Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Ironisnya, meski minat baca buku rendah tapi data wearesocial per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke 5 dunia.
Kini ada peningkatan yang menarik, sebagaimana data survei Perpusnas tentang tingkat kegemaran membaca di Indonesia terhadap 11.158 reponden yang tersebar di 102 kabupaten-kota.
Hasilnya, tingkat Kegemaran Membaca Masyarakat Indonesia tahun 2022 sebesar 63,90 (tinggi) Â mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2021 sebesar 59,52 (sedang), tahun 2020 sebesar 55,74 (sedang), tahun 2019 sebesar 53.48 (sedang), tahun 2018 sebesar 52,92 (sedang), dan tahun 2017 sebesar 36,48 (rendah).
Berikutnya , ada tantangan yang tidak kalah penting dicermati, yaitu tantangan disrupsi teknologi yang bergerak seperti deret hitung (1,2,4,8,16 dan seterusnya), sedangkan kebiasaan kita membaca masih seperti deret hitung (1,2,3,4,5 dan seterusnya).
Kita dipengaruhi oleh godaan clip thinking yang membuat kita menjadi "pembaca online" yang up date, tapi menjadi "penguasa ilmu yang dangkal". Maksudnya bukan bodoh, tapi memiliki ketergantungan tinggi pada teknologi.
Di sekolah saya, jika siswa ditanya isu terbaru, bukan hanya satu yang disebut, bahkan 5 trend berita terkini bisa disebut (judul dan ringkasannya), tapi jika diajak diskusi lebih lanjut, mohon maaf, mereka angkat tangan.
Alasannya klise, "tahu sih bu, tapi harus lihat lagi detilnya di gadget". Mereka ketahuan jika membaca hanya seperti "capung minum", terbang secepat kilat begitu selesai menyentuh permukaan air.
Mereka tahu informasi, tapi tak mendalami. Ini adalah problem baru yang dialami banyak orang dalam disrupsi teknologi yang sangat cepat, sehingga jutaan informasi hanya akan dipilih oleh scrol jari dan mungkin hanya karena ilustrasi yang menarik.
Selebihnya akan menjadi "buih informasi" yang akan kembali ke "lautan informasi" dan digantikan oleh "buih informasi" lainnya yang menyusul dengan cepat persis seperti ombak dilaut yang tak pernah berhenti dan susul menyusul dengan informasi besar dan kecilnya.
Dalam situasi dan kondisi demikian, satu-satunya hal yang bisa mengerem agar clip thinking tak berlanjut adalah fokus kita terhadap sesuatu.
Saya baru menyadari bahwa dalam dunia yang bergerak cepat, yang bisa mengambil manfaat adalah, yang fokus, bisa memanfaatkan teknologi dan bisa membangun jaringan. Tiga hal itu menjadi sebuah kunci kita agar tak tertinggal dan tergilas informasi yang menggila.
Ketika kita fokus--misalnya ingin menulis sesuai tema bulan ini tentang -lyfe- akan membantu kita untuk berusaha mencari hal-hal yang berkaitan dengan lyfe. Bukan mengabaikan yang lain semisal politik yang bikin pusing.Â
Tapi fokus itu membantu kita mengerem scroll jari-jari kita pada isu-isu terkait lyfe sebagai prioritas dan isu lain sebagai "penggembira".