goyangnya juga.
Memang cara menarik minat orang banyak caranya, tapi, ini kan capres-cawapres, calon pemimpin negeri, masa iya memakai cara-cara ala "Lenong Betawi".
Dan dari sudut pandang perempuan yang ingin "ngomong politik", saya melihat setidaknya ada tiga hal yang menjadi sesuatu yang aneh dari debat capres-cawapres tersebut yang sudah 4 kali "ditanggap" di panggung lenong politik kita.
Pertama; Pilih Gimmick Daripada SubstansiÂ
Beberapa kali cara-cara paslon dengan memanfaatkan gimmick politik "berbuah" hasil yang mencengangkan. Entah capres-cawapresnya yang memang memanfaatkan gimmick sebagai senjata untuk menarik perhatian warganet atau memang warganet yang dipenuhi dengan para influencer dan para pendukung yang bersaing yang memanfaatkannya.
Sesuatu yang dianggap sebagai ketidaksiapan capres-cawapres justru dijadikan senjata untuk menari simpati, seperti artikel di tribunews yang berjudul  bombastis "ngaku sedih dinilai 11, Prabowo Joget Saat Dinilai 100 oleh Komunitas Ojol Penggemar Erick Tohir".
Dalam debat capres paslon 2 memang seperti di keroyok oleh paslon 1 dan paslon 3, ketika isunya tentang pertahanan kemananan. Jika kita kritis, penilaian itu mestinya dibalas dengan data yang baik agar jelas duduk persoalannya, namun karena jawabannya mengambang maka kemudian berbuah "serangan".