Saya terkejut ketika tak sengaja mengintip kompasiana diantara kesibukan ber-webinar, karena tuntutan Platform Merdeka Mengajar yang belakangan sedikit menyita perhatian dan waktu saya dan ribuan guru lain. Sebuah centang biru "hinggap" disisi foto profilku. Wow, akhirnya harapan itu terwujud meski tak terduga dalam "kerinduan" menulis yang tertunda waktu belakangan ini. Mungkin ini juga bentuk "teguran" yang mengingatkan karena saya lama tak menulis belakangan ini. Maka aku coba "paksakan" menulis ini untuk mengobati rindu menulisku!.
Suara desiran angin dari pohon cemara tepat di depan laboratorium komputer yang menjadi "markas" saya selama ini adalah hiburan yang paling menentramkan. Selama rehat siang Jum'at, saya manfaatkan untuk duduk di bawahnya, menikmati bekal siang sambil menunggu siswa, karena hari ini kami janji untuk sebuah "projek" penting.
Karena jeda waktu cukup lama, saya sempatkan menulis untuk kompasiana.
Menulis itu mengasyikkan. Bagi sebagian orang apalagi guru dengan kesibukan ber-kurikulum merdeka, waktu menjadi sangat berharga. Interaksi dengan siswa tak lagi biasa, butuh kreatifitas, kepekaan dan aktifitas yang ekstra. Apalagi dengan tambahan Program P5. Tapi semua menjadi menarik jika dijalani tanpa beban dan terus mengalir.
Menulis menjadi salah satu bentuk "pengalih penat" yang lain, menjadi semacam healing. Jadi saya gunakan "tablet" sebagai penghilang penat dan mulai menulis.
Satu dua siswa mulai berdatangan. "Sedang apa "bun"?, seorang siswi menegur saya. Sebagian anak-anak memanggil saya dengan "bunda", jika kegiatan sekolahnya tak formal seperti P5. "Menulis, nak", jawab saya singkat tanpa  menoleh, karena ide sedang berkelindan di kepala dan bergerak lebih cepat dari jari di permukaan layar tablet.
Mereka terdiam, mungkin menyadari jika saya sedang berkonsentrasi. Dan begitu selesai paragrafnya saya bubuhi titik, saya pikir waktunya menulis sementara saya sudahi.
"Ibu sedang menulis untuk kompasiana", jawab saya sambil menunjukkan draft dalam posisi preview di layar, judul dan ilustrasi gambar utama sudah muncul beserta lima paragraf yang sudah selesai.
"Ibu menulis di kompasiana untuk menabung, sampai tulisan nanti terkumpul cukup banyak, bisa dibukukan", ujar saya menjelaskan tanpa diminta. (saya tak menjelaskan apakah buku saya nanti harus ber-ISBN, karena negeri kita sedang krisis ISBN sekarang ini. Bisa jadi buku dengan tulisan kurang bermutu milik saya hanya akan memboroskan jatah ISBN, kecuali jika bisa terkumpul hingga 300-an halaman sekalian).
"Apa bunda di bayar?", tanyanya lagi karena saya terlihat begitu serius menulis dan menurut mereka tulisannya bukan cuma sudah lumayan banyak terkumpul tapi juga keren-dengan ilustrasi di setiap artikelnya (mereka memuji, mungkin karena saya gurunya-wali kelasnya lagi). "Nggak, tapi kalau memenuhi syarat dan view-nya banyak, akan ada rewards berupa uang, tapi itu bentuk lain dari "pemberian" motivasi", jawab saya sambil membiarkan siswa lain membaca artikel di halaman akun kompasiana saya.
"Kalian juga bisa menulis dan bisa punya akun dikompasiana, jadi kalian bisa menulis dan tulisan tidak tercecer kemana-kemana. Nggak perlu takut tulisannya jelek dan akan ditolak, selama tidak plagiasi. Tulisan ibu juga biasa saja" saya berusaha mempengaruhi minat mereka yang suka menulis.