Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Siswa Diserang Stigma, Guru dan Orang Tua Wajib Kuatkan Kolaborasi!

13 Januari 2024   16:53 Diperbarui: 19 Januari 2024   21:55 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak di sekolah yang menghadapi stigma sumber gambar cewekbanget.grid.id

taka"Kok nggak dicatat soalnya", tanya saya pada seorang siswa sewaktu memberikan lima buah salinan soal ujian di papan tulis. "Nggak perlu Bu, sudah hafal kok", ujarnya santai, sambil terus mengerjakan jawaban soal ujiannya.

Jika dilihat sepintas tak ada yang salah dengan siswa saya ini, secara fisik sehat, bahkan daya ingatnya melebihi siswa lainnya. Kecuali dalam satu hal, saat berinteraksi dengan teman sekelasnya ia sedikit lambat merespon. Sehingga ia sering menjadi bahan candaan.

Keberadaan siswa dengan latar belakang pribadi, dan status yang beragam adalah bagian dari dinamika, sekaligus juga tantangan di sekolah. Masalahnya  sangat beragam, apalagi ketika sekolah harus berhadapan dengan urusan stigma!. 

Stigma bisa muncul dari berbagai aspek, seperti penampilan fisik, latar belakang sosial, kemampuan akademis, atau bahkan orientasi seksual, sehingga menimbulkan kesenjangan--diskriminasi, ketidaksetaraan sosial.

Stigma adalah bentuk prasangka yang menolak atau mendiskreditkan seseorang atau kelompok karena menganggapnya berbeda dari banyak orang secara umum. 

Menciptakan lingkungan belajar yang bebas dari diskriminasi bukanlah tugas mudah, namun hal ini justru harus menjadi perhatian sekolah dan guru, agar terbentuk pola pemahaman siswa yang inklusif, bisa memahami perbedaan dan keragaman yang ada di sekolah mereka.

stigma-perempuan-single-galak-dan-nggak-lakufoto-freepikjcomp via beautynesia
stigma-perempuan-single-galak-dan-nggak-lakufoto-freepikjcomp via beautynesia

Dampak Stigma pada Siswa

Diskriminasi, baik yang bersifat terbuka maupun terselubung, dbisa membuat suasana belajar tidak nyaman,  dan membatasi potensi siswa. Stigma bisa berakibat menurunkan rasa percaya diri mereka, dan menghambat perkembangan akademis.

Sebenarnya kasus stigma bukan sesuatu yang spesial, karena banyak temuan kasus tersebut di hampir semua sekolah. Mulai dari kasus  diskriminasi penampilan fisik. Misalnya, ketika siswa dengan penampilan fisik berbeda jadi sasaran cemoohan dan sindiran dari teman-temannya, efeknya bisa menurunkan rasa percaya diri dan performa akademisnya.

Begitu juga dengan diskriminasi kemampuan akademis. Bukan hal yang aneh jika di kelas menengah kita masih menemukan kasus dimana siswa belum mampu berkomunikasi dengan baik dalam berbahasa (Indonesia), karena  kebiasaan menggunakan bahasa daerah dalam keluarga dan dilingkungan tempat tinggalnya. 

Begitu juga dengan kemampuan menulis yang performanya rendah. Hal ini bisa memicu isolasi sosial dan menurunkan motivasi belajarnya.

Stigma berlatar belakang sosial, kasus ini menjadi temuan saya yang paling umum di sekolah, mengingat para siswa memang berasal dari latar belakang ekonomi, sosial, yang beragam. 

Temuan kasus dimana siswa yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi rendah sering kali diabaikan dan dianggap kurang mampu oleh teman-temannya. Mereka mungkin juga mendapat perlakuan tidak adil dari sekolah, termasuk juga para guru atau staf sekolah.

Kasus lainnya yang bisa kita temukan di sekolah, stigma terkait orientasi Seksual. Ini juga bukan kasus yang ekslusif, bahwa dalam sekian persen siswa terdapat siswa dengan orientasi seksual yang tidak biasa. Seperti kecenderungan siswa laki-laki yang lebih memilih bermain dengan siswi perempuan.

Stigma itu munculnya dalam bentuk bullying verbal. Siswa yang memiliki orientasi seksual yang berbeda sering mengalami pelecehan verbal dan merasa tidak aman di lingkungan sekolah. Stigma ini bisa mengakibatkan isolasi sosial dan depresi.

Temuan kasus lain dalam persentase yang kecil berkaitan dengan stigma terhadap kondisi kesehatan mental. Pengalaman langsung yang pernah saya alami selama mengajar, menemukan siswa yang "lambat" dalam berinteraksi dengan teman. Namun memiliki kelebihan lain yang jauh melebihi siswa lainnya seperti daya ingat yang kuat.

Siswa yang mengalami masalah kesehatan mental seringkali diabaikan atau dianggap sebagai beban oleh teman-temannya. Stigma ini bisa makin memperburuk kesehatan mentalnya.

Ilustrasi guru dan siswa dengan pendekatan yang baik atasi stigma sumber gambar istock by andresr
Ilustrasi guru dan siswa dengan pendekatan yang baik atasi stigma sumber gambar istock by andresr

Solusi Realistis dan Langkah-Langkah Konkret

Memang tahapan solusinya tak sampai harus sampai mendatangkan ahli terapis khusus, tapi lebih pada memberi edukasi siswa di sekolah agar lebih peduli dan punya kesadaran soal kesehatan mental teman siswa lainnya. 

Sehingga bisa membuat lingkungan yang  ramah bagi siswa dengan masalah kesehatan mental, termasuk program pembimbingan dan dukungan peer-to-peer.

Solusi-solusi ini tidak hanya melibatkan tindakan langsung di tingkat personal siswa, tetapi juga perubahan dalam budaya sekolah secara keseluruhan.

Oleh karena itu, penting bagi sekolah dan para pendidik untuk ikut berperan aktif dalam meminimalisir kasus stigma dan membuat lingkungan belajar yang nyaman bagi semua.

Saya sering melakukan dialog khusus ketika menemukan kasus seperti ini, memberikan ruang berbicara kepadanya, dan berempati dengan pendekatan personal, paling tidak mencoba menjadi pendengar yang baik ketika ia berkeluh kesah.

Sebagai guru, kita juga memiliki peran sentral dalam merubah pola pikir dan merintis lingkungan belajar yang bebas diskriminasi.

Guru tentu saja harus memiliki pemahaman mendalam tentang variasi individual yang dimiliki siswa. Kehadiran siswa dengan latar belakang beragam harus dianggap sebagai tantangan, bukan sebagai hambatan. Dengan memahami perbedaan, guru bisa menciptakan suasana di kelas yang inklusif.

Pendekatan yang sering saya lakukan misalnya dengan menempatkan siswa yang membutuhkan penanganan khusus tersebut di bangku depan, untuk memudahkan konsentrasi dan komunikasi jika mengalami hambatan berkaitan dengan materi pembelajaran.

Selanjutnya, guru juga bisa bertindak sebagai fasilitator dialog terbuka jika ada temuan kasus stigma. Menciptakan ruang di kelas untuk diskusi terbuka tentang prasangka, stereotip, dan diskriminasi agar bisa membantu siswa memahami dampak negatif dari perilaku tersebut. 

Proses ini juga memungkinkan siswa untuk saling berbagi pengalaman, membuka mata satu sama lain tentang realitas kehidupan mereka.

Pengalaman seperti ini tidak hanya membantu mengurangi stigma, tetapi juga membentuk karakter siswa yang toleran dan inklusif.

Tambahan lagi tentu saja dengan dukungan kolaborasi antara sekolah, guru dan orang tua. Ini sangat penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang bebas dari diskriminasi. Orang tua memiliki pengaruh besar dalam membentuk sikap dan nilai-nilai anak-anak mereka. 

Ilustrasi guru dan siswa belajar dengan pendekatan persuasif sumber gambar istock by nilimage
Ilustrasi guru dan siswa belajar dengan pendekatan persuasif sumber gambar istock by nilimage

Beberapa kali saya menggunakan sesi khusus bertemu dengan orang tua siswa yang bermasalah, untuk menemukan jalan keluar.

Dialog langsung ini diperlukan agar input-output solusi dalam menyelesaikan temuan kasus bisa berjalan sesuai dengan harapan kedua belah pihak. Orang tua memberikan informasi khusus yang diperlukan sekolah, sehingga pihak sekolah atau guru bisa memberikan solusi terbaiknya.

Dalam kasus seperti stigma siswa yang berhubungan dengan kesehatan mental, memahami kebiasaannya dapat menjadi warning bagi guru ketika berhadapan langsung temuan kasusnya, tanpa harus panik.

Menciptakan lingkungan belajar bebas diskriminasi bukanlah tugas yang ringan, tetapi langkah-langkah konkret dapat diambil untuk mencapainya. 

Pendidikan anti-stigma, pelibatan aktif orang tua, dan perubahan sikap di kalangan guru adalah beberapa langkah kunci. Evaluasi berkala terhadap efektivitas langkah-langkah ini harus dilakukan untuk menentukan apakah perubahan yang positif telah terjadi dan apakah ada penyesuaian yang diperlukan. 

Bentuknya berupa komunikasi atau sharing informasi antar guru yang menemukan kasus dengan siswa yang bermasalah dengan stigma. Membantunya mencarikan solusi, atau paling tidak bisa memahami situasi dan kondisi atas perubahan perilaku siswanya yang bermasalah.

Jika sekolah mampu menciptakan lingkungan belajar bebas diskriminasi, akan menjadi pencapaian penting dalam membentuk siswa yang inklusif dan menghargai perbedaan. 

Guru, sebagai agen perubahan di kelas, memiliki tanggung jawab besar untuk membimbing siswa melewati stigma dan menciptakan kondisi yang lebih baik, lingkungan belajar yang mendukung setiap siswa, tanpa memandang latar belakang atau karakteristik mereka.

Ilustrasi guru dan siswa belajar bersama sumber gambar istock by xaverarnad
Ilustrasi guru dan siswa belajar bersama sumber gambar istock by xaverarnad

Jika memungkinkan sekolah dapat memberikan dukungan kepada siswa bermasalah  melalui peran konselor bimbingan penyuluhan milik sekolah. Artinya sekolah juga perlu menambah kemampuan--capacity building para penangungjawab Bimpen-nyaagar optimal membantu memberikan dukungan psikologis kepada siswa yang bermasalah dengan stigma.

Ini bisa menjadi ruaang bagi siswa untuk mengekspresikan perasaan mereka dan menerima pandangan yang membangun dari guru atau tenaga profesional pendidikan lainnya.

Penting juga bagi sekolah untuk menciptakan dan memberlakukan kode etik sekolah yang jelas dan tegas terkait dengan perilaku diskriminatif. 

Siswa dan staf pendidikan perlu memahami bahwa tindakan diskriminatif tidak akan ditoleransi. Sanksi yang sesuai harus diberlakukan untuk memastikan perlindungan hak-hak semua siswa dan untuk mencegah munculnya perilaku diskriminatif.

Intinya bahwa sekolah harus mampu menciptakan lingkungan belajar yang adil dan inklusif. Bagaimanapun ini tanggungjawab yang tidak mudah bagi sekolah.

Menciptakan lingkungan belajar yang bebas diskriminasi bukanlah pekerjaan satu hari, tetapi sebuah perjalanan panjang yang membutuhkan kerjasama semua pihak. Guru, staf pendidikan, konselor, dan orang tua semua memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang adil, dan inklusif bagi semua. 

Referensi: 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun