Ekspektasi yang terlalu tinggi biasanya juga diikuti dengan keinginan untuk mengontrol anak secara berlebihan. Ini juga berkaitan dengan peer pressure.Â
Orangtua pun mengalami hal yang sama. Ketika dia melihat anak-anak lain di lingkungannya terlihat manis, santun, bisa diatur, behave, sedangkan anaknya kok nggak seperti itu, maka ego sebagai orangtua yang ingin dianggap berhasil mendidik anak pun muncul. Maka dimulailah kontrol yang keras terhadap anak agar bisa seperti harapan orang tua.
Jika kita cermati dari tayangan film The Karate Kid karya sutradara Harald Zwart yang pernah mengarahkan film The Pink Panther 2 (2009), ada hal yang menarik perhatian kita.Â
Bukan sekedar kepiawaian Dre Parker (Jaden Smith) yang berlatih bela diri dengan orang tua yang bernama Tuan Han (Jackie Chan). Justru "bumbu" film ketika menghadirkan sosok Mei teman sekolahnya. Mei adalah anak seorang yang terpandang. Hari-harinya diisi dengan berlatih biola dengan seorang guru privat.
Kita akhirnya tahu jika Mei begitu tertekan hidupnya karena ia tak pernah menikmati masa riang gembira menjadi anak-anak seperti pada umumnya. Setiap jam dan waktunya terjadwal, sekolah diantar jemput, dan latihan.
Kita bisa merasakan kegembiraan yang sama ketika Dre mengajak Mei jalan-jalan diluar jadwal yang ketat, menikmati pertunjukan. Kisah itu menjelaskan kepada kita betapa orang tua Mei memiliki harapan dan ekspektasi tinggi kepada putrinya, namun tak pernah menyadari betapa putrinya itu juga merasa tertekan.
Mei membutuhkan tidak sekedar rutinitas, meskipun hal itu positif, tapi ia juga membutuhkan apa yang biasanya dijalani dan dirasakan oleh seorang kanak-kanak.
Dalam banyak kasus kekerasan yang dilakukan orang tua juga didasari latarbelakang keinginan atau harapan orang tua yang tidak kesampaian pada anaknya. Atau ketika anaknya berusaha menolak semua usaha orang tuanya mencapai harapan melalui anaknya itu.
Misalnya, anak diharuskan les piano, bahasa inggris, mendapat rangking satu, pandai olahraga, dan banyak tuntutan lain.
Ketika prestasi terbaik gagal diraih. Para orang tua menyalahkan anak karena tak sungguh-sungguh berusaha, tak belajar. Padahal harapan orang tuanya "baik menurut orang tua", agar anaknya bisa siap dimasa depan, mapan hidupnya.
Para orang tua tak pernah menanyakan, apakah keputusannya untuk les piano, belajar bahasa inggris keinginan anaknya atau sekedar keinginan orang tua yang tak pernah dikompromikan. Ini kasus yang sangat klasik terjadi dalam keseharian kita.
Ketika ekspetasi yang terlalu tinggi pada anaknya tidak mampu dipenuhi anak-anaknya, membuat beberapa orangtua bertindak kasar kepada anaknya inilah yang membuat anak akan frustasi dan stress karena tekanan yang datang secara terus menerus dari orangtuanya,sehingga menimbulkan hubungan yang tidak harmonis.
Di Jepang dan China, kondisi tersebut menjadi sebuah fenomena yang nyaris umum terjadi. Namun fatalnya kasus terjadinya bunuh diri yang dilakukan anak-anak ketika merasa gagal juga bukan fenomena yang asing.
Data pemerintah yang dirilis kyodo news, menunjukkan pada hari Selasa bahwa rekor kematian akibat bunuh diri pada tahun 2022 adalah 514 anak yang duduk di bangku sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas, melampaui angka tertinggi sebelumnya yaitu 499 anak pada tahun 2020.