Ketika mengikuti tumbuh kembang anak, orang tua sebenarnya juga menghadapi dilema. Di satu sisi sebagai orang tua kita tahu, bahwa tidak selamanya anak akan selalu berada di bawah lindungan kita. Anak harus belajar mandiri. Tapi dengan keterbatasan kemampuan dan emosi serta mentalnya, Â orang tua juga tak bisa begitu saja melepas anak-anak menjadi lebih bebas dan mandiri.
Apalagi dilingkungan perkotaan yang memiliki bahaya yang risiko lebih riskan daripada kehidupan anak-anak di pedesaan. Artinya masing-masing punya risiko, namun punya perbedaan besar dan kecil risikonya.
Namun dalam banyak kasus, ketika tekanan ekonomi begitu ekstrim, dan sulit mencari pilihan lain, banyak anak-anak kehilangan hak-hak mereka karena orang tua bertindak di luar "aturan" dan melawan kodrat anak.
Keberadaan keluarga dengan fungsi afektif menjadi sangat penting. Fungsi internal keluarga sebagai dasar kekuatan keluarga. Didalamnya berkaitan dengan sikap saling mengasihi, saling mendukung dan saling menghargai antar anggota keluarga.
Menurut Friedman (1986), definisi fungsi afektif keluarga adalah fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan psikosial, saling mengasah dan memberikan cinta kasih, serta saling menerima dan mendukung. Fungsi afektif ini merupakan sumber kebahagiaan dalam keluarga. Keluarga memberikan kasih sayang dan rasa aman. Perhatian diantara anggota keluarga, membina kedewasaan kepribadian anggota keluarga dan memberikan identitas keluarga.
Otonomi dan Risiko
Sebenarnya seberapa besar kebebasan yang bisa diperoleh anak kita untuk bisa beradaptasi dengan lingkungannya?. Apakah kita mengizinkan anak menemukan pengalaman  'berbahaya', dengan harapan mereka bisa belajar dari pengalaman itu?.  Atau lebih baik kita bersifat protektif saja demi keselamatan anak sekalipun dianggap mengekang?.
Bagi sebagian orang tua masalah itu menjadi dilematis. Antara keinginan memberi ruang kebebasan alias otonomi, dan rasa kuatir jika mendapat masalah. Karena sebenarnya memberi anak kebebasan untuk berkembang dan bisa beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, adalah hak anak. Bagi anak- anak kesempatan itu dibutuhkan dan harus dihargai, meski dengan pengawasan.
Hingga saat ini anak Indonesia masih banyak yang terancam masalah dari kekerasan seksual, eksploitasi, akses kesehatan dan pendidikan layak hingga urusan narkoba. Dan orang tua harus turut bertanggungjawab mengatasinya.
Kita kuatir lingkungan selain keluarga akan memberi dampak negatif. Mungkin anak- anak cenderung berpikir bahwa, lingkungan di luar rumahnya juga akan bersikap sama kepadanya, meski faktanya banyak kekerasan menimpa anak- anak di luar sana.
Dalam situasi demikian, menjadi sangat dilematis bagi orang tua, apakah membiarkan anak selalu dalam pengawasan atau memberi sedikit ruang untuk merasakan pengalaman yang berbeda agar belajar dari kelemahan dan kesalahannya.
Otonomi dalam batasan tertentu bagaimanapun dibutuhkan anak sebagai bagian dari hak individualnya. Untuk memberikan ruang belajar dan pembelajaran tentang hidup dan kehidupan. Dengan memahami realitas kehidupan yang sebenarnya, dengan bimbingan keluarga, lingkungan, sekolah, dan alam bisa membantu tumbuh kembang emosinya.
Mengelola Emosi Anak
Mengelola emosi anak memang aspek penting yang harus dipahami oran tua dalam mendukung perkembangan mereka secara holistik. Emosi yang sehat dan terkelola dengan baik akan membantu anak dalam menghadapi tantangan, termasuk masalah di sekolah dan di luar rumah.