Ibarat "udang di balik batu", outfit para capres dan cawapres pun juga menyembunyikan makna tertentu. Ini menjadi sebuah pertanyaan yang bersifat retorikal, mengajak kita untuk membuka diskusi terhadap peran outfit dalam konteks politik.
Sejak Presiden Joko Widodo-Jokowi "memperkenalkan" outfit atau pakaian, kemeja putih yang dilinting hingga ke siku, sebagai simbol "kerja", "kerja" dan "kerja", era pengunaan outfit untuk  kampanye menjadi semakin menarik dicermati.
Selain menjadi simbol atau penanda, juga untuk memudahkan mereka agar lebih mudah dikenali, termasuk dengan visi-misinya.
Bisa jadi karena fenomena Jokowi ketika naik ke pentas RI-1, memang melawan arus mainstream. Biasaya sosok seorang pemimpin setingkat Gubernur dan Presiden selalu identik dengan pejabat, penguasa elit yang sulit bisa berbaur langsung dengan rakyat.
Dan sebaliknya kehadiran Jokowi justru menjadi antitesis dari kebuntuan pencarian tokoh yang "beda" versi menurut rakyat.
Maka kehadiran Jokowi yang bersahaja dan sederhana dalam berpolitik (dahulu), dalam ukuran kacamata rakyat menjadi terlihat istimewa. Apalagi media menjadikan Jokowi sebagai media darling-tokoh kesayangan.
Tanpa perlu berkampanye sendiri, dengan sukacita media bersedia menjadi corongnya. Sebuah kesempatan yang langka saat itu.Â
Fenomena itu menjadi sebuah kekuatan yang lahirnya dari rakyat, sehingga lawan-lawan politiknya merasa sedikit berkecil hati melihat kekuatan itu.
Dan outfit, seragam atau pakaian yang dikenakan Jokowi pun menjadi simbol perlawanan dan perubahan, ketika itu.
Outfit Ala t Komunikasi Politik?
Pemilihan Umum adalah momen krusial dalam demokrasi di mana rakyat berhak memilih pemimpin yang akan memimpin negara. Di tengah dinamika politik yang semakin kompleks, penampilan dan citra para calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) menjadi aspek yang tak terpisahkan dari komunikasi politik.