Saat membaca kasus kekerasan orang tua terhadap anak, kita mungkin pernah bertanya “Kok bisa sih orangtua menyiksa anak bahkan sampai menghilangkan nyawanya?”.
Pertanyaan ini muncul karena kita nggak pernah membayangkan bahwa kita bisa melakukan hal tersebut pada anak kita. Jadi begitu ada orangtua lain yang tega melakukan hal tersebut, kita jadi heran karena menurut kita hal itu sesuatu yang"seharusnya" tidak mungkin terjadi.
Saat seorang ayah baru pulang kerja hingga larut malam, sesampainya di rumah tak didapatinya makanan di atas meja.
Sementara anak balitanya merengek dan menangis meminta susu yang habis total persediaanya. Sang ibu yang tak kuasa menahan diri antara kasihan kepada anaknya, mengeluh karena sang suami belum bisa mengatasi masalah.
Apa yang terjadi?. Bak sinetron, rumah berubah menjadi "neraka" dalam sekejap. Kekerasan yang dipicu perasaan emosional karena merasa tak mampu memenuhi nafkah, harga diri yang terkoyak, keluhan istri, tangisan anak, menjadi "orkestra" yang tak diharapkan didengar saat lelah mencapai puncaknya.
Data dari Komnas Perempuan di tahun 2021 ternyata masih menunjukkan jika bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam relasi personal atau privat masih dominan. Bentuk kekerasan terbanyak adalah fisik (31% atau 2.025 kasus) disusul kekerasan seksual (30%/1.938 kasus).
Selanjutnya kekerasan psikis yang mencapai 1792 kasus atau 28% dan terakhir kekerasan ekonomi yang mencapai 680 kasus atau 10%. Pola ini sama seperti pola tahun sebelumnya. Hal ini memperlihatkan bahwa rumah dan relasi pribadi belum menjadi tempat yang aman bagi perempuan.
Namun, ada kalanya kekerasan tak hanya dipicu oleh faktor ekonomi. Keluarga yang berkecukupan juga bisa menjadi ruang terjadinya kekerasan terhadap anak.
Sekalipun dalam banyak kasus, faktor tekanan ekonomi sulit lebih kerap menjadi pemicu timbulnya kekerasan para orang tua terhadap anak.
Seperti kasus pembunuhan terhadap 4 anak di Jakakarsa di akhir tahun 2023 lalu. Tekanan ekonomi membuat orang tua tak bisa mengendalikan diri. Kalap, dan berakhir tragis justru kepada para anak-anaknya sendiri.
Namun ada dua hal lain yang sebenarnya menarik menjadi kajian kita, bahwa kekerasan juga bisa terjadi karena trauma masa lalu dan ekspetasi orang tua terhadap anak di tengah tekanan-tekanan hidup yang dialami.
Sebagaimana sering kita cermati dari kasus kekerasan yang dilakukan secara acak oleh banyak orang, trauma masa lalu sering menjadi pemicu yang tak bisa diabaikan.
Pertama; Trauma Masa Kecil
Sebuah ilustrasi menarik saya temukan di sebuah majalah keluarga. Seorang Ayah melakukan kekerasan kepada istrinya, kekerasan kemudian berlanjut dilakukan oleh sang ibu kepada putranya. Dan kemudian putranya melakukan kekerasan kepada adiknya, dan terakhir adiknya menyerang adik bungsunya yang masih balita.
Kekerasan beruntun itu bukan sebuah ilustrasi biasa. Perasaan marah karena mendapat perlakuan buruk yang tidak diharapkan, memicu perasaan tidak terima, merasa diremehkan dan direndahkan.
Si korban merasa bahwa, pelakunya (dalam hal ini para orang tua) merasa karena pelaku adalah orang yang lebih punya kuasa.
Relasi kuasa yang jomplang inilah yang dimanfaatkan oleh si pelaku dan menjadi alasan korban menerima serangan dan perlakukan kekerasan.
Rumusan ini kemudian juga berlaku di dalam pikiran dan wujud tindakan si korban, dengan mencari "korban" lain yang bisa diintimidasi tanpa perlawanan berarti.
Maka kekerasan kemudian beruntun terjadi, layaknya sebuah "lingkaran setan", jika tak diputus oleh sebuah solusi yang tepat. Dan seperti banyak kita dengar di media, pelaku kekerasan sering beralasan karena masa lalunya yang sering "mendapat kekerasan dari keluarga".
Pada akhirnya itulah yang terjadi, ketika anak-anak yang dimasa kecilnya mengalami kekerasan dari orang tuanya, dimasa dewasanya saat menjadi orang tua ia akan melakukan tindakan copycate, melakukan tindakan tiruan sebagaimana yang dilakukan para orang tua dan menjadi bagian dari pengalaman masa kecilnya.
Para orang tua yang pernah mengalami kekerasan pada masa kecilnya cenderung akan melakukan tindakan kekerasan "ulang" kepada anak.
Kondisi disebabkan karena lingkungan keluarga yang mereka kembangkan telah cacat, dan sudah terbiasa dengan kebiasaan kekerasan pada masa kecilnya sehingga hal tersebut akan terus terbawa hingga saat menjadi orang tua.
Kedua; Ekspektasi Para Orang Tua yang Ketinggian
Ekspektasi yang terlalu tinggi biasanya juga diikuti dengan keinginan untuk mengontrol anak secara berlebihan. Ini juga berkaitan dengan peer pressure.
Orangtua pun mengalami hal yang sama. Ketika dia melihat anak-anak lain di lingkungannya terlihat manis, santun, bisa diatur, behave, sedangkan anaknya kok nggak seperti itu, maka ego sebagai orangtua yang ingin dianggap berhasil mendidik anak pun muncul. Maka dimulailah kontrol yang keras terhadap anak agar bisa seperti harapan orang tua.
Jika kita cermati dari tayangan film The Karate Kid karya sutradara Harald Zwart yang pernah mengarahkan film The Pink Panther 2 (2009), ada hal yang menarik perhatian kita.
Bukan sekedar kepiawaian Dre Parker (Jaden Smith) yang berlatih bela diri dengan orang tua yang bernama Tuan Han (Jackie Chan). Justru "bumbu" film ketika menghadirkan sosok Mei teman sekolahnya. Mei adalah anak seorang yang terpandang. Hari-harinya diisi dengan berlatih biola dengan seorang guru privat.
Kita akhirnya tahu jika Mei begitu tertekan hidupnya karena ia tak pernah menikmati masa riang gembira menjadi anak-anak seperti pada umumnya. Setiap jam dan waktunya terjadwal, sekolah diantar jemput, dan latihan.
Kita bisa merasakan kegembiraan yang sama ketika Dre mengajak Mei jalan-jalan diluar jadwal yang ketat, menikmati pertunjukan. Kisah itu menjelaskan kepada kita betapa orang tua Mei memiliki harapan dan ekspektasi tinggi kepada putrinya, namun tak pernah menyadari betapa putrinya itu juga merasa tertekan.
Mei membutuhkan tidak sekedar rutinitas, meskipun hal itu positif, tapi ia juga membutuhkan apa yang biasanya dijalani dan dirasakan oleh seorang kanak-kanak.
Dalam banyak kasus kekerasan yang dilakukan orang tua juga didasari latarbelakang keinginan atau harapan orang tua yang tidak kesampaian pada anaknya. Atau ketika anaknya berusaha menolak semua usaha orang tuanya mencapai harapan melalui anaknya itu.
Misalnya, anak diharuskan les piano, bahasa inggris, mendapat rangking satu, pandai olahraga, dan banyak tuntutan lain.
Ketika prestasi terbaik gagal diraih. Para orang tua menyalahkan anak karena tak sungguh-sungguh berusaha, tak belajar. Padahal harapan orang tuanya "baik menurut orang tua", agar anaknya bisa siap dimasa depan, mapan hidupnya.
Para orang tua tak pernah menanyakan, apakah keputusannya untuk les piano, belajar bahasa inggris keinginan anaknya atau sekedar keinginan orang tua yang tak pernah dikompromikan. Ini kasus yang sangat klasik terjadi dalam keseharian kita.
Ketika ekspetasi yang terlalu tinggi pada anaknya tidak mampu dipenuhi anak-anaknya, membuat beberapa orangtua bertindak kasar kepada anaknya inilah yang membuat anak akan frustasi dan stress karena tekanan yang datang secara terus menerus dari orangtuanya,sehingga menimbulkan hubungan yang tidak harmonis.
Di Jepang dan China, kondisi tersebut menjadi sebuah fenomena yang nyaris umum terjadi. Namun fatalnya kasus terjadinya bunuh diri yang dilakukan anak-anak ketika merasa gagal juga bukan fenomena yang asing.
Data pemerintah yang dirilis kyodo news, menunjukkan pada hari Selasa bahwa rekor kematian akibat bunuh diri pada tahun 2022 adalah 514 anak yang duduk di bangku sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas, melampaui angka tertinggi sebelumnya yaitu 499 anak pada tahun 2020.
Angka bunuh diri di kalangan perempuan juga meningkat selama tiga tahun berturut-turut, meningkat 67 dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 7.135.
"Alasan bunuh diri itu pelik, melibatkan berlapis-lapis faktor, termasuk biologis, psikologis, dan lingkungan," kata Dr. Tanaka Kyoko dari Pusat Nasional untuk Kesehatan dan Pertumbuhan Anak.
Mencari Solusi, Jalan Tengah
Apa yang mungkin bisa direkomendasikan sebagai solusi, memang tidak mudah karena kasus kekerasan orang tua terhadap anak karena 2 motif; trauma masa lalu dan ekspektasi yang jomplang antara orang tua dan anak, mencerminkan kompleksitas dan beragamnya faktor yang dapat memicu kekerasan dalam keluarga.
Beberapa solusi dan pertimbangan yang sering direkomendasikan mungkin masih dapat dipertimbangkan untuk mengatasi kasus tersebut, seperti:
Pertama; Komunikasi Terbuka.
Komunikasi menjadi kata kunci yang terlihat sederhana, namun dalam praktik keseharian kita sering terabaikan. Sang ayah perlu berkomunikasi dengan sang istri tentang perasaannya terkait beban kerja dan kebutuhan untuk bekerja sama dalam menangani tanggung jawab rumah tangga.
Ibu dan ayah perlu berbicara secara terbuka dan jujur tentang perasaan mereka, memahami satu sama lain, dan mencari solusi bersama. Mungkin ini terlihat sangat klise, namun ketika komunikasi dilakukan dengan baik, bukan tidak mungkin akan ada jalan keluar yang bisa disepakati.
Seperti para ibu yang turut bekerja membantu suami untuk mencukupi pendapatan suami yang masih kurang. Realitas yang sering kita temukan di kehidupan pedesaan, dan juga perkotaan saat ini.
Kedua; Dukungan Emosional.
Sang istri dapat memberikan dukungan emosional kepada suaminya tanpa menyalahkan, sehingga mereka dapat menemukan solusi bersama. Penting bagi keluarga untuk menciptakan lingkungan di mana setiap anggota keluarga merasa didengar dan dihargai.
Lagi-lagi ini juga terlihat klise, karena dalam kehidupan nyata, bentuk dukungan ini sering tak bisa berjalan karena, soal komunikasi saja sudah tersumbat, atau memang sama sekali tak pernah dilakukan.
Ketiga; Manajemen Stres.
Mencari cara bersama untuk mengelola stres adalah kunci penting. Ini bisa melibatkan pembagian tugas, menyusun jadwal yang lebih teratur, atau mencari bantuan dari anggota keluarga eksternal jika memungkinkan.
Dalam keluarga sederhana sekalipun hal ini sebenarnya dapat dilakukan, selama kedua belah pihak para orang tua, memahami masalah dan tekanan yang mereka hadapi sebagai tanggungjawab bersama.
Bukan sekedar tanggungjawab suami, atau bantuan istri sebagai bagian dari tanggungjawab dengan mengurus rumah tangga.
Jika konteksnya menyangkut keluarga yang lebih mapan, mungkin solusi yang berkaitan dengan pendidikan keluarga dapat menjadi solusi. Begitu juga dengan perlunya dukungan pihak ketiga menjadi media yang membantu mencarikan solusi.
Bantuan terapis keluarga dapat membantu membuka saluran komunikasi dan memberikan strategi untuk mengatasi masalah.
Dalam konteks masalah kekerasan yang lebih luas, perlu dilakukan upaya untuk mengatasi akar penyebab kekerasan dalam rumah tangga, termasuk pendidikan masyarakat, penguatan peran perempuan, dan penegakan hukum yang efektif. Kesadaran akan dampak trauma masa lalu juga penting untuk memahami sumber dari perilaku kekerasan.
Kita tak boleh lupa, every individual has a story. Selalu ada alasan yang mungkin bahkan si ibu atau bapak itu sendiri nggak sadar. Menghakimi nggak akan bisa mengubah apa pun. Tapi mencoba memahami kenapa ada orangtua yang bertindak sejauh itu sampai melakukan kekerasan, kita perlu mencari tahu alasannya, mungkin bisa membantu. Membantu menyadarkan mereka bahwa siapa tahu mereka membutuhkan dukungan, atau mungkin bantuan profesional untuk menghentikan tindak kekerasan tidak berlanjut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H