Meskipun solusi "jalan damai" sebenarnya kerap ditempuh dalam banyak kasus perselisihan maupun kekerasan dalam relasi kasus toxic relationship atau hubungan yang diwarnai kekerasan. Namun sebenarnya itu menjadi solusi yang kurang baik bagi usaha kita memberantas KDRT.
Memang kasus KDRT tidak sesederhana yang kita bayangkan, karena kasus mereka menyangkut dua keluarga besar. Belum lagi jika dikaitkan dengan latar belakang masalah agama, sosial dan budaya, tradisi dan adat di masing-masing daerah yang berbeda dalam menyikapi pisahnya dua keluarga.
Tentu saja faktor budaya patriarki yang kuat juga ikut berpengaruh. Terkait faktor ini, perempuan sekali lagi menjadi korban yang tidak diuntungkan.Â
Latar Belakang Kekerasan
Apa saja bisa menjadi sebab terjadinya KDRT, apalagi dalam kondisi perkembangan teknologi yang makin canggih. Sebab KDRT karena keberadaan teknollogi yang memudahkan komunikasi sering menjadi musabab, meskipun didasari sekedar kecurigaan tak beralasan, atau salah paham.
Namun faktor ekonomi sulit selama masa covid-19 hingga sekarang ini, banyak menjadi alasan pasangan terkena kasus KDRT. Sebab KDRT sangat kompleks, bukan sekadar urusan pribadi dan internal rumah tangga saja.
Dalam banyak kasus KDRT, perempuan sering menjadi korbannya. Selain faktor fisik yang kalah, sikap mengalah, toleransi atas tindak kekerasan, menjadi sebab penyelesaian KDRT sering tidak berimbang keadilannya bagi para perempuan.'
Hukum secara tegas mengatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pengertian yang dapat kita pahami adalah, kekerasan dalam rumah tangga, adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam dalam lingkup rumah tangga.Â
Sedangkan dari sisi agama, masalah ketidakharmonisan keluarga selalu diupayakan untuk bisa diselesaikan secara kekeluargaan, setelah tidak bisa diselesaikan diantara mereka sendiri, barulah berakhir dengan melibatkan pihak ketiga. Sebelum diputuskan apakah bisa diselesaikan atau justru dibawa menjadai masalah pidana.
Namun pemahaman dari sisi agam yang demikian juga dapat membuat masalah tak selesai tuntas. Perempuan yang menjadi korban akan merasa terus dalam tekanan dan ketakutan. Apalagi ia harus hidup bersama dengan pasangan yang telah melakukan kkekerasan terhadapnya.
Alasan anak-anak mungkin menjadi pertimbangan terberat untuk terus bertahan. Toleransi penyelesaian KDRT berdasarkan agama harus dipertimbangkan dengan serius, terutama dengan melihat dampaknya secara fisik dan psikologis yang dialami oleh korbannya.
Solusi menggunakan restorative Justice memang masih banyak menimbulkan perdebatan. Mengapa dan bagaimana restorative justice menjadi rujukan penyelesaian kasus?.
Pilihan yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan serta kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pemidanaan sebagai bentuk hukum dalam masyaraka, juga harus sangat hati-hati.
Pendidikan sebagai Solusi Atasi KDRT
Edukasi menjadi solusi meminimalisir kasus agar tidak berulang. Apalagi KDRT sebenarnya juga luas, meliputi:kekerasan fisik (kekerasan), psikis (munculnya ketakutan, hilangnya rasa percaya diri), seksual (pemaksaan hubungan seksual, termasuk untuk tujuan komersil), dan ekonomi (penelantaran kewajiban-nafkah fisik).