Memang khusus pasar di Peunayong, di sepanjang jalan tampak kekhasan bentuk fisik bangunan yang berupa deretan rumah toko atau ruko. Ruko merupakan bangunan hunian dua lantai. Lantai bawah digunakan untuk berdagang, sedangkan lantai atas digunakan sebagai tempat tinggal. Bentuk arsitektur ruko lazim ditemukan pada kawasan Pecinan di Asia Tenggara, terutama Singapura dan Malaysia (Kohl, 1984 dalam Mahmud, 2006).
Pada kawasan pecinan di Indonesia, ruko berarsitektur Cina ciri khasnya dikenali dari bentuk bangunan berlantai dua atau lebih dengan atap melengkung bertipe pelana (gable roof). Alas lantainya  terbuat dari tegel beragam ukuran dan dindingnya  tersusun dari bata warna merah yang diplester dengan adukan semen, kapur dan pasir.
Tampak depan ruko berisi dekorasi dari pecahan keramik, antara lain bermotif awan menggulung dan naga. Beberapa diantaranya sudah menggunakan pintu yang berbentuk lengkung semu-circulair yang bagian atasnya terbuat dari bata yang disusun secara vertikal mengikuti bentuk lengkungan.
Bentuk lengkungan tersebut diakhiri bentuk pelipit. Pintu dan jendela biasanya terbuat dari susunan bilah papan yang dihubungkan dengan dua engsel (folding shutter). Unit bangunan lain yang menjadi ciri khas kawasan pecinan adalah wihara. Ruko biasanya dirancang dalam satu blok bangunan, sedangkan wihara ditempatkan tersendiri, di ujung maupun di bagian tengah ruko secara terpisah.
Daerah Pecinan merupakan daerah urban didaerah perkotaan. Asas-asas geometris tampak diterapkan dalam lingkungan Pecinan. Menurut kajian Lombard (1996) kawasan pecinan pola penataan ruangnya pada umunya berarsitektur Cina yang cenderung simetris dengan ruang terbuka (courtyard) yang berulang dan bertahap.Â
Pola penataan ruang seimbang simetris merupakan dasar tata letak ruang yang dipengaruhi oleh faktor iklim serta dasar pemikiran ajaran filsuf Confusius yang telah biasa digunakan oleh masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu.
Peunayong di zaman Hindia Belanda.
Peunayong adalah wilayah kota tertua di Banda Aceh. Didesain Belanda sebagai Chinezen Kamp (tenda) atau Pecinan. Peunayong dihuni warga Cina dari Suku Khe, Tio Chiu, Kong Hu, Hokkian dan sub-etnis lainnya. Kegiatan perdagangan di kawasan tersebut, cukup menonjol. Karena berdagang merupakan mata pencaharian utama suku Cina, yang umumnya tumbuh di lingkungan pusat bisnis.
Sejak Kuta Raja berhasil direbut Belanda pada tahun 1874, Pemerintah Kolonial Belanda berusaha memfungsikan kota Banda Aceh yang kondisi rusak akibat perang membangun struktur fisik atau tata ruang kota dan pembangunan pelabuhan Ulelheu sebagai pintu gerbang kota. (Ismuha,1998:33).
Untuk kepentingan pemerintahannya juga di bangun fasilitas-fasilitas militer seperti benteng, rumah sakit, bank, gereja dan pertahanan militer lainnya yang ditempatkan secara strategis. Termasuk jalur transportasi. Selajutnya pusat aktivitas umum  seperti pasar dan mesjid. Saat itu dibangun dua pasar utama, yaitu di pusat kota tak jauh dari mesjid raya dan di ujung utara kota yaitu di Peunayong.
Periode Pemerintahan Kolonial Belanda merupakan awal penerapan perencanaan kota modern yang ditandai oleh pengelompokan berdasarkan kultur sosial, ekonomi dan politik bagi kepentingan Belanda.
Kota mulai berubah sebagai titik simpul jaringan transportasi dan komunikasi yang sangat efektif untuk kepentingan militer dan ekonomi. Di sini ciri yang menonjol adalah segregasi wilayah kota menurut ras Eropa, Asia (Arab, Cina, India) dan pribumi.Â
Kawasan Peunayong merupakan salah satu contohnya. Ditempatkan di bagian ujung kota (utara) yang merupakan pelabuhan (entreport) untuk tempat kegiatan ekspor-impor komoditi.
Sedangkan pusat pemerintahan kolonial berada di pusat kota. Segregasi ini dibuat agar tidak terlalu mencolok antara pribumi dan non pribumi dengan memasukkan etnis Cina, Arab, dan India ke dalam sistem tata ruang permukiman kota (Ismuha,1998:37).
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!